“Anda sadar kalau itu bisa membuat anda dibenci olehnya. Dibenci oleh anak anda sendiri. Apa anda benar-benar hanya memikirkan dan mementingkan tentang penerus perusahaan milik anda saja?"
Kevin menghilangkan keraguannya dan mengutarakan isi pikirannya meski itu menyinggung orang yang ada di depannya.
"Lalu anehnya lagi, kenapa anda harus terus mengincar Albert? Anda bisa melepaskannya dengan menikah lagi dan memiliki anak bersama orang yang anda inginkan," lanjut Kevin.
“Kau memang tidak tahu apa-apa. Albert anakku satu-satunya. Dan kenyataan itu tidak akan pernah berubah.” Helena membalas.
“Anda mengatakan seolah-olah sangat menyayanginya, lalu mengapa meninggalkannya hanya karena sebuah perjanjian?” tanya Kevin.
“Bagaimana mungkin jika kau tidak menyayanginya jika hanya dia anak yang kau miliki dan tidak akan bisa memiliki yang lain?” tanya Helena mengangkat sebelah alisnya. Ia mengak
Kevin merenung dan mengingat kembali kejadian sebelumnya saat berada di rumah sakit. Ia seolah tidak peduli saat ini masih berada di depan Helena.Beberapa hari yang lalu, Kevin sedang menjaga Oliver yang sudah sadar dari masa kritisnya sejak tiga hari yang sebelumnya.Oliver sedang duduk bersandar bantal di atas kasurnya.“Apa kau mendengar sesuatu tentang kecelakaan ayah dari Albert?” tanya Oliver tiba-tiba pada kevin yang sedang membaca buku.Kevin mengalihkan perhatian dari buku bacaannya pada ayah angkatnya.“Anda tidak diberitahu olehnya?” Kevin balas bertanya sembari melihat ke arah Oliver.“Dia pasti menyelidikinya, kan,” kata Oliver juga tidak menjawab pertanyaan Kevin.“Benar, tapi dia tidak menemukan apa-apa dengan penyelidikannya.” Kevin tidak berbohong, tapi
59Melihat Albert yang berjalan, Kevin segera berdiri dari sofa di sudut ruangan dan mengejar Albert hingga di depan pintu kamar rawat inap.Sebelum Albert keluar, dia membuka pintu dan menatap Kevin sejenak.“Jaga ayah. Selanjutnya hanya kau yang bisa aku andalkan,” kata Albert pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua saja.“Kau benar-benar akan pergi?” tanya Kevin dengan suara rendah dan menyamai rendahnya suara Albert.“Tenang saja, aku tidak mungkin langsung pergi begitu saja. Lagi pula aku masih bisa menemuimu dan ayah nantinya. Aku pergi bukan berarti kita benar-benar berpisah.” Albert lalu tersenyum untuk menenangkan Kevin.Kevin menggigit bibirnya dan menahan napasnya.Albert melanjutkan, "Kalau pun aku tidak bisa, akan aku pastikan untuk mencari cara agar bisa bertemu kalian lagi."Kevin mengangguk pelan sembari menunduk.“Aku mengerti. Aku jug
Karena percakapan antara Kevin dan Helena selesai, Kevin pamit dan pergi dari kediaman Helena.Helena menatap sofa kosong di hadapannya.Kevin sudah pergi beberapa menit yang lalu tapi Helena belum beranjak dari duduknya dan memilih berdiam diri di sofa.Kalimat terakhir yang Kevin ucapkan kembali terngiang di pikiran Helena.“Jika anda masih ragu tentang tuan Oliver,” sahut Kevin lagi saat beranjak dari duduknya dan berdiri menyamping dari Helena.“Silahkan anda tebak, apa alasan tuan Oliver tidak menikah lagi sampai sekarang. Mengapa beliau tidak mencari ibu pengganti untuk Albert?”Lalu Kevin pun berlalu dari hadapan Helena.“Hanya menebak? Kenapa kau tidak menyuruhku langsung untuk mencari tahu saja sekalian.”Helena bisa membalas seperti itu membuat langkah Kevin berhenti.“Saya tidak minta seperti itu, karena saya rasa Nyonya Helena tidak aka
Saat itu, Revan menggenggam sebuket bunga untuk diberikan pada ibunya. Ia menapaki jalan setapak di pemakaman umum dengan perlahanLalu tiba-tiba seseorang yang dilihatnya membuat Revan berhenti melangkah. Ia melihat ayahnya di makam ibunya.Hal itu sangat jarang terjadi.Tapi kemudian ayahnya mulai berjalan menjauh dari situ.Revan mengira ayahnya akan kembali pulang namun ternyata ayahnya berhenti di salah satu makam.Revan mendekati ayahnya dari belakang, tapi berhenti setelah jaraknya tersisa lima meter. Agar ayahnya tidak langsung merasa terganggu, karena ia sedang mengamatinya dari belakang.Revan tidak takut ayahnya akan menoleh ke belakang dan mengenalinya. Karena Revan sedang memakai topi dan hodie untuk membuatnya tidak dikenali siapapun selama diluar rumah.Revan juga tidak takut kalau ada penjaga yang menangkapnya dan mengiranya sebagai pencuri makam. Karena ia memang memakai pakaian y
“Apa yang kau pelajari hari ini?” tanya ibunya yang tengah duduk di kasur pasien.“Apa, ya? Aku lupa. Yang aku ingat hanya banyak tugas yang diberikan guru,” jawab Revan tidak peduli, tapi ia berusaha menjawab dengan raut wajah yang semangat.“Kau lupa? Anak ini. Jangan lupa kerjakan semua tugasnya. Kau juga tidak usah menghabiskan waktu disini, sebentar lagi kau ulangan semester, kan?” tanya ibunya sembari mengelus kepala Revan.“Iya. Ibu tenang saja. Aku sudah siap seratus persen dengan ujiannya. Bahkan jika ujiannya dilakukan sekarang aku bisa mengerjakannya dengan baik,” balas Revan percaya diri.Ibunya tertawa, “Iya, aku tahu anakku memang cerdas.”Revan ikut tertawa bersama ibunya.Tapi sejak Revan mulai lebih sering berkelahi dan bolos, ia juga dikeluarkan dari sekolah. Dan itu terjadi berkali-kali. Revan pindah dari satu sekolah ke sekolah lain lebih dari satu kali.I
Revan sekarang berada di sebuah kamar hotel. Ia telah memesan satu kamar untuk satu malam karena sudah memutuskan jika ia tidak akan pulang malam ini.Revan lalu melihat ponselnya yang dipenuhi notifikasi pesan dan panggilan. Sudah pasti itu semua dari kakaknya, Valen. Karena ayahnya tidak mungkin menghubunginya.Sedangkan teman-temannya sudah pasti tidak akan menghubunginya, apa lagi dengan berlebihan seperti ini.Kevin sedang sibuk dengan keluarganya juga. Sedangkan Diana, mereka baru saja bertemu.Revan tidak membaca semua pesan dari kakaknya. Tapi ia mengirim pesan balasan untuk Valen, yang mengatakan bahwa dirinya tidak akan pulang malam ini. Sekaligus pesan yang mengatakan ia akan berbicara pada Valen besok ketika pagi hari. Tentu saja saat ia pulang ke rumah.Revan sengaja memilih pagi hari karena besok hari libur. Revan tidak perlu ke sekolah dan ia sudah menyiapkan dirinya menghadapi pembicaraan yang mungkin membuat kep
Akhirnya Derrick yang berdiri di balik dinding memutuskan menampakkan dirinya pada Revan dan Valen. Tapi hanya Valen yang langsung melihatnya terlebih dahulu. Valen dan ayahnya saling memandang seketika karena ke ayahnya yang tiba-tiba muncul. “Ayah.” Valen menyebut ayahnya membuat Revan mengeryitkan alisnya. Ia berbalik dan melihat kehadiran ayahnya. Revan menatap wajah ayahnya tanpa mengatakan apa-apa. Ia penasaran dari mana asal ayahnya datang dengan tiba-tiba. Akhirnya Derrick mendekati keduanya. “Aku mendengar pembicaraan kalian,” kata Derrick memulai percakapan baru tiba-tiba. Revan terkejut. Dia mendengarnya? batin Revan benar-benar heran. Sejak kapan ayahnya mende
“Kau dan Valen adalah saudara sepupu," lanjut Derrick.Inilah alasannya mengapa wajahnya Revan bisa mirip dengan Valen. Padahal mereka bukan saudara kandung.Ini bukan karena kebetulan, tapi karena faktor genetik, sebab ibu mereka berdua itu ternyata adalah saudara kembar.Valen dan Revan mewarisi kemiripan dari ibunya masing-masing.“Valen lebih mirip dengan istriku dan kau lebih mirip dengan ibu kandungmu, itulah yang membuat kalian mirip.”Revan dan Valen saling berpandangan.Revan membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tapi ia bingung bagaimana menyusun kalimatnya hingga tidak ada satupun kata yang keluar.“Tapi, jika
Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar
Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters
Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb
Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di
Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers
Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.“Duduklah di samping kemudi,” katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.“Kau kelihatan tegang,” kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. “Aku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a
Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. “Revan?”Revan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. “Diana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, “Kalian juga menjenguk Kevin?”David mengangguk. “Baru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat
Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asing—bau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang