Revan yang melihat ekspresi tidak biasa dari Diana menjadi tertegun.
Diana menatapnya dengan tanpa ragu, meyakinkan Revan bahwa Diana mengkhawatirkannya.
Baru kali ini Revan melihat ekspresi yakin saat mengkhawatirkan sesuatu bukan ekspresi takut saat cemas.
Seolah Diana mengatakan 'aku peduli padamu' dengan tatapan pasti.
"Dan ternyata kekhawatiranku itu benar. Kau terlihat tidak baik-baik saja." Diana melanjutkan karena Revan hanya diam tidak membalas perkataannya.
"Begitu kah kelihatannya?" tanya Revan menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Tatapan Diana melemah sedikit saat melihat Revan yang mengalihkan tatapan darinya.
Revan tidak menyangkal ucapannya dan malah bertanya seperti itu tanpa melihat Diana.
"Karena hal seperti ini juga menjadi alasan aku ingin sendirian." Revan melanjutkan saat Diana diam belum membalas ucapannya.
Ternyata Revan menyendiri itu karena tida
Revan membuka mulutnya untuk membela diri. āHanya saja, bagaimana bisa kau mengatakan tertidur di sini. Kau itu 'kan perempuan dan ini alam terbuka.ā Revan masih mencoba mencari alasan agar Diana tidak marah padanya. Diana berbalik dan tidak lagi membelakangi Revan. Ia memejamkan mata mencoba menerima alasan Revan sekaligus menghilangkan perasaan malu dan tidak nyamannya. Meski Diana sudah berbalik dan menghadap Revan, ia masih melipat kedua tangannya di depan tubuhnya. Semoga Revan tidak berpikiran Diana masih marah karena gayanya yang terkesan angkuh itu. āSeharusnya kau sudah tahu maksudku 'kan. Yah, terserah. Sekarang aku ingin bertanya,ā kata Diana menatap Revan dengan serius. āApa? Kau ingin bertanya apa?ā tanya Revan tiba-tiba merasa harap-harap cemas dengan pertanyaan Diana. āBagaimana kau ke sini?ā tanya Diana. āDengan mengendarai motor.ā Revan menjawab dengan jujur. āNanti aku numpang, ya?
āTak dipungkiri. Kalau aku jadi kau, mungkin aku juga akan memilih untuk menanyakannya langsung dengan jelas.ā Revan ternyata sependapat. Diana mengira ia akan mengajukan pertanyaan karena ia mengira Revan akan memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Diana. Tetapi justru mereka sepemikiran dalam hal ini. āSeharusnya yang kau katakan itu adalah āaku mengaku kalau kata-kataku memang akan membuat salah pahamā. Jadi kau harus lebih memperhatikan ucapanmu lagi.ā Diana mengoreksi Revan. āPadahal aku setuju dengan pemikiranmu, kau malah menyalahkanku?ā sahut Revan mengangkat sebelah alisnya. Diana tersenyum, āHanya agar kejadian seperti tak merepotkan mu lagi.ā āBenar.ā Kejadian seperti ini jika terjadi lagi akan membuat Revan sendiri yang repot. Membuat orang lain salah paham walau tak disengaja itu sangatlah merepotkan. āOh iya, Kevin mengantarku tadi dengan mobil. Ia sudah belajar mengendarai mobil ketika libu
David menahan napasnya saat membaca surat yang ia pegang. Sebuah surat pemberitahuan bahwa pencarian korban kecelakaan salah satu pesawat akan dihentikan. Padahal korban kecelakaan pesawat itu belum ditemukan seluruhnya. Pihak perusahaan dari maskapai memberhentikan pencarian setelah enam bulan berjalan dan tidak membawa hasil yang diharapkan. Sampai sekarang belum ada pemberitahuan mengenai orang tua David. Orang tua David dan Diana mengalami kecelakaan pesawat. Mereka sudah dipastikan tidak selamat. Seluruh penumpangnya tak ada yang selamat. Karena hal ini Diana terguncang, ia sangat dekat dengan orangtuanya. Otak Diana mengalami masalah karena syok berlebihan yang mengakibatkan ia trauma. Ia seperti robot yang kehilangan sistem program. David tahu, setiap malam Diana tidak bisa tidur nyenyak. Ia akan terus dihantui mimpi buruk tentang orang tuanya. Dan saat Diana bangun dari mimpi buruknya, pikirannya kosong
āAku tidak tahu. Aku hanya menuruti perintah guru saja. Kau tidak percaya? Tanyakan saja pada ketua kelas.ā Michael menjawab pada akhirnya. āKetua kelas sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan hari ini. Kalau memang benar seperti yang kau katakan, bagaimana kalau aku yang pergi menemui guru untuk memastikan.ā Diana hendak bangkit berdiri dari duduknya di kursi. Tapi Michael tampak keberatan dan mencegahnya. āKau akan kerepotan kalau begitu. Biar aku saja yang menemui guru dan meminta beliau untuk mengganti kelompokku agar tidak sekelompok denganmu dan menjadi anggota di kelompok lain. Masih banyak yang mau sekelompok denganku.ā Michael sepertinya mengalah dan tidak ingin lagi sekelompok dengan Diana. Sedangkan di sekumpulan gadis yang masih mengamati mereka tampak senang. āMichael memang baik dan tidak mau merepotkan orang lain. Kami dengan senang hati akan menerimamu
Revan berusaha untuk tetap tenang di setiap langkahnya. Ia mendapat kabar bahwa Valen sedang berada di rumah sakit. Revan tidak akan gelisah jika Valen berada di rumah sakit karena melakukan suatu kegiatan untuk meneliti atau mengunjungi kenalannya yang sakit. Tapi Valen yang menjadi pasien saat ini bukan kenalannya. Revan segera datang mengunjungi Valen. Sejak memasuki rumah sakit, Revan sudah menahan perasaan tak nyaman karena rumah sakit tak pernah memiliki reputasi yang baik di dalam ingatannya. Tempat ini pasti sering menyimpan kejadian tak menyenangkan untuk sebagian orang. Salah satunya adalah Revan. Akhirnya Revan sampai di depan pintu ruangan dimana Valen di rawat. Meski sudah sampai, perasaan Revan justru semakin menjadi tak tenang. Semua pintu di rumah sakit tentu akan terlihat sama. Dan Revan melihat pintu ini sama seperti pintu yang mengingatkannya dengan kejadian dua tahun yang lalu. Ingatan tentang
āDan menurutmu kenapa dia bisa meninggal karena kelelahan?ā Tiba-tiba ada suara yang menimpali di dalam ruangan yang ternyata ada lebih dari dua orang. āAyah,ā gumam Valen melihat sosok yang bersuara di belakang Revan. āSalah satunya adalah keberadaaan dirimu yang semakin menjadi beban untuknya. Dia harus mengurus dirimu yang sangat merepotkan,ā lanjut sosok di belakang Revan. āAyah, maksud ayah apa?ā tanya Valen. Valen tidak ingin ayahnya menyalahkan Revan lagi. Sedangkan Revan semakin erat mengepalkan tangannya ketika tahu siapa yang berbicara. Ia tidak mau berbalik melihat sosok dibelakangnya. Revan berusaha mengabaikan ayahnya dan berbicara dengan Valen, āKau terlalu kelelahan karena mengurus perusahaan selama beberapa hari karena aku tidak menemanimu, kan.ā Saat itu Revan sibuk menyelesai
āSetelah perceraian orang tuaku, hubungan antara kedua perusahaan memburuk. Satu dipimpin ayah dan satunya lagi dipimpin ibu. Mereka menjadi saingan. Lalu entah karena apa, ibu membenci ayah. Ia ingin merebut diriku kembali dari ayah.ā āDia melanggar perjanjian?ā kata Kevin pada akhirnya. āAku tidak tahu. Jika perjanjiannya adalah perpisahan setelah pewaris keluarga lahir, maka dia tidak melanggar perjanjian. Karena aku tidak ditentukan harus bersama ayah atau ibu, dan lagi aku itu juga sebenarnya adalah pewaris kedua perusahaan. Tapi ibu mengira aku akan melanjutkan posisi ayah mewarisi perusahaan ayah saja jika bersama ayah. Dia menginginkan hal yang sebaliknya.ā "Lalu bagaimana kau bisa tinggal bersama ayah dari pada tinggal bersama ibumu?" Kevin baru sadar dan menanyakan itu. Albert menjawab, "Tentu saja itu hasil dari pengadilan. Kata ayah, ibu menerima hasil itu. Mereka sudah sepakat. Mungkin sekarang ibu berubah pikiran setelah aku dewasa d
āEh, kenapa malah ingin bersama kelompok lain?ā tanya Diana pura-pura tidak tahu niat Michael yang sebenarnya. āTidak, aku hanya takut kau merasa keberatan. Aku sudah mencari kelompok lain, karena aku mengira kau akan menolakku untuk sekelompok denganmu.ā Michael menjawab dengan lancar. Sepertinya ia sengaja ingin membuat Diana kesal. āTapi itu hanya kekhawatiranmu, kan.ā Diana mengatur ekspresinya seperti orang yang menjebak daripada dijebak, itu membuat Michael mengangkat sebelah alisnya. āAku hanya berjaga-jaga jika kau menolakku menjadi anggota kelompokmu,ā balas Michael. āBagaimana, ya?" Diana sengaja menampakkan raut kecewa. Namun ekspresinya berubah dengan senyum miring. "Tapi, sebenarnya aku sudah memberitahu guru bahwa kau akan sekelompok denganku dan guru sudah setuju. Jadi kau telah dicatat oleh guru sebagai salah satu anggota kelompok kami.ā āApa?ā Michael entah harus merasa seperti orang yang ketahuan berbohong atau or
Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. āRevan, aku penasaran dengan sesuatu.āRevan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. āKenapa?āKevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. āAku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.āRevan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar
Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.āSudah siap?ā tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. āSiap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?āDiana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.āKau tidak gugup?ā tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. āTidak ada alasan untuk gugup.āKevin terkekeh. āYa, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. āSiap?āKevin mengangguk mantap. āTentu.āAlbert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.āKevin.ā Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters
Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagiāberada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. āSelamat datang kembali.āKevin menoleh dan tersenyum. āKak Albert, kau benar-benar tidak main-main.āāTentu saja tidak,ā ujar Albert sambil terkekeh. āIni adalah hari istimewamu.āMereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb
Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di
Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatuāapa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.āDiana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!ā suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. āRevan?āāIya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,ā sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.āHai,ā sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers
Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.āDuduklah di samping kemudi,ā katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.āKau kelihatan tegang,ā kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. āAku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a
Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. āRevan?āRevan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. āDiana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, āKalian juga menjenguk Kevin?āDavid mengangguk. āBaru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat
Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asingābau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang