Tiga kursi yang mengelilingi meja makan itu telah terisi. Lengkap, semua anggota keluarga berkumpul di sana untuk makan pagi, seperti biasanya. Suara denting sendok dan garpu saling beradu di atas piring keramik yang berisi sajian menu menggugah selera sedikit membuyarkan suasana hening yang tercipta."Mama berencana liburan ke Lombok minggu depan. Kamu mau ikut?" di sela acara makannya Karina membuka satu pertanyaan untuk Sang putra. Ia melirik sejenak ke arah Nardo sekedar untuk menanti jawaban atas pertanyaannya. "...."Alih-alih menjawab, pria tampan salinan ayahnya itu tak memberikan respons sama sekali, seakan ucapan Sang ibunda tak berhasil menembus indera rungunya. Nardo hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Pria itu memang kehilangan nafsu makan akhir-akhir ini."Nardo?" merasa tak mendapatkan atensi, Karina memanggil nama putranya, sampai pria itu tersentak kembali dalam kehidupan nyata setelah angannya melanglang buana entah ke mana. "Ya?" tanyanya."Kamu melamun."N
Jika obat dari merindu adalah sebuah pertemuan, lantas bagaimana caranya menyembuhkan rasa rindu pada seseorang yang telah tiada? Chiara memejamkan mata pedih di ambang pintu kamar Naomi. Sudah berulang kali ia menyeka air mata, tapi berkali-kali pula air kesedihan itu kembali meluncur membasahi pipi, seakan tidak akan ada habisnya. Dia sangat merindukan kakaknya, rindu yang tidak akan mungkin ada penawarnya. Sekarang mereka sudah berbeda dunia.Chiara baru tahu jika kamar mendiang sang kakak telah pindah ke lantai dasar. Kamar yang semula adalah kamar tamu itu kini berubah dipenuhi warna pastel pada setiap sisi temboknya, khas Naomi. Hampa adalah hal pertama yang gadis itu tangkap, sebab dirinya menyadari jika kamar yang sedang dia pijak kini sudah kosong, tidak lagi berpenghuni sebab pemiliknya telah pergi. Dengan langkah sangat pelan gadis itu mendekati sebuah lemari kaca, lemari yang dipenuhi oleh piala-piala mendiang kakaknya. Dia menatapnya nanar dengan setitik air mata. Tanga
"CUT!" Nardo berteriak cukup lantang dengan sebuah megafon di tangannya, memberi aba-aba. Secara otomatis para pemain dalam set di depan sana menghentikan segala peran yang mereka mainkan. Di detik itu pula seorang Clappers memasukkan sebuah clapper board ke dalam frame dalam keadaan terbalik, menepuknya sekali lalu membaca segala informasi yang tertulis di sana."Oke, perfect! Syuting hari ini cukup sampai di sini. Kerja bagus, ucap Nardo setelahnya. Terlihat para pemain serta para kru mulai membubarkan diri, syuting sudah selesai. Seakan tak ingin membuang waktu, Nardo segera membereskan segala barang bawaannya, memasukkannya ke dalam tas. Namun, suara lembut seorang perempuan yang memanggil namanya menghentikan pergerakan pria itu."K-kak Nardo ..."Ketika pria yang dipanggil mengangkat dagu, wajah memerah Almera lah yang masuk ke dalam retinanya. "Hm?" Pria itu hanya menggumam bertanya, keningnya sedikit berkerut. Almera tidak langsung menjelaskan maksudnya, dia justru terliha
Semenjak Chiara tahu tentang kepergian Naomi, semenjak itu pula gadis itu kehilangan senyumannya. Hari-hari belakangan ini dia tampak murung, membuat ayah dan ibunya merasa khawatir. Namun mereka tahu jika Chiara adalah gadis yang kuat, dia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan.Matahari sudah tepat di atas kepala. Hawa panas tidak sedikit pun membuat Chiara beranjak dari tempat duduknya di teras rumah. Gadis itu masih saja betah mengunci mulutnya, padahal ada Evan yang sedari tadi duduk pada bangku di seberangnya, bersekatkan meja kayu bundar berpelitur mengkilap. Perkuliahan hari ini selesai lebih cepat dari hari biasanya, dan Chiara masih enggan untuk sekedar bertanya pada sang sahabat."Hari ini ada tugas. Nanti mau menyalin punyaku, tidak? Kebetulan sudah aku cicil kerjakan. Kamu mulai masuk besok kan, Chia?" tanya Evan, mencoba membuka percakapan. Jujur saja, pemuda itu merasa sedikit tidak nyaman dengan kediaman Chiara. Karena selama ini Chiara adalah gadis yang banyak ber
Paradise columbarium terasa cukup sepi sore ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang berada di setiap sisi dinding berlaci. Chiara mengedarkan pandangannya, menurut petunjuk dari Sang ibu, laci abu Naomi berada di sisi kiri.Ya, setelah Evan pulang, Chiara memutuskan untuk menemui Naomi, sendirian. Dia sudah meminta izin ibunya, beralasan pergi dengan Evan meskipun kenyataannya dia hanya seorang diri. Banyak hal yang ingin gadis itu sampaikan pada mendiang kakaknya, dan dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya. Setelah sejenak mengembuskan napas berat, langkah kaki Chiara menjejak mendekati dinding laci sebelah kiri tubuhnya. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti secara mendadak ketika tatapannya menangkap presensi seseorang yang sangat tidak asing di ujung sana. Sosok seorang pria yang tampak tertidur sambil duduk bersandar pada laci yang Chiara tebak adalah milik Naomi.'Kak Nardo ....'Secara refleks tangan Chiara terangkat menyentuh dada. Entah karena terkejut atau bag
Sudah berbulan-bulan dari terakhir kali Chiara bertemu dengan Nardo di Columbarium, selama itu pula mantan calon Kakak iparnya itu tidak lagi menunjukkan dirinya. Kurang lebih enam bulan lamanya mereka tidak lagi berjumpa, namun siapa yang mengira jika Chiara selalu saja memikirkan pria itu?Sebenarnya Chiara pun bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia merasa aneh dengan jantungnya, bahkan hatinya. Perlahan dirinya memang berhasil mengikhlaskan kepergian Naomi, tetapi rasa lain justru datang menghantui.Sejak saat itu, tidak ada lagi malam tanpa memimpikan wajah pria yang harusnya menjadi suami dari kakaknya. Jantungnya selalu saja berdenyut ngilu setiap kali mengingat wajah penuh duka Nardo. Debaran jantungnya seakan terus menerus menyerukan nama sang pria.Pada awalnya Chiara berpikir jika debaran tidak wajar yang dia rasakan pada Nardo akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi nyatanya justru sebaliknya; rasa itu tidak pernah bisa lenyap, justru semakin kua
Rumah yang sunyi sudah bukan lagi sebuah hal baru bagi Chiara. Setelah melewati ruang keluarga, gadis manis itu segera mencari presensi ibunya. Sore hari begini biasanya Ambar sedang menonton drama kesayangan mereka, tapi televisi di ruangan yang sebelumnya Chiara lewati dalam keadaan mati. Dan instingnya membawa langkah gadis itu menuju dapur, tempat favorit ke dua bagi sang ibu.Dan tebakannya benar. Ketika sudah sampai di ambang pintu dapur, sosok Ambar terlihat sedang mengiris sesuatu di dekat kompor listrik, membelakanginya. Senyuman gadis itu mengembang, lalu mengucapkan salam."Chia pulang, Ma ....""Selamat datang, Sayang." Ambar hanya menoleh sejenak, sebelum kembali berkutat dengan kegiatannya. Dengan sedikit mengerutkan kening Chiara memutus ruang. Dia berdiri tepat di sisi ibunya, memperhatikan apa yang sedang Ambar kerjakan dengan senyuman tak pudar. "Tumben sibuk sekali, Ma. Masak apa?""Mama membuat sate, makanan kesukaan Nak Nardo."Seakan mendapatkan serangan jantung
Jalanan di kala senja itu terasa cukup lengang. Nardo melajukan mobilnya dengan kecepatan konstan. Ada sosok lain yang duduk pada kursi di sebelahnya, dialah Rendy.Bukan hanya sekali, sudah berkali-kali sahabatnya itu menumpang pulang dengannya jika dia sedang memiliki kendala. Seperti saat ini, motor si asisten sutradara itu sedang masuk bengkel. Daripada harus naik taksi, Rendy memilih untuk pulang bersama sang sutradara. Maklum saja, ia memang sedang berhemat, mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk resepsi pernikahannya."Setelah ini belok ke kiri jangan lupa, rumahku ada 50 meter dari sana." Rendy berucap seraya menunjuk gang masuk rumahnya. Sedangkan Nardo terlihat melirik sinis padanya. "Aku sudah tahu. Kamu kira aku pikun?""Hanya Berjaga-jaga." Rendy menjawab ringan dengan bahu mengedikkan bahu singkat. "Menggalau sepanjang waktu bisa saja membuatmu menjadi pelupa. Jangan marah." Sebelum Nardo menimpali, ia lebih dulu memperingatkan. "Sialan!" dan umpatan adalah opsi kalim
Chiara keluar dari kamar mandinya dengan mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Rambutnya masih terlihat lembab, menguarkan wangi sampo favoritnya. Setelah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, rasa lelahnya semakin berkurang secara signifikan. Ah, dia ingin tidur cepat malam ini.Wanita itu segera melangkah menuju lemari pakaiannya. Tepat ketika dia menyentuh gagang lemari, di detik itu sosok Nardo baru saja memasuki kamar mereka, membuat pergerakan Chiara sejenak terhenti dengan kepala menoleh ke arah suaminya."Kyra sudah tidur?""Sudah. Baru saja aku tidurkan." Nardo menutup pintu kamar, menguncinya sekalian. Dia tersenyum jahil saat pandangan mereka bertemu. "Sekarang giliran Mamanya yang harus aku tiduri.""Dasar!" Chiara terkekeh kecil menanggapi godaan sang suami. Dia kembali menghadap lemari pakaiannya, membukanya untuk mencari baju tidur. Sedangkan sosok Nardo terlihat mendekat ke arahnya dari pantulan kaca di daun pintu lemarinya. "Sudah selesai mandi?" tanya pria
Baju couple berbahan batik warna marun membalut tubuh keduanya. Pasangan itu tampak sangat serasi dan terlihat enak dipandang. Yah, meskipun sebenarnya si wanita masih belum mandi, sebab Chiara memang belum sempat pulang ke rumah. Bahkan dia berganti pakaian dan retouch make up di dalam mobil.Chiara dan Nardo memang baru pulang dari resepsi pernikahan Evan dan Selena. Mereka mampir ke pesta setelah Chiara pulang kuliah. Ya, pada akhirnya Chiara memutuskan untuk kembali berkuliah, untuk mengejar gelar magister, sesuai impiannya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau Evan benar-benar sudah menikah!" Chiara berucap begitu seraya menatap menerawang ke depan, pada mobil dan motor yang sama-sama sedang melaju di jalan raya menuju arah pulang."Kamu senang?" sembari mengemudi Nardo menyempatkan diri untuk melirik ke sisinya, tempat Chiara berada."Tentu saja! Apalagi dia menikah dengan Selena. Demi apapun! Gadis itu begitu sempurna, cantik dan baik hati secara bersamaan. Sangat cocok bers
Nardo benar-benar menepati janjinya. Malam itu juga dia datang bersama kedua orang tuanya, tentu tujuan pria itu adalah untuk melamar sang pujaan hati secara resmi. Kedua keluarga mereka sudah berkumpul di ruang tamu keluarga Chiara sekarang, menunggu waktunya tiba untuk membahas perihal kedatangan keluarga si pria.Ada Manfredo Austerlitz dan Karina yang duduk mengapit putra semata wayang mereka di sofa sebelah kanan, berseberangan dengan Indra Wardhana dan Ambar yang terlihat duduk bersisihan di sisi kiri, mengapit sang putri. Dua keluarga yang akan segera menyatu itu duduk bersama bersekatkan meja oval berbahan kaca tebal, yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan spesial. Raut bahagia terpancar di setiap wajah, terutama pada si pasangan muda di setiap kali mereka kedapatan mencuri pandang."Jadi, maksud kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar Chiara secara resmi untuk Nardo, putra kami. Saya sebagai seorang ayah, mewakili anak kami untuk meminta Chiara pada keluarga
"Oke. Kita break dulu. Terima kasih atas kerja keras kalian." Atas instruksi sang sutradara, semua pemain beserta kru yang bertugas di sana segera membubarkan diri untuk beristirahat. Sedangkan si sutradara muda mulai memeriksa layar periksa kamera dengan senyum puas, melihat hasil syuting yang baru saja diambil.Sempurna, sesuai apa yang dia bayangkan di dalam kepala.Ketika pria itu masih fokus menatap layar, dia tersentak. Dua telapak tangan halus yang menutupi kelopak matanya membuat dia terkejut bukan main."Coba tebak, aku siapa?"Tetapi, setelah mendengar suara halus yang begitu akrab di telinganya, garis bibir pria itu melengkung ke atas. Jelas dia tahu siapa pelakunya."Siapa, ya?" Nardo terkekeh, pura-pura tidak tahu."Calon istri kamu." Setelah menjawab begitu, Chiara menjauhkan telapak tangannya, berganti memeluk leher Nardo dari belakang. "Aku rindu kamu!"Senyum pria blasteran itu melebar, dia menoleh ke kanan seraya meraih tengkuk kekasihnya, lalu ... kedua bibir merek
Hening adalah bagian dari sebuah kedamaian. Hal itulah yang Nardo dan Chiara dapati ketika memasuki pintu Paradise columbarium sore ini. Tenang, setenang jiwa-jiwa yang beristirahat di sana.Mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan laci penyimpanan abu Naomi sekarang. Chiara melepas genggaman tangannya yang semula bertaut di tangan besar Nardo, hanya untuk meletakkan sebuket bunga anyelir merah di depan foto mendiang kakaknya."Kami datang, Kak. Bagaimana kabar Kakak di sana?" gadis itu bertanya pada udara, dengan senyuman yang dia buat ceria. Sedangkan tatapan mata itu lurus pada potret sang mendiang, seakan Chiara sedang bertatap muka secara langsung dengan mendiang kakaknya. Sedangkan Nardo tampak memperhatikannya tanpa jeda. "Chia yakin Kakak sudah bahagia di Surga sekarang." Setelah dia berkata begitu, kedua matanya memanas secara tiba-tiba. Namun, ketika telapak tangan besar nan hangat itu kembali menggenggam tangannya, Chiara mulai merasa lebih baik. Dia tidak lagi send
"Tidak bisakah kita mulai siang saja?"Chiara menghentikan langkah kaki di ambang pintu ruang keluarga saat mendengar Nardo sedang berbincang dengan seseorang di telepon genggam. Posisi pria itu sedang duduk di sofa, dengan notebook yang menyala."Oh, begitu." Entah jawaban apa yang Nardo dapatkan dari ujung telepon, kepala dengan rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi, aku sedang tidak di rumah," lanjut pria itu.Chiara menyandarkan punggungnya di sisi pintu, menunggu sang kekasih menyelesaikan panggilannya. Tangannya dia simpan di dada seraya terus mencuri dengar percakapan pria itu dengan entah siapa."Hahhh, apa boleh buat? Kemungkinan setengah jam lagi aku akan sampai di sana."Dan ketika telepon sudah dimatikan kemudian Nardo terlihat menyimpan ponselnya di atas meja, barulah Chiara berjalan mendekatinya."Telepon dari siapa?" tanya gadis itu sembari memutus jarak di antara mereka. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat masih lembab, sebab Chiara baru saja selesai mandi
Bibir yang saling bertaut membuat keduanya terlena. Waktu menjadi berjalan lebih cepat dari seharusnya. Dan ketika Nardo hendak menyudahi ciumannya, Chiara justru mendorong tubuh kekar pria itu sehingga jatuh ke atas permukaan ranjang. Chiara yang mendominasi kali ini. Dia berada di atas tubuh kekar itu, kembali mencari mulut kekasihnya untuk kembali menciumnya, membuat rambutnya jatuh menutupi wajah mereka. Napasnya terdengar tak beraturan, terengah-engah. Hal itu sukses membangkitkan sesuatu di satu bagian tubuh Nardo, tanpa sepengetahuannya. Chiara benar-benar berhasil memancing gairah terpendam miliknya."Chia?" sesaat setelah Chiara menjauhkan wajah demi memasok oksigen untuk tetap bernapas, Nardo menatap intens wajah merahnya. Jenis tatapan bertanya, meskipun sejujurnya Nardo tahu persis apa yang Chiara inginkan, dia hanya memastikan."Berikan aku suntikan semangat untuk mengerjakan kuis besok." Setelah berucap begitu, tanpa menunggu persetujuan, Chiara kembali menyatukan bibir
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa