Asap belum benar-benar lenyap saat langkah wanita bertopeng itu terdengar, bergema pelan seperti detak waktu yang menanti kehancuran. Topengnya terbuat dari logam hitam berkilau, dengan ukiran naga yang mengalir dari pelipis ke dagu. Matanya—samar terlihat di balik celah—memancarkan cahaya lembut, namun tajam seperti bilah pedang yang ditarik setengah.
Arka memutar tubuhnya, perlahan. Tanah di bawahnya masih berdenyut akibat bentrokan tadi. Lengan mekaniknya bergetar, uap tipis mengepul dari persendian. “Kau siapa?” tanyanya, nada suaranya berat, tubuhnya separuh tertahan oleh napas yang belum stabil. Wanita itu melangkah maju, setiap jejak kakinya meninggalkan jejak bercahaya ungu di atas batu altar. “Namaku tak penting. Tapi darahku… satu garis dengan Dara Kuno,” ucapnya. Suaranya lembut, nyaris seperti nyanyian yang menyakitkan hati. “Dan aku ditugaskan menjaga Gerbang Langit—penjaga warisan tertinggi yang belum bisa kauLangit di atas pulau mulai berubah warna. Cahaya jingga senja seharusnya mulai meredup, tapi kini tertutup oleh semburat ungu dan kilatan perak yang muncul dari dalam tanah. Reruntuhan altar yang semula sunyi kini berdenyut pelan, seperti jantung yang baru saja dihidupkan kembali. Arka menatap wanita bertopeng naga itu tanpa berkedip. Matanya memantulkan cahaya ungu dari balik celah bebatuan, sementara tubuhnya masih diliputi sisa-sisa energi dari jurus sebelumnya. “Apa maksudmu dengan Jantung Langit?” tanya Arka, suaranya rendah namun tegas. Wanita itu melangkah keluar dari portal. Angin berputar di sekelilingnya, membawa aroma logam dan hujan yang belum jatuh. Di balik topengnya, sepasang mata menyala lembut—bukan dalam ancaman, melainkan pengamatan yang dalam. “Itu bukan sekadar kekuatan,” ucapnya. “Jantung Langit adalah pusat dari semua warisan darah yang kau miliki. Selama ini kau hanya menyentuh kulitnya saja.”
Langit terbelah. Cahaya keperakan membentuk lorong spiral, menghubungkan kapal raksasa dengan altar batu di bawah. Angin memutar hebat, memaksa pepohonan merunduk. Laut di sekitar pulau beriak seperti tengah bernapas, liar dan penuh tekanan tak kasatmata. Arka berdiri di tengah altar, tubuhnya berselimut aura transparan berpendar biru keperakan. Sisik-sisik halus di lengannya berdenyut, menyatu dengan detak bumi di bawahnya. Di belakangnya, Raka dan Genta bersiap, waspada. Tapi hanya Arka yang melangkah ke cahaya. “Sendirian?” Genta bertanya, suara tertahan angin. “Ini bukan pertarungan,” Arka menjawab, lirih namun pasti. “Ini penghakiman. Dan aku yang ditimbang.” Begitu ia masuk ke dalam lorong cahaya, gravitasi lenyap. Tubuhnya melayang tanpa bobot, ditarik perlahan menuju kapal langit. Di lambung yang terbuka, enam sosok berjubah perak berdiri melingkar. Di tengah mereka, berdiri pria bermata tiga
Langit Makassar menyambut Arka dengan rona jingga saat helikopter tempur tak bercorak mendarat di atas gedung Wijaya Corporation. Baling-baling berputar pelan, meniupkan debu dan aroma laut ke segala penjuru. Arka melompat turun sebelum pintu terbuka penuh, seolah tanah Sulawesi itu memanggilnya pulang lebih cepat. Raka berdiri di tepi atap, kemeja putihnya berkibar diterpa angin. Di sebelahnya, Genta mengenakan jaket hitam yang menyembunyikan senjata di punggungnya, seperti biasa. “Kau kelihatan seperti baru kembali dari neraka,” ujar Genta sambil tersenyum miring. “Untungnya, aku kembali dengan kuncinya,” sahut Arka, mengangkat belati tulang naga yang kini terselip di pinggangnya, menyala samar. Raka menepuk pundaknya. “Jakarta sudah aman?” “Untuk sekarang,” jawab Arka pelan. “Tapi yang lebih penting—kita punya masa depan yang harus dibangun.” Di pinggir pesisir Takalar, kompleks baru Wijaya
Kendaraan amfibi meluncur dari garis pantai menuju daratan tinggi. Lampu depannya menembus kabut tipis, membentuk lorong cahaya di tengah kegelapan malam. Di dalam kabin, mesin berdengung pelan, sementara suara jangkrik dan burung malam menyertai perjalanan mereka yang sunyi. “Menurut cerita warga, sumur tua itu peninggalan leluhur sebelum masa kerajaan,” ujar Raka sambil membaca dokumen dari tablet. “Mereka percaya di dasar sumur itu terkubur roh penjaga tanah.” Genta bersandar di jendela. “Roh atau teknologi kuno?” “Kita pernah lihat yang lebih dari keduanya,” kata Arka. Ia menatap keluar, ke arah siluet gunung yang mulai muncul dari balik kabut. Mereka tiba di kaki gunung menjelang tengah malam. Desa kecil di sana tampak sunyi, rumah-rumah panggung tertutup rapat, dan lentera hanya tersisa di satu dua beranda. Udara dingin membawa aroma belerang samar. Seorang pria tua menyambut mereka di tepi jalan setapa
Dinding gua bergetar saat cahaya merah menyembur dari celah altar. Sosok berbalut energi hitam muncul perlahan, mata ketiganya menyala laksana bara. Bayangan tubuhnya tak menyentuh tanah, melayang dengan aura membara yang membuat udara membeku. "Akhirnya, kau datang juga, pewaris darah kuno," bisik Mata Ketiga, suaranya bergema di dalam kepala Arka. Arka melangkah maju. Jubahnya berkibar pelan, dan matanya menyala biru kehijauan. Aura Klan Naga Langit membungkus tubuhnya, berpadu dengan denyut halus kekuatan warisan Jiwa Abadi. "Aku tidak datang untuk tunduk. Aku datang untuk mengakhiri semuanya," jawab Arka tenang. Seketika udara di ruang itu meledak. Mata Ketiga menyerang lebih dulu, tangannya memanjang seperti bayangan dan menebas udara. Arka melompat ke udara, lalu memutar tubuh dan menghantamkan telapak tangan ke tanah. Ledakan cahaya biru mengguncang ruang batu itu. Genta dan Raka menyingkir, berdiri di
Langit di atas pegunungan Sulawesi Selatan tampak kelabu. Helikopter hitam Wijaya Corporation melaju di antara kabut tipis, membawa Arka, Raka, dan Genta menuju titik merah yang muncul di peta sebelumnya. Tak ada jalan darat ke lokasi itu—hanya lembah sunyi yang dikelilingi tebing terjal dan pohon-pohon purba. “Tempat ini bukan sembarangan,” gumam Arka, matanya menatap tanah luas di bawah yang dipenuhi puing logam dan antena berkarat. Raka menarik napas panjang. “Seolah ini markas rahasia yang sudah lama ditinggalkan… tapi tetap hidup.” “Teknologi Bayangan Lama tidak pernah benar-benar mati,” sahut Genta sambil memeriksa layar tablet yang mendeteksi sisa-sisa sinyal aneh. Mereka mendarat di pinggir lereng. Angin terasa lebih dingin, dan bau logam tercium dari bawah tanah. Begitu menjejakkan kaki di tanah lembah, mereka melihat bangunan setengah runtuh dengan lambang samar A.R.C. di dindingnya. Di dalamnya, si
Malam itu, udara di gunung terasa padat. Kabut menggantung di sekitar puncak, menyembunyikan siluet batu besar yang bersinar samar. “Sinyalnya berasal dari balik batu ini,” ujar Raka, matanya menatap layar tablet dengan gelisah. Genta berjongkok, telapak tangannya menyentuh tanah. “Aku bisa merasakan vibrasinya. Ini sisa teknologi spiral dari Bayangan Utara. Tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya.” Arka mengangguk. “Kita tak bisa menunda. Kalau ini pemicu dorman terakhir, kita harus nonaktifkan malam ini.” Tiba-tiba, suara berat menggetarkan udara. “Kau datang tanpa warisan, tapi membawa cahaya yang membakar jejak kami.” Sosok berjubah hitam muncul perlahan dari balik batu. Matanya bersinar perak. Di tangannya tergenggam tabung energi berputar. “Penjaga Kedua?” tanya Arka, menahan napas. “Aku adalah penjaga kehormatan terakhir Bayangan U
Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim. Arka, Raka, dan Genta melangkah keluar, menyambut udara Jakarta yang hangat dan padat oleh hiruk pikuk kota. Langit senja menggantung di atas jalan raya yang sibuk, seakan tak menyadari bahwa tiga sosok yang baru kembali membawa kabar penting dari timur. “Ibu akan senang melihatmu lagi,” kata Raka sambil tersenyum kecil. Arka mengangguk, matanya menyapu langit Jakarta. “Dan ayah pasti sudah menyiapkan segudang pertanyaan tentang laporan Makassar.” Genta tertawa pendek. “Pertanyaan, atau tantangan baru? Kita lihat saja nanti.” Mereka tiba di rumah keluarga Wijaya saat malam mulai turun. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan bangunan klasik itu dengan cahaya lembut. Saat Arka membuka pintu, suara langkah cepat menyambut. “Arka!” suara ibunya terdengar, penuh emosi. Perempuan paruh baya itu memeluknya erat, seolah menahan waktu yang sempat terlewat.
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb