Arka duduk di kursi kantornya, menatap layar komputer yang menampilkan berbagai data tentang proyeknya. Ia telah menyiapkan seluruh strategi untuk melindungi perusahaan dari segala ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Di sisi lain, ia juga telah merancang perlindungan khusus bagi ibunya, memastikan jika sewaktu-waktu musuh mencoba menyerang melalui dirinya, mereka akan terjebak dalam rencananya sendiri.
Raka masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. "Semua sistem keamanan perusahaan telah diperbarui sesuai instruksimu. Bahkan, kita telah memasang jaringan pengawasan di sekitar tempat tinggal ibumu secara diam-diam." Arka mengangguk. "Bagus. Aku tidak ingin mereka menyentuh satu helai rambut pun dari ibuku. Jika ada yang berani mendekatinya, kita akan tahu lebih dulu." Raka tersenyum. "Musuh-musuhmu pasti tidak akan menduga bahwa kau sudah satu langkah di depan mereka. Bagaimana dengan proyek teknologi energi yang sedang kita keLedakan besar mengguncang kuil, membuat debu dan pecahan batu beterbangan. Arka segera berlari keluar, matanya menyapu sekeliling, mencari sumber serangan. Di depan gerbang utama, beberapa pria berbalut pakaian hitam berdiri dengan ekspresi dingin. "Akhirnya kau keluar juga, Arka," kata salah satu dari mereka dengan suara berat. "Kami datang bukan untuk bermain-main. Serahkan dirimu, atau kami akan menghancurkan tempat ini!" Arka tersenyum tipis, matanya penuh dengan ketenangan. "Kalian benar-benar tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan." Sang guru berdiri di belakang Arka, ekspresinya tetap tenang. "Arka, ini adalah bagian dari ujianmu. Hadapi mereka dan buktikan bahwa kau layak menerima warisan sejati Klan Naga Langit." Arka mengangguk. "Aku mengerti, Guru. Kalau begitu, mari kita mulai." Tanpa aba-aba, musuh-musuh itu menyerang dengan kecepatan luar biasa. Namun, Arka bergerak lebih cepat. Dengan satu g
Arka berdiri tegak di hadapan pria bertubuh besar yang baru saja menerobos masuk ke dalam kuil. Aura gelap menyelimuti tubuh pria itu, menandakan bahwa dia bukan lawan sembarangan. Sang guru melangkah maju, tatapannya penuh kekecewaan. "Dahulu kau adalah murid terbaik Klan Naga Langit, tetapi kau memilih jalan kegelapan. Kau memilih sesuatu yang sebenarnya menjadi larangan. Untuk apa kau kembali ke sini, Ryu?" Ryu menyeringai sinis. "Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Klan Naga Langit tidak pantas dipimpin oleh seorang bocah seperti dia!" Ia menatap Arka dengan penuh kebencian. Arka tetap tenang, matanya penuh keyakinan. "Jika kau ingin mengujiku, maka majulah. Aku akan menunjukkan kepadamu mengapa aku layak menjadi pewaris sejati Klan Naga Langit." Tanpa aba-aba, Ryu melesat dengan kecepatan luar biasa, melancarkan serangan bertubi-tubi. Namun, Arka menghindarinya denga
Arka berdiri tegap di halaman utama kuil Klan Naga Langit. Udara malam yang dingin berhembus, namun atmosfer yang lebih menyesakkan datang dari sekelompok orang berjubah hitam yang kini mengelilinginya. Mereka adalah para pengkhianat yang telah lama menghilang dari sejarah klan, tetapi kini muncul kembali dengan satu tujuan: merebut kembali kejayaan mereka dengan cara apa pun. Seorang pria bertubuh besar melangkah maju. Wajahnya dihiasi luka lama yang membekas, menunjukkan masa lalu yang penuh pertempuran. Ia menatap Arka dengan tatapan tajam. "Jadi ini dia bocah yang disebut-sebut sebagai pewaris sejati? Aku tidak percaya seorang anak muda sepertimu bisa menguasai seluruh ilmu Klan Naga Langit." Arka menatap pria itu tanpa gentar. "Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan Klan Naga Langit jatuh ke tangan para pengkhianat seperti kalian." Pria itu menyeringai, lalu mengangkat tangannya,
Di bawah langit senja, Arka berdiri di depan gurunya, seorang pria tua dengan tatapan tajam namun penuh kebijaksanaan. Angin gunung berhembus lembut, membawa ketenangan setelah pertarungan besar yang baru saja berakhir. "Jadi, kau sudah memutuskan untuk kembali?" tanya sang guru, menatap muridnya dengan bangga. Arka mengangguk. "Tanggung jawabku masih banyak, Guru. Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Dunia luar menungguku, dan keluargaku juga membutuhkan perlindungan." Sang guru menghela napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Kau telah menguasai semua ilmu yang bisa kuajarkan. Namun ingat, kekuatan sejati bukan hanya tentang mengalahkan musuh, tapi juga tentang bagaimana kau mengendalikan dirimu sendiri." Arka mengangguk penuh hormat. "Aku akan selalu mengingat ajaranmu, Guru. Tanpa bimbinganmu, aku tidak akan bisa menjadi seperti sekarang." Sang guru melangkah mendekat, menepuk bahu Arka. "Pergilah. Takd
Di dalam ruangan tertutup di gedung pusat Wijaya Corporation, Arka dan Raka duduk berhadapan dengan ekspresi serius. Beberapa layar komputer di hadapan mereka menampilkan laporan transaksi mencurigakan, pergerakan saham yang aneh, serta daftar nama yang patut dicurigai. "Kita sudah mengidentifikasi beberapa penghianat," ujar Raka sambil menunjuk layar utama. "Mereka bekerja dalam diam, memanipulasi data, dan berusaha melemahkan arus keuangan perusahaan." Arka menyilangkan tangan di dadanya. "Bagus. Berarti mereka tidak menyadari bahwa kita sudah mengawasi mereka. Itu keuntungan bagi kita." Raka mengangguk. "Tapi kita tidak bisa langsung bertindak. Jika mereka sadar kita sudah mengetahuinya, mereka akan segera bersembunyi." Arka tersenyum tipis. "Kita buat jebakan. Biarkan mereka berpikir bahwa rencana mereka berjalan sesuai keinginan, sementara kita perlahan menutup ruang gerak mereka." Raka mengangkat alis.
Gedung Wijaya Corporation tetap berdiri megah di tengah kota. Dari luar, perusahaan ini terlihat berjalan normal seperti biasanya. Para karyawan sibuk bekerja, pertemuan bisnis terus berlangsung, dan proyek-proyek strategis tetap berjalan sesuai rencana. Namun di balik semua itu, Arka dan Raka sedang memainkan strategi yang rumit. Di sebuah ruang rapat pribadi, Arka dan Raka duduk berhadapan, menatap beberapa dokumen yang terbuka di meja. Raka mengetik sesuatu di laptopnya sebelum akhirnya menatap Arka. "Semuanya sudah berjalan sesuai rencana," ujar Raka. "Mereka tidak menyadari bahwa kita sudah mengetahui gerakan mereka." Arka mengangguk pelan. "Bagus. Kita biarkan mereka merasa percaya diri dulu. Saat mereka berpikir bahwa kita tidak menyadari keberadaan mereka, kita berikan pukulan yang tidak bisa mereka hindari." Raka menyeringai. "Aku suka rencana ini. Tapi bagaimana dengan kemungkinan mereka memiliki ma
Udara malam yang dingin tak mengurangi ketegangan yang menyelimuti gedung Wijaya Corporation. Arka berdiri di ruangannya, menatap layar monitor yang memperlihatkan beberapa titik merah bergerak di sekitar gedung. Mereka akhirnya datang. Raka yang duduk di kursinya tampak serius membaca data terbaru. "Mereka sudah menyebar di beberapa titik. Ada yang menuju lantai eksekutif, ada yang berusaha menyusup ke sistem perusahaan kita." Arka menyeringai. "Seperti yang kuduga. Mereka ingin menyerang dari segala arah, baik fisik maupun digital. Tapi kita sudah siap." Tiba-tiba, alarm keamanan berbunyi nyaring. Sinyal merah berkedip di seluruh sudut ruangan, menandakan bahwa musuh telah berhasil masuk. "Saatnya bergerak," ujar Arka sambil meretakkan buku-buku jarinya. "Aku akan menangani mereka yang datang ke lantai eksekutif. Raka, kau tetap di sini dan pastikan sistem perusahaan tetap aman." Raka mengangguk. "Jangan kh
Angin malam berhembus kencang di atap gedung Wijaya Corporation. Arka berdiri tegap di tengah lingkaran musuh yang mengepungnya. Matanya tajam menatap setiap gerakan mereka, tubuhnya tetap rileks tetapi siap menyerang kapan saja. "Apa kalian pikir jumlah bisa mengalahkanku?" Arka menyeringai, menantang. Salah satu pria bertopeng melangkah maju. "Kami sudah mengamati gerakanmu, Arka. Kau mungkin kuat, tapi kau tetap manusia." "Kalau begitu, buktikan!" Arka melompat maju dengan kecepatan luar biasa, langsung menghantam pria pertama dengan pukulan keras ke dada. Pria itu terhuyung, lalu jatuh tak sadarkan diri. Musuh lainnya segera menyerang. Salah satu dari mereka mengayunkan pedang pendek ke arah Arka, tetapi Arka menghindar dengan mudah, lalu menendang tangan pria itu hingga senjatanya terlepas. Dengan satu gerakan cepat, Arka menangkap pedang tersebut dan mengayunkannya ke belakang, mengenai kaki musuh lainnya yang hendak
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb