Namun, niat untuk mengerjakan revisi skripsi tidak berjalan dengan mulus karena aku kesulitan berkonsentrasi. Aku akhirnya memilih mandi dan menghabiskan waktu dengan berbaring di ranjang dengan pikiran memantul-mantul tak keruan. Aku bahkan tak berselera memeriksa ponselku. Kepalaku dipenuhi pikiran tentang Thea dan Nilla.
Saat hendak makan malam di dapur, barulah aku bertemu dengan sesama penghuni Rumah Borju dan mendengar kabar yang mengerikan tentang Thea.
Sekitar pukul sembilan pagi, Thea sudah kembali ke Rumah Borju. Kondisi fisiknya dinyatakan baik-baik saja. Tadi siang, orangtua Thea datang untuk menjemput gadis itu. Jadi, saat Vicky datang ke Rumah Borju, dia tak sempat bertemu Thea. Chicha bilang, rencananya Thea dibawa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Bu Ridwan pun ikut menemani. Setelah itu, tidak ada yang tahu keberadaan gadis itu. Kemungkinan besar dibawa pulang ke Parapat.
Ternyata, berita yang didengar Levi memang bukan sekadar gosip
Esther beristigfar berkali-kali. Raisa dan Mitha mengumpat, memaki mantan asisten dosenku. Trudy membuat tanda salib. Dinda tertunduk, mulutnya berkomat-kamit. Aku seperti Esther, beristigfar meski cuma dalam hati. Kata-kata Susi benar-benar tak terduga.Saat itu, jantungku berdegup tak keruan, seirama dengan ketukan kencang yang membuat lututku pun terasa melemah. Aku masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan. Mungkin masih berada dalam fase setengah denial meski di sisi lain aku juga mulai menyadari bahwa Redho tak sebaik yang kukira.“Kenapa ada orang yang tega melakukan itu? Udah bukan kayak manusia beradab, tapi lebih hina dari binatang,” kata salah satu temanku. Gumaman setuju pun terdengar dari berbagai arah, termasuk dariku.“Apalagi, orang jahatnya adalah pacar sendiri,” imbuh Chicha. “Pastinya Thea nggak nyangka kalau Bang Redho tega sejahat itu sama dia, kan? Berarti, selama ini Bang Redho sialan itu cuma pu
“Eh iya, ada yang perlu diluruskan supaya nggak jadi fitnah. Anak itu nggak berniat bunuh diri. Dokter bilang gitu, berdasarkan luka di tangannya. Thea sendiri pun ngakunya dia melempar ponsel ke arah kaca di kamar mandi setelah sempat ngobrol sama Redho. Itu gara-gara Redho ngirim salah satu video yang dia rekam dan ngancam bakalan disebarin. Entah bagaimana, ada pecahan kaca yang nancap di tangannya,” jelas Bu Ridwan.Hening lagi. Kami semua tahu video apa yang dimaksud Bu Ridwan. Semua berita ini sulit diterima sebagai kebenaran dan dialami oleh orang yang kami kenal. Bukan cuma kisah yang berasal entah dari mana dan seakan tidak benar-benar nyata. Tidak sekadar kabar yang viral di media. Ini nyata, terjadi di sekitar kami. Dengan korban yang menjadi bagian dari Rumah Borju.“Waktu nganterin Thea ke sini, Vicky sempat nyuruh saya nelepon Bang Redho. Tapi hapenya nggak aktif,” kataku setelah menimbang-nimbang.Tatapan Bu Ridwan tertuju
“Iya, Bu,” balas kami nyaris serempak. Namun pemilik tempat indekos yang biasanya tak banyak bicara itu, tampaknya belum selesai. Kami diberi wejangan panjang agar berhati-hati memilih teman bergaul atau pacar. Mulai hari ini, Bu Ridwan juga menegakkan aturan baru. Setiap orang yang ingin meninggalkan Rumah Borju, wajib melapor pada satpam. Jika dijemput orang asing, maka satpam harus mencatat nomor ponsel yang bisa dihubungi. Serta mengambil foto kartu identitas si tamu.“Seharusnya, sejak dulu aturan ini udah dibuat. Bukannya nggak kepikiran, tapi saya nggak mau dianggap berlebihan. Apalagi yang ngekos di sini udah dewasa, minimal berumur dua puluh tahun. Saya anggap, kalian semua bisa jaga diri dengan baik.” Bu Ridwan mengembuskan napas. “Saya minta maaf karena sampai ada kejadian ini. Saya pun benar-benar terpukul karena Thea ngalamin semuanya.”Beberapa detik berselang, Trudy bertanya, “Thea bakalan balik ke sini ngg
Hidupku mungkin tidak mulus. Aku adalah produk keluarga berantakan. Namun, yang kujalani jauh lebih baik dibanding pengalaman Sonya atau Nilla, misalnya. Sonya memang terkesan sudah bisa menerima kehadiran Noni, tapi dia tetap menolak mati-matian tiap kali disarankan untuk menghubungi keluarganya. Menurut Sonya, tak ada yang menyayanginya. Sementara Nilla yang masih begitu belia, harus melewati banyak pengalaman traumatis yang menghancurkan kepolosannya.Aku merindukan Papa dan Mama. Namun, mustahil berharap keduanya bersatu lagi. Karena mereka sudah menemukan pasangan masing-masing. Aku harus menerima kenyataan itu dengan lapang dada. Tak ada yang bisa kulakukan jika berkaitan dengan Papa dan Mama.“Kamu pikir aku nggak pengin keluarga kita lengkap kayak dulu, Nef? Tapi, kita sama-sama tahu kalau itu mustahil. Selain itu, aku juga nggak mau kalau Mama dan Papa hidup seatap tapi nggak bahagia. Sering bertengkar atau semacamnya. Yang ada, kita malah jadi lebih ter
Setelah tiba di Puan Derana, Marco sibuk membantu para tukang yang sedang mengecat dan memperbaiki beberapa kerusakan. Mulai dari keran, retakan di dinding, hingga saluran air di wastafel yang mampet. Aku tak mungkin mengekorinya, kan?Ketika melihat kehadiranku, Nilla langsung memelukku. Dia juga mengikutiku menghabiskan banyak waktu menemani Sonya yang tak henti berceloteh tentang putrinya. Dalam beberapa kesempatan, Nilla menggendong Noni tanpa canggung sama sekali.“Karena aku biasa jagain adikku kalau mamaku lagi sibuk, Kak,” katanya saat kupuji keluwesannya menggendong Noni. “Aku juga bisa masak dan beresin kerjaan rumah tangga, Kak. Maklum, anak sulung. Jadi, sejak kecil udah biasa ngerjain ini-itu.”Gadis semuda itu seharusnya tidak menanggung beban sebesar dunia, kan? Aku tiba-tiba terpikir untuk bicara dengan Mama dan kakakku tentang Nilla. Mungkin aku bisa meminta bantuan mereka untuk secara khusus membiayai sekolah gadis ini h
“Aku nggak akan salah naik angkutan,” bantahku. “Kamu kira aku buta?”Marco tertawa sembari menyerahkan helm padaku. “Kamu nggak buta, Nef. Tapi kamu lagi banyak pikiran. Takutnya malah jadi nggak waspada.”Marco ada benarnya kali inii. Oleh karena itu, aku tidak lagi membantah lagi. Setelah memasang helm yang -lagi-lagi- dibantu oleh Marco, aku pun naik ke boncengan pacarku. Aku tiba di Rumah Borju sekitar pukul lima sore. Suasana tempat indekos cukup sepi. Tampaknya, teman-temanku masih belum pulang atau sedang beristirahat di kamar masing-masing.Hanya ada satu pintu yang terbuka, kamar Thea. Rasa penasaran mendorongku untuk menghampiri pintu yang terpentang itu. Kukira, akan melihat Mbak Titiek atau malah Thea di dalam kamar. Nyatanya, bukan keduanya. Melainkan Vicky yang sedang memasukkan pakaian Thea ke dalam koper berukuran besar.“Hei, Nef,” sapanya begitu menyadari kehadiranku. Dia melambai, mengund
“Kamu yakin Sonya udah punya anak, Nef?” tanya Vicky lagi. Pupil matanya melebar. Dia tak menjawab pertanyaanku tadi. Lalu, Vicky kembali mengulangi pertanyaannya dengan nada mendesak yang membuatku mau tak mau harus memberikan respons.“Yakin. Karena aku salah satu orang yang nungguin pas dia melahirkan. Kejadiannya masih belum lama. Selama ini, Sonya berbulan-bulan tinggal di Puan Derana, sempat lama nggak mau ngasih tau namanya. Dia cuma dipanggil Vanila doang. Gara-gara Sonya suka es krim rasa vanila. Kamu kenal sama Sonya ya, Vick?”Jantungku melompat-lompat liar, antara cemas dan dipenuhi harapan. Jika Vicky mengenal Sonya, tentu lebih baik. Mungkin Tante Danty bisa menemukan cara efektif untuk memberi tahu keluarganya tentang kondisi gadis itu tanpa menciptakan kehebohan. Apalagi, selama ini Sonya menolak mentah-mentah saat ditawari untuk mengabari keluarganya. Siapa tahu, Vicky bisa membuat hal itu menjadi lebih mudah.“Vick
“Sebelum Sonya kabur, tingkahnya makin aneh. Selalu pengin tidur di kamarku, beralasan ada hantu di kamarnya. Dia juga makin sering ngelamun, gampang kaget, susah fokus, mulai sering bolos sekolah. Dulu, kukira cuma karena rindu sama almarhum Papa karena memang mereka dekat. Tapi, belakangan aku jarang ketemu dia karena pindah ke rumah tanteku, adik bungsu Papa. Namanya Tante Wina. Aku pindah karena nggak tahan ngeliat tanteku sedih. Suaminya baru meninggal, padahal mereka belum lama nikah, sekitar setahunan. Tanteku juga baru keguguran. Aku cuma pengin ngehibur dan nemenin beliau karena takut kenapa-napa. Sejak itu, aku nggak tau banyak apa aja yang terjadi di rumah.”“Kamu nggak ngajak Sonya pindah juga?” tanyaku lagi. Aku memasukkan telepon genggam ke dalam tas selempangku,“Sonya sempat maksa pengin ikut tapi nggak dikasih Mama. Aku pun ngelarang. Mending dia tinggal bareng Mama biar ada yang ngawasin. Di rumah juga ada asisten rumah t
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih