Tak lama kemudian, Reuben mulai mengabsen sambil mengajukan beberapa pertanyaan standar kepada mahasiswanya. Menunjukkan bahwa dia memiliki ketertarikan untuk lebih mengenal orang-orang yang mengikuti kuliahnya. Bagi Amara, itu hal yang menarik.
Reuben cukup jangkung. Tebakan Amara, lelaki itu lebih tinggi minimal lima sentimeter dibanding dirinya. Dengan tubuh langsing dan berkulit kecokelatan yang terlihat sehat, lelaki itu tampil rapi. Berhidung lurus, kening lebar, mata yang bersorot tajam, dagu agak runcing, dan bibir yang nyaris selalu tersenyum. Jadi, sangat wajar jika banyak yang suka memandang Reuben.
Amara merasakan kemuraman kembali melingkupinya. Sepertinya dia salah duga saat menilai kekuatan mentalnya. Seharusnya dia tak pernah kembali ke bangku kuliah dan mulai serius berusaha mencari pekerjaan saja. Atau membantu ibunya mengelola restoran hamburger. Namun di sisi lain, Amara sungguh ingin menjadi sarjana. Dia juga tak terlalu berminat ikut terjun di res
Sesaat, Amara merasa ada berpasang-pasang mata sedang melihatnya dengan berbagai ekspresi. Mulai dari yang mencemooh, mengasihani, hingga membenci. Namun sekedip kemudian dia tersadar kalau itu cuma kecurigaannya saja.“Ini hari pertama, pasti semuanya terasa berat. Langkah pertama selalu yang paling sulit,” kata Amara dalam hati, menguatkan dirinya sendiri.Setelah mengerjap dua kali dengan cepat, Amara segera menyadari bahwa nyaris tidak ada yang memerhatikannya. Semua orang sibuk mengobrol, menikmati makanan, atau memainkan ponselnya. Sayang, kesadaran itu tak mampu mencegah keringat dingin yang telanjur mengucur di punggungnya.“Kamu akan baik-baik aja, Mara,” kata Ika, seakan paham apa yang berkecamuk di kepala gadis itu.Mereka akhirnya berhasil nyaris mencapai meja kosong yang diincar Amara tadi. Gadis itu bergerak dengan cepat setelah melihat segerombolan mahasiswi sedang melewati pintu masuk kantin. Amara tak ingin harus b
Reuben tiba-tiba tertawa pelan. “Janggal sekali mendengar gadis seusia kalian memanggil saya ‘Bapak’ saat di luar kelas. Bisakah kita mengubah itu?”Amara memandang sekilas ke arah dosennya dengan bimbang. Itu permintaan yang aneh, setidaknya itulah opininya. “Maaf Pak, itu rasanya ... kurang sopan,” cetusnya kemudian.Sophie tersenyum mendengar kata-kata Amara. “Iya Pak, itu nggak sopan,” imbuhnya dengan setia kawan.Reuben akhirnya mengangguk dengan senyum masih bertahan di bibirnya. “Oke, saya nggak akan memaksa.”Amara tidak memperhatikan tema obrolan yang membuat Sophie, Ika, dan Reuben betah bertukar kalimat. Pikirannya sedang melayang-layang tak menentu, seakan menjelajah galaksi yang tanpa batas. Ketika akhirnya gadis itu melirik jam tangannya, dia buru-buru berdiri. Ika sempat menatapnya keheranan.“Maaf Pak, saya harus duluan. Sebentar lagi saya harus masuk kela
Jika Amara pernah mengira bahwa menjadi mahasiswi lagi akan mengembalikan kenormalan dalam hidupnya, tampaknya itu pendapat yang berlebihan. Dia kini benar-benar menyadari bahwa tidak ada lagi hal normal dalam dunia Amara untuk selamanya. Seharusnya dia sudah menyadari itu sejak lama. Amara sudah sangat berubah, hingga nyaris tak menyisakan jejak pribadinya yang lama.Amara yang baru adalah orang yang selalu waspada hingga cenderung paranoid. Jiwanya disesaki oleh terlalu banyak ketakutan dan kecurigaan. Membuat gadis itu tidak lagi bisa benar-benar menikmati indahnya hidup ini. Dia hanya melewati hari demi hari seperti robot, seakan itu cuma menjadi kewajiban yang tak mungkin bisa terelakkan.Saat berada di Puan Derana, semuanya terlihat lebih mudah. Makanya Amara berani memutuskan untuk pulang ke Jakarta dan kembali menjalani hidupnya seperti dulu. Kembali pada rutinitas yang dikenalnya seumur hidup. Namun, hari pertama kuliah sudah menyadarkan dan membuka mata
Suara Sophie terdengar tulus. Hingga membuat mata Amara mulai terasa panas tanpa bisa dicegah. Menguatkan hati, Amara akhirnya menggeleng. Dia tak berani menatap Sophie.“Nggak ada apa-apa, kok. Aku baik-baik aja,” sahut Amara.“Baguslah kalau begitu. Aku senang kalau kamu memang baik-baik aja, Mara.”Ada satu perkembangan yang terjadi di luar perkiraan Amara. Berkaitan dengan salah satu dosennya, Reuben. Dosen menawan yang lebih tua nyaris delapan tahun dibanding Amara itu menunjukkan perhatian yang tak terduga. Awalnya Amara hanya mengira kebetulan belaka jika Reuben berada di meja yang sama dengan dirinya dan Sophie saat mereka di kantin lebih dari satu kali.Amara mulai curiga saat melihat ada meja kosong dan Reuben tetap memilih untuk bergabung dengan mereka. Reuben seakan tahu kapan saja Amara berada di kantin. Membuat gadis itu mulai bertanya apakah kebiasaannya terlalu kaku hingga mudah ditebak?“Pak Reuben tam
“Sama kalau begitu. Saya juga sendirian. Kamu mencari buku apa?”Reuben maju selangkah dan secara refleks Amara juga mundur. Tangan kanannya mencengkeram tas tanpa disadari.“Saya sudah ... selesai. Ini baru mau pulang....” kata Amara dengan suara tersendat. Dia mulai melihat ke sekeliling dan mencari celah untuk menjauh dari Reuben sesegera mungkin.“Lho, udah kelar?” Reuben melirik jam tangannya. “Kamu ke sini naik apa? Di luar hujan, lho!”Amara menggigit bibir, dengan putus asa mengingat bahwa hari ini dia hanya naik angkutan umum karena mobilnya sedang di bengkel. Suatu kebetulan yang sangat merugikan.“Saya ... naik angkutan umum.” Sedetik kemudian, Amara mengutuki dirinya yang tidak terpikir untuk berdusta. Gadis itu mundur lagi, tapi kemudian menyadari bahwa punggungnya sudah menyentuh rak buku.“Saya antar pulang, ya? Rumah kamu di mana? Atau, kamu mau makan dulu. Say
Pasti tiap anggota keluarga merasa sangat tersiksa, termasuk kakaknya yang tinggal nun jauh di London sana. Akan tetapi, tentu saja yang paling menderita adalah Amara. Pengobatan yang dijalani memang meringankan beban gadis itu. Namun, tampaknya perjalanannya masih sangat panjang. Amara belum mampu bersikap normal saat ada lelaki yang menawari untuk mentraktirnya makan malam dan mengantar pulang.“Mara, apa yang terjadi tadi sore? Kamu bisa cerita sama saya. Apa kamu mau ditemani lagi kayak kemarin-kemarin? Toh saya juga nggak banyak kesibukan di sini.” Ika mendatangi Amara begitu punya kesempatan. Amara yang sedang membaca novel di ranjang, terduduk karena kaget.“Mbak ngagetin aja. Kukira siapa,” sahut Amara sembari memegang dada kirinya yang berdebar kencang.Ika menggumamkan kata maaf sembari duduk di tepi ranjang dengan mata yang dipenuhi kecemasan. Hati Amara mencelus melihat pemandangan itu. Ika mungkin bukan siapa-siapanya. Mereka
“Mara, kalau liburan semester nanti, kamu mau ke mana?” tanya Sophie sore itu. Mereka baru saja keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Liburan semester memang sudah dekat, hanya berjarak beberapa minggu lagi.“Aku nggak punya rencana ke mana-mana. Kalau kamu?” Amara balik bertanya.“Aku juga. Mungkin kita bisa bikin acara sendiri, Mara. Entah liburan berdua atau cuma ikut kelas apalah untuk ngisi waktu luang. Kelas memasak, misalnyaa.”Amara tak bisa mencegah tawanya pecah. “Aku nggak bisa masak, Soph. Nggak berminat juga.”Ketika hasil kerja kerasnya di semester itu diwujudkan oleh sederet nilai, Amara tidak bisa mengharapkan yang lebih bagus lagi. Trauma dan tragedi boleh saja sudah merusak hidupnya, tapi kecerdasannya masih bertahan. Hanya tiga mata kuliah yang memberinya nilai B, Sisanya A. Termasuk mata kuliah yang dipegang Reuben.Seperti ucapannya pada Sophie, Amara memang tidak ke m
Amara berdiri dengan perut terasa mulas dan kepala yang berputar. Di antara pandangannya yang berkabut, gadis itu berusaha menegaskan pandangan. Ditatapnya wajah Reuben dengan sungguh-sungguh. Mencari apa pun yang bisa mengindikasikan jika lelaki itu cuma sedang iseng.Reuben ikut berdiri, menjulang di depan Amara. Wajahnya tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang diinginkan Amara. Gadis itu merasakan darahnya seolah membeku. Hawa dingin menyelimuti punggungnya.“Bapak barusan bilang apa?” Amara menolak untuk memercayai indera-inderanya. Juga melupakan janjinya agar mengubah panggilannya pada Reuben.“Saya menyukaimu, Amara,” balas Reuben dengan tenang. “Kenapa? Apa itu jadi masalah serius? Jangan bilang kalau kamu merasa canggung hanya karena saya pernah menjadi dosenmu. Atau....”Amara menggeleng cepat hingga lehernya terasa nyeri. “Bukan masalah itu. Saya nggak peduli siapa Bapak k
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih