Perjodohan yang dilakukan Ibu dan Bapak membuatku dilema. Bimbang antara cinta dan berbakti kepada orang tua.
Namun, jauh di dalam lubuk hati. Aku masih sangat berharap kepada Zidan. Walaupun entah kapan ia akan memenuhi janjinya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku seketika.
"Neng, Ibu masuk ya?"
Suara Ibu terdengar jelas di balik pintu. Tidak lama, pintu pun terbuka.
"Mau ya, nerima lamaran anak Ustaz Abdul!" bujuk Ibu dengan muka memelas.
"Ibu terlanjur mengiyakan, nggak enak kalau ditolak," ujarnya lagi.
Aku bergeming, membisu untuk beberapa saat. Namun, hati ini tidak tega melihat Ibu memohon-mohon kepada anaknya.
Bukankah sudah menjadi kewajiban anak menuruti dan membahagiakan kedua orang tuanya? Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?
"Ibu malu kalau nggak jadi, Neng. Ibu udah ngomong-ngomong ke tetangga."
Wanita paruh baya itu menunduk dan terlihat sedih. Embun mulai bersarang di manik hitamnya. Aku t
Rumah telah dipenuhi sanak saudara, keluarga dan beberapa tetangga dekat. Aneka hidangan, kue dan minuman segar telah disajikan rapi di atas karpet permadani.Aku duduk di atas karpet dekat ibu. Menunggu calon pendamping hidup yang akan datang. Tersimpan banyak do'a dan harapan untuk memulai hidup baru.Ketiga kakakku menyempatkan diri untuk datang dan bertemu calon suami adik bungsunya. Mereka terlihat bahagia dan asyik berbincang di ruang keluarga. Mengenang masa kecil dan masa sekolah.Sesekali terdengar gelak tawa yang menambah keceriaan rumah. Ketiga keponakanku berlarian kesana kemari membuat spot di jantung Kak Rianti."Aduh, hati-hati ntar jatuh. Awas pecah!"Suara Kak Rianti membuatku terkekeh. Akankah aku seperti itu kelak? Mengejar dan selalu mencemaskan buah hatiku. Ah, malah tambah ngawur otak ini.Hampir satu jam menunggu, dari jadwal yang dijanjikan. Ibu terlihat gelisah, manik hitamnya melihat ke ara
Sudah hampir satu jam berlalu. Aku berdiri di depan surau, memandang jauh ke depan. Namun, yang ditunggu tidak nampak seorang pun.Mungkinkah anak-anak itu dilarang mengaji oleh orang tuanya? Padahal baru seminggu yang lalu hati ini begitu bahagia, karena bertambahnya jumlah anak-anak yang mengaji.Akhirnya, selang beberapa menit dua anak kecil terlihat menuju ke surau sambil berlari."Assalamualaikum, Ustazah. Apa kami terlambat?" tanya Tasya dengan terengah-engah."Nggak, sayang. Ayo masuk!" ajakku dengan tersenyum ramah.Baru saja kaki ini hendak melangkah ke dalam surau, tiga anak yang lain kembali datang bersamaan."Assalamualaikum, Ustazah, maaf kami telat."'Allhamdulillah,' bisikku di dalam hati.Aku mengangguk seraya tersenyum lebar. Masih ada anak-anak dan orang tua yang masih mempercayaiku.Biarlah jika memang hanya lima anak ini yang sudi belajar denganku. Itu sudah lebih dari cukup. Semua kuniatkan karena Allah sema
Pagi itu, aku sedang murajaah di kursi teras rumah ketika dua pria asing datang menghampiri."Assalamualaikum," sapa seorang lelaki yang memakai baju Koko berwarna cokelat.Lelaki berpenampilan alim itu membawa sebuah tas jinjing di tangannya. Mungkinkah mereka adalah donatur yang dibicarakan Bapak?"Waalaikumsallam," jawabku kemudian beranjak dari tempat duduk.Aku terdiam sesaat, menelisik sosok salah satu pria yang berdiri di depanku. Jantung ini masih berdetak kencang saat manik kami saling bertemu."Ustaz Fikri?" tanyaku pelan, serasa tidak percaya dengan apa yang kulihat.Sudah lima tahun lebih aku tidak bersua dengannya. Sosoknya masih tetap sama seperti dulu. Tetap menawan dan memikat."Ukhty Dini?"Pria itu bertanya seolah tidak percaya. Kemudian tersenyum lebar. Ah, sudah lama diri ini tidak melihat senyum itu.Kami hanya saling melipat tangan dan mengangguk sembari tersenyum."Anti pengurus
Aku duduk di bagian akhwat yang dibatasi tirai dengan para ikhwan. Bapak duduk di seberangku, beliau terlihat asik berbincang dengan sahabat lamanya. Entah kapan terakhir kali melihat Bapak tersenyum lebar. Semoga ini menjadi awal takdir baik.Aku mencoba berfikir keras, memikirkan semua yang telah terjadi. Kenapa malam ini takdir mempertemukanku dengan lelaki yang melempar kotoran kepadaku?. Ah, baru saja hendak menimba ilmu di acara kajian ini. Hati keburu kesal karena lelaki bernama Syam itu. Bisa-bisanya ia tenang menyapa Bapak setelah menghancurkan hatinya.Ingin rasanya meminta kejelasan kepada lelaki itu. Walaupun semua telah usai lima tahun yang lalu. Namun, serasa ada yang mengganjal di hati. Yang harus segera diluruskan.Kejadian lima tahun silam seperti terlalu aneh dan cepat. Masih banyak tanya yang belum sempat terjawab.Aku beranjak dari dudukku dan keluar untuk mencari Syam. Acara akan dimulai sekitar satu jam lagi. Masih ada waktu un
Seminggu setelah keluar dari Rumah sakit. Aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Mengajar anak-anak dan mengurus renovasi serta penambahan Madrasah.Semua kembali normal, hanya saja hari-hariku diwarnai dengan tingkah Zidan yang mencairkan hati yang mengeras. Hampir setiap hari, ia datang ke rumah. Sekedar membawa sarapan atau kudapan manis kesukaan Bapak.Hari itu, Zidan datang pagi sekali. Ia memberikan bungkusan berisi nasi uduk dan gorengan, kemudian pergi dengan tergesa. Entah apa yang terjadi, aku hanya bisa memandang punggungnya dari jauh hingga menghilang bersama kuda besi yang ia naiki.♥️♥️♥️Hampir seminggu Zidan tidak datang ke rumah. Serasa ada yang kosong di hati. Aku memandang jauh ke depan. Berharap sosok yang mulai kurindu itu muncul. Hampir satu jam termenung di bawah pohon yang ada di halaman rumah. Namun, ia tidak kunjung datang.Mungkin ia terlalu sibuk dengan urusannya. Apalah diri ini yang hanya
Aku termangu seorang diri di depan pintu jendela. Ditemani rintik hujan yang tidak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Netraku melirik layar gawai beberapa kali. Tidak satu pesan pun datang dari Zidan.Senja beranjak malam, sudut mataku tetiba mengeluarkan bening hangat yang membasahi pipi. Entah perasaan apa ini?antara takut dan bahagia.Masa penantian akan segera berakhir. Cinta telah berlabuh di satu dermaga dan siap berlayar mengarungi samudera. Untuk kesekian kalinya, aku memantapkan hati hanya untuk satu nama.Namun, sudah tiga hari sejak ia menyatakan keseriusannya untuk menikahiku. Lelaki itu tidak memberi kabar sama sekali. Hati mulai gelisah dan takut, apa kejadian lima tahun silam akan terulang kembali?Membayangkannya pun sudah membuat hati ini sakit. Rasa takut mulai menyergap dan mengotori sanubari. Aku tidak akan sanggup jika harus membuat keluarga malu untuk kedua kalinya.Cukuplah satu kali saja, diri ini gagal melangkah ke pelaminan
Mentari pagi membelai hangat tubuhku. Sepertinya Ibu yang membukakan jendela kamar selepas subuh tadi.Aku beranjak dari tempat tidur, duduk tepat di depan jendela. Menghirup udara yang masih sangat segar, tanpa polusi. Nikmat mana lagi yang kami dustakan, Ya-Rabb.Semua tersedia geratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Akan tetapi, hamba terkadang, masih kufur akan nikmatmu.Suara pesan whattshap di gawai mengalihkan pandanganku. Aku bergegas menggapai gawai yang terletak di nakas tidak jauh dari jendela kamar.Aku menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap pesan dari Zidan yang berada di layar gawai."Huff, ternyata dari Salma."Aku mendengkus kesal, kemudian membuka pesan itu perlahan. Salma mengirim sebuah gambar."Asstagfirullah ...."Jantung ini serasa terhenti saat ini juga. Sesak hingga sulit untuk bernafas. Gambar berisi foto Zidan yang tengah memegang tangan Naura.
Mentari dan Rangga awalnya baik-baik saja setelah menginjak usia Perkawinan ke dua tahun. Mentari belum juga terlihat tanda-tanda akan hamil. Sang mertua yang sangat mendambakan seorang cucu mulai memaksa dan menekan pasangan suami istri itu. Akhirnya Rangga terpaksa menuruti perintah sang ibunda untuk menikah lagi dengan wanita pilihan ibunya. Bagaimana nasib Mentari setelahnya? Apakah ia akan mundur atau tetap bersama sang suami? Bab 1 Acara pentas seni yang di adakan Sanggar seni Pitaloka ramai pengunjung, tidak seperti biasanya yang hanya di datangi beberapa orang. Mentari tampil menawan melakonkan Putri Dayang Sumbi. Sangat serasi dengan penampilan Rangga sebagai Sangkuriang. Para penonton terpaku oleh kepiawaian akting keduanya. Terasa nyata dan penuh penghayatan. Acara pun ditutup dengan sorak sorai dan tepuk tangan penonton. Selang beberapa menit, sang aktris pun turun dan berbaur bersama pemain lain s