Share

Bab 38

Penulis: Dina Dwi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-07 08:33:40

Revan berusaha untuk tetap tenang di setiap langkahnya. Ia mendapat kabar bahwa Valen sedang berada di rumah sakit.

Revan tidak akan gelisah jika Valen berada di rumah sakit karena melakukan suatu kegiatan untuk meneliti atau mengunjungi kenalannya yang sakit. Tapi Valen yang menjadi pasien saat ini bukan kenalannya.

Revan segera datang mengunjungi Valen. Sejak memasuki rumah sakit, Revan sudah menahan perasaan tak nyaman karena rumah sakit tak pernah memiliki reputasi yang baik di dalam ingatannya. 

Tempat ini pasti sering menyimpan kejadian tak menyenangkan untuk sebagian orang. Salah satunya adalah Revan.

Akhirnya Revan sampai di depan pintu ruangan dimana Valen di rawat. Meski sudah sampai, perasaan Revan justru semakin menjadi tak tenang. 

Semua pintu di rumah sakit tentu akan terlihat sama. Dan Revan melihat pintu ini sama seperti pintu yang mengingatkannya dengan kejadian dua tahun yang lalu. 

Ingatan tentang

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • We Are   Bab 39

    “Dan menurutmu kenapa dia bisa meninggal karena kelelahan?” Tiba-tiba ada suara yang menimpali di dalam ruangan yang ternyata ada lebih dari dua orang. “Ayah,” gumam Valen melihat sosok yang bersuara di belakang Revan. “Salah satunya adalah keberadaaan dirimu yang semakin menjadi beban untuknya. Dia harus mengurus dirimu yang sangat merepotkan,” lanjut sosok di belakang Revan. “Ayah, maksud ayah apa?” tanya Valen. Valen tidak ingin ayahnya menyalahkan Revan lagi. Sedangkan Revan semakin erat mengepalkan tangannya ketika tahu siapa yang berbicara. Ia tidak mau berbalik melihat sosok dibelakangnya. Revan berusaha mengabaikan ayahnya dan berbicara dengan Valen, “Kau terlalu kelelahan karena mengurus perusahaan selama beberapa hari karena aku tidak menemanimu, kan.” Saat itu Revan sibuk menyelesai

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • We Are   Bab 40

    “Setelah perceraian orang tuaku, hubungan antara kedua perusahaan memburuk. Satu dipimpin ayah dan satunya lagi dipimpin ibu. Mereka menjadi saingan. Lalu entah karena apa, ibu membenci ayah. Ia ingin merebut diriku kembali dari ayah.” “Dia melanggar perjanjian?” kata Kevin pada akhirnya. “Aku tidak tahu. Jika perjanjiannya adalah perpisahan setelah pewaris keluarga lahir, maka dia tidak melanggar perjanjian. Karena aku tidak ditentukan harus bersama ayah atau ibu, dan lagi aku itu juga sebenarnya adalah pewaris kedua perusahaan. Tapi ibu mengira aku akan melanjutkan posisi ayah mewarisi perusahaan ayah saja jika bersama ayah. Dia menginginkan hal yang sebaliknya.” "Lalu bagaimana kau bisa tinggal bersama ayah dari pada tinggal bersama ibumu?" Kevin baru sadar dan menanyakan itu. Albert menjawab, "Tentu saja itu hasil dari pengadilan. Kata ayah, ibu menerima hasil itu. Mereka sudah sepakat. Mungkin sekarang ibu berubah pikiran setelah aku dewasa d

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • We Are   Bab 41

    “Eh, kenapa malah ingin bersama kelompok lain?” tanya Diana pura-pura tidak tahu niat Michael yang sebenarnya. “Tidak, aku hanya takut kau merasa keberatan. Aku sudah mencari kelompok lain, karena aku mengira kau akan menolakku untuk sekelompok denganmu.” Michael menjawab dengan lancar. Sepertinya ia sengaja ingin membuat Diana kesal. “Tapi itu hanya kekhawatiranmu, kan.” Diana mengatur ekspresinya seperti orang yang menjebak daripada dijebak, itu membuat Michael mengangkat sebelah alisnya. “Aku hanya berjaga-jaga jika kau menolakku menjadi anggota kelompokmu,” balas Michael. “Bagaimana, ya?" Diana sengaja menampakkan raut kecewa. Namun ekspresinya berubah dengan senyum miring. "Tapi, sebenarnya aku sudah memberitahu guru bahwa kau akan sekelompok denganku dan guru sudah setuju. Jadi kau telah dicatat oleh guru sebagai salah satu anggota kelompok kami.” “Apa?” Michael entah harus merasa seperti orang yang ketahuan berbohong atau or

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • We Are   Bab 42

    “Jangan, Kak!” Diana sekali lagi berseru menghentikan orang lain yang hendak membalas memukul Michael. David menoleh pada Diana, ia melihat gelengan dan tatapan Diana yang menyuruhnya tidak membalas Michael. David akhirnya melepaskan tangannya di kerah kemeja Michael dengan terpaksa. Kerutan tidak senang masih terlihat sangat jelas di wajahnya. Tapi melihat Diana yang melarangnya, David yakin ada alasannya. Bisa gawat jika dia melaporkan pada ayahnya, aku yang harus bertindak, ucap Diana dalam hati. Itulah alasan Diana untuk menghentikan mereka yang mau membalas memukul Michael. “Kenapa membiarkannya?” tanya David. “Siapa bilang? Aku berencana melaporkannya pada polisi,” jawab Diana. “Apa?” mereka jelas terkejut. Michael tiba-tiba tertawa. Diana lalu melanjutkan perka

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • We Are   Bab 43

    “Diana, menurutmu, apa mungkin dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik? Si Michael itu? Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Kevin secara tiba-tiba pada Diana yang berdiri di depan lokernya. Diana yang terkejut karena Kevin bertanya terlalu dekat dengannya. Saat ini ia sedang di depan lokernya dan mengambil buku dari dalam lokernya. Diana spontan mundur namun tidak disangka ada seseorang di belakangnya membuat Diana membenturkan punggungnya tanpa sadar. Tapi bukan itu yang parah, Diana juga tanpa sadar membenturkan kepala bagian atasnya mengenai dagu orang yang berada di belakangnya dengan sangat keras. “Aduh!” jerit keduanya. Diana memegang kepalanya sambil berjongkok. Sedangkan korban lainnya memegang dagunya karena kesakitan. “Kau ceroboh sekali!” kata korban yang memegang daguny

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • We Are   Bab 44

    “Ikut aku.” Diana tengah menarik Revan menuju kantin sekolah.Diana menarik Revan hingga ke kantin yang menjual berbagai makanan roti dan kue dan semua makanan itu terbungkus dan disusun rapi di etalase.Revan bingung kenapa Diana mengajaknya ke sini. Tapi ia membiarkan Diana menariknya sampai di sini.“Mana makanan yang kau suka?” tanya Diana sambil melihat-lihat roti sandwich dengan berbagai isi.Revan tidak mengerti tapi beberapa detik berlalu akhirnya Revan menunjuk salah satu makanan.“Eh? Sandwich telur?” tanya Diana memandang Revan.Revan hanya mengangkat bahu, "Aku asal pilih."“Ya sudah, apalagi?” tanya Diana sembari mengambil sandwich telur.“Kau mau mentraktirku? Aku tidak pernah membeli di sini,” balas Re

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • We Are   Bab 45

    Kemarin Michael terlalu fokus hingga tidak sadar Diana datang dan memberikan memberikan ponselnya, tapi kali ini Michael segera sadar jika ada orang yang mendekatinya. Alisnya menekuk saat matanya melihat siapa yang datang. Diana mendatanginya lagi.“Mau apa kau ke sini?” tanyanya. Ia sama sekali tidak peduli jika suaranya tidak terdengar ramah.Diana tidak langsung menjawab. Ia meletakkan sesuatu di atas leptop Michael.“Hei?!” teriak Michael melihat tingkah Diana.Tanpa merasa bersalah, Diana tersenyum. Hal itu menambah kekesalan Michael, ia hendak melempar atau membuang apa pun itu yang diletakkan Diana di atas leptopnya. Tapi keinginannya tertahan karena perkataan Diana selanjutnya.“Aku tahu kau belum makan, karena itu aku memberikan ini.”

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • We Are   Bab 46

    Diana merasakan keningnya berkedut melihat ternyata masih ada beberapa gadis yang bertahan di depannya dan tidak mendekati Michael. Mereka masih tersisa lima orang. “Kami hanya menyukai Revan,” sahut mereka seolah mengerti tatapan bingung Diana. Diana terdiam. Pengemar yang sangat setia, batin Diana mendengus dalam hati. Memangnya kesetiaan mereka itu memberikan keuntungan? “Oh, jadi begitu. Apa kalian ingin mendekati temanku Revan?” tanya Diana menekankan suaranya pada kata ‘temanku’. “Ikuti aku, aku bisa mempertemukan kalian dengannya,” lanjut Diana hendak berjalan melewati mereka tapi ternyata ia dihalangi. Mereka mencegah Diana pergi. “Kami hanya mau bicara denganmu,” kata mereka sembari memojokkan Diana. “Oh, begitu ya. Jadi apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26

Bab terbaru

  • We Are   Bab 90 (END)

    Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar

  • We Are   Bab 89

    Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l

  • We Are   Bab 88

    Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters

  • We Are   Bab 87

    Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb

  • We Are   Bab 86

    Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di

  • We Are   Bab 85

    Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers

  • We Are   Bab 84

    Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.“Duduklah di samping kemudi,” katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.“Kau kelihatan tegang,” kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. “Aku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a

  • We Are   Bab 83

    Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. “Revan?”Revan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. “Diana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, “Kalian juga menjenguk Kevin?”David mengangguk. “Baru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat

  • We Are   Bab 82

    Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asing—bau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status