Rutinitas ritual
“Haaaans… Haaaans… Haaaans.. Kau tak lupa malam ini waktunya persembahan untuku. Ingat Haaans…”
Langsung terbangun dari tidur, melihat jam tangan ditangan kirinya menunjukan pukul 01.00 WIB. Pria berumur 32 tahun itu menengok kesamping melihat isterinya sedang mengarungi samudera mimpi yang dalam. Masih menggunakan piyama coklatnya, ia langsung saja bergerak perlahan turun dari ranjang, berjalan gemulai seperti tak menapak dilantai dan membuka pintu kamar lalu menutupnya kembali tanpa meninggalkan jejak suara sedikitpun dari kamar itu kecuali semerbak samar harum parfumnya yang masih berkeliaran seiring langkah kakinya menjauh dari kamar.
“Waktunya hampir telat..! semoga ia tak marah,”
Dengan kondisi yang masih terkantuk-kantuk, mempercepat langkahnya setengah cepat ia langsung menuju lantai atas. Seperti malam-malam biasanya, kabut-kabut tipis serupa asap selalu menyelimuti rumah itu. Suara alam diluar sana pun tak pernah absen menghidupkan suasana sepi. Udara dingin yang meradang keseluruh tubuh tidak ada obatnya kecuali dengan menghidupkan rokok dan menyeduh segelas kopi panas. Namun malam itu ia tak sempat melakukan keduanya.
Tepat didepan pintu kamar khususnya, ia berkomat kamit membaca beberapa kalimat mantra sebelum akhirnya masuk kedalam dan langsung duduk simpu menghadap altar ritual. Membakar dupa cendana berukuran 60cm sebanyak 7 batang, memejamkan matanya sambil menundukan kepala sedikit, mensedekapkan kedua tangan didada, lalu kembali membaca mantra-mantra berbahasa Thailand.
Asap dupa mulai mengepul dikamar yang hanya diterangi oleh beberapa lilin. Harumnya semerbak merasuk paksa kedua lubang hidung Hans. Sementara ia masih saja sibuk merapalkan mantra-mantra. Tiba-tiba muncul hembusan angin kencang menyibak tirai korden pada jendela kamar yang sedikit terbuka diikuti masuknya kabut malam yang semakin membuat nuansa semakin dingin. Gemetar menggigil badan Hans menahan dingin itu dan…!
Ia merasakan dari belakang badannya seperti ada yang memeluk mendekap tubuhnya dengan lembut. Sepasang tangan berkulit putih kekuning-kuningan merangkul perutnya diikuti harum minyak gaharu.
“Nang Dam, Nang Dam, Nang Dam…sudah kusiapkan syarat seperti biasanya malam ini untuk persembahanmu,”
Seperti biasanya, ciri khas Nang Dam yang selalu datang ditandai aroma gaharu dan memeluk tubuh dari belakang serta mencumbu leher sang tuan.
“Sudah siapkah malam ini melakukan ritual denganku tuan?”
“Sekali lagi aku ingatkan, jangan sampai ada seorangpun yang mengganggu saat kita melakukan ritual ini,” Hantu bergaun hitam itu berbisik mengucap kalimatnya tepat ditelinga kiri Hans.
“Dan ingat! Tinggal 1 lagi…tinggal 1 lagi perawan yang harus kau persembahkan dan kekuatanku akan bertambah kuat. Kau tak perlu melakukan ritual ini lagi,”
Malam dingin berkabut itu dilewati lelaki beristri bersama hantu wanita dengan ritual sesat yang nikmat. Walaupun Hans mendapatkan keuntungan dapat menyalurkan hasrat seks bersama hantu itu, namun didalam hati kecilnya ia berteriak, menangis kecil selalu memikirkan isterinya disaat ia melakukan ritual tak senonoh dengan Nang Dam. Bagaimana kalau Ruthai tahu bahwa selama ini ia bersekutu dengan hantu, lebih-lebih mengetahui kalau suami tercintanya rutin menggelar pesta seks semalam suntuk dengan hantu itu. Nang Dam memiliki paras yang jauh lebih cantik dari Ruthai.
Asap dupa semakin menyeruak diruangan, kadang berkurang pekatnya karena keluar dari celah jendela yang terbuka, namun selalu bertambah pekat lagi dari dupa yang masih terus terbakar. Tak ada kalimat kata sepatah pun yang meluncur dimulut Hans saat sedang mencumbu si hantu. Hanya terdengar desahan Nang Dam yang selalu merasa tak puas ingin disetubuhi oleh tuannya secara terus menerus.
Dua jam lebih sudah berlalu, masih bersama dua makhluk yang sedang bergumul diatas ranjang empuk dengan tubuh telanjang dan peluh yang menetes membasahi kain sprey. Rasa nikmat bercampur siksa akibat rasa lelah yang diterima Hans ibarat memakan kue tart coklat yang sangat enak sampai perut kenyang tak mampu menampungnya lagi namun terus dipaksakan untuk memakannya terus menerus sampai muntah. Namun itulah konsekuensi yang harus dijalani Hans sebagai tuan si Nammanprai Nang Dam. Identik dengan wanita, darah, seks, dan mantra. Bahkan ritual itu memang sudah digelutinya sebelum mengenal Ruthai.
Balasannya, Nang Dam memberikan keabadian dan daya pikat perkasih yang amat kuat terhadapnya. Bahkan Hans tidak akan mengalami penuaan atau perubahan paras muka dan awet muda seumur hidupnya serta dapat memiliki wanita manapun yang ia kehendaki.
Malam masih menyisakan beberapa jam lagi sebelum sang fajar menampakan sinar seperti biasanya. Beberapa ayam jantan dari kejauhan mulai berkokok bersahutan satu sama lain. Ritual seks malam ini sudah usai, namun hantu perempuan itu masih memeluk Hans dengan erat dari belakang. Seluruh tubuhnya sedingin es. Keringat hantu itu membasahi badan Hans, harum sekali.
Wangi keringat si hantu itulah yang membuat libido Hans memuncak. Harum yang belum pernah Hans endus dari merk parfum branded manapun. Seperti wangi ekstrak kayu gaharu bercampur vanilla, cinnamon, rose, lavender, dan rum. Namun tetap yang mendominasi adalah wangi gaharu, aroma khasnya si hantu.
Selama Nang Dam mendekap Hans, ia tidak akan bisa pergi kemanapun bahkan sekedar bergerak untuk membalikan badannya saja, di kamar itu, Nang Dam yang berkuasa penuh. Hanya kepala Hans yang dapat bergerak menoleh kebelakang mencoba melihat wajah perempuan itu sesekali.
Matanya masih terpejam, tertutup sebelah sebagian wajahnya oleh rambut panjangnya yang terurai berantakan.
“Mungkin memang sudah perjalanan hidupku seperti ini, melayani istri dan seorang hantu dalam satu rumah. Aku takut suatu hari nanti isteriku tahu apa yang aku lakukan selama ini”
“Ingin rasanya kuakhiri perjanjian hitam namun bagaimana caranya? Hantu ini sudah seperti menggenggam jiwaku. Aku takut akan terjadi apa-apa dengan isteri dan anakku kelak. Ya sudahlah, sementara ini tetap kujalani sebab akibat yang sudah kupilih dimasa lalu”
Hans membatin dihatinya sambil menatap kosong lurus kearah tembok kamar dihadapannya, sementara hantu perempuan itu masih tak bergeming dengan dekapannya yang erat kepada Hans.
“Memang sesalku kini, dulu memilih tuk memiliki Nammanprai sebagai pegangan jimatku yang pilih tanding. Tak pikir panjang terhadap apa yang akan terjadi kedepannya”
“Dalam urusan ghaib, memang segala urusan dan kemauanku dapat terpenuhi terutama dalam menjerat wanita-wanita cantik yang kuinginkan dahulu”
“Namun kini sejak memiliki Ruthai, jiwaku mulai meronta. Tak ingin lagi kujalani sisi kelam bersama Nang Dam”
“Namun disisi lain, aku masih berat dan seakan tak ingin lepas dari Nang Dam. Hantu ini secantik-cantiknya perempuan yang pernah aku lihat. Dan sehebat-hebatnya dalam urusan ranjang walaupun nyatanya dia bukan manusia. AAHHH.. pusing aku dibuat pikiranku sendiri”
Hans memalingkan matanya menuju meja ritual, beberapa dupa masih menyisakan setengah terbakar. Asapnya tidak setebal tadi malam namun masih cukup membuat kamar seperti tertutup kabut yang hampir merata disetiap sisi ruangan itu.
Di meja itu penuh dengan berbagai sesajen perlengkapan ritual seperti biasanya. Adapula berbagai jenis Nammanprai lain milik Hans yang ditaruh disana. Namun Nammanprai-nammanprai itu kelasnya menengah tidak seangker Nammapnrai Nang Dam, hanya sebagai pembantu dan pertahanan ghaib lapis kedua dan ketiga untuk Nang Dam. Minyak-minyak itu juga perlu dirituali secara rutin dengan hanya membaca mantra-mantra tertentu di tiap minggunya.
Hans menghela napasnya, memejamkan mata sambil menunggu fajar tiba.
Rahasia yang terkuak dan pengakuan05.17WIB“Kreek..kreek..kreekk..”Diluar ruangan kamar lantai dua terdengar suara renyah langkah kaki yang bergesekan dengan lantai dari papan kayu.“Ngeeekkk..”Pintu kamar terbuka pelan perlahan dan semakin lebar mengakibatkan asap dupa bercampur kabut tipis yang meliputi kamar ritual mencuri keluar melalui rongga pintu. Dengan rasa penasarannya, Ruthai memberanikan diri untuk melihat secara langsung apa yang sebenarnya dilakukan suaminya selama ini di kamar khususnya tersebut. Asap yang tebal masih mengganggu penglihatan Ruthai. Ia berusaha menahan batuk dari asap dupa yang terhisap hidungnya.Dibukanya lebih lebar lagi secara perlahan menunggu kedua pasang matanya untuk bisa melihat lebih jelas suasana kamar. Ia mendengar ada suara aneh seperti suara lirih seorang wanita. Ruthai langsung masuk kedalam mendekati ranjang itu, dan…!Astaga, dengan perasa
Rumah Warisan Orchestra puluhan kodok serta aroma basah tanah memecah kesunyian nuansa kelam malam yang dingin lagi sepi di rumah tua bergaya abad ke-19 berlantai dua itu. Bangunannya berbahan utama kayu dan eksteriornya didominasi cat berwarna Hitam, dan Coklat. Letaknya di puncak bukit terpencil, sehingga tak akan nampak dari permukiman dibawahnya ketika memasuki waktu senja. Seolah lenyap disembunyikan bumi atau memang sengaja tidak ingin menampakan wujudnya diwaktu-waktu tertentu. Sudah Tujuh hari lamanya Darko seorang diri menempati rumah warisan dari almarhum ayahnya yang mati secara tiba-tiba ketika berada di kediaman nenek tujuh bulan yang lalu. Hampir tidak pernah beranjak ia dari duduknya selama berjam-jam di sofa coklat teras depan rumahnya sejak sore tadi, menikmati kerlap-kerlip citylight perkotaan Bandung. Suara hujan dan alam ditengah kegelapan malam seluas pandangan matanya, pria berumur 27 tahun ini masih asyik saja melamun memikirkan sesuat
Kamar RitualHabis sudah tujuh batang rokok yang ia hisap sepanjang berada di ruang tamu. Matanya yang semakin sayup mengajak segera untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur, namun masih ada perasaan mengganjal didalam dirinya agar mendatangi lantai dua yang sama sekali belum dijamahnya selama tujuh hari tinggal disana.“krrak..krrak..krrak” suara langkah demi langkah kakinya menaiki tangga kayu yang dilapisi karpet beludru halus menuju lantai dua yang agak gelap dan hanya diterangi lampu-lampu tempel dari lilin ungu yang berjejer mengikuti alur jalan.Sambil menyalakan lilin di dinding sepanjang perjalanannya ke atas, Darko menyimak satu persatu foto-foto dan lukisan yang menempel memenuhi tembok lantai dua itu. Mayoritas terpajang foto-foto ayahnya disaat muda dengan background pedesaan yang diduga kuat ada di pedalaman Thailand. Adapula beberapa lukisan bergambar wanita eropa yang mengenakan busana hitam-hitam ala gothic abad ke-19
Perjanjian Hitam DimulaiJam dinding kayu kuno yang terpasang di ruang tengah berdentang sebanyak sebelas kali menandakan hari mulai memasuki tengah malam. Kali ini secara bersamaan sepasukan jangkrik dan kodok bangkong kembali menggelar show nya diluar rumah yang berdiri diatas lahan seluas lima hektar itu. Alunan suara musik band Progrock asal Inggris, Pink Floyd berjudul “Careful with That Axe, Eugene” yang diputar via turntable diruang tamu juga ikut menambah gaduh memecah malam menemani Darko yang sedang serius membaca secarik kertas folio milik ayahnya yang sempat dibawa saat ia lari dari kamar atas tadi.Ketujuh Nammanprai tersebut memiliki bahan dasar dan tingkatan yang berbeda-beda. Ada cara-cara khusus untuk mengendalikan, memanggil, merawat, dan memberikan persembahan spirit (hantu) yang bersemayam di minyak itu. Dalam tulisan-tulisan ayah pula disertakan pantangan-pantangan apa saja yang tak boleh dilanggar selama memegang minyak
Hans dan Ruthai 19 Oktober 1991 “Nang...! Nang…!Ruthai, kemari sayang,” panggil pria berbadan tinggi ganteng dengan alis tebal dan brewokan yang tercukur rapih diruang tamu kepada isterinya yang sedang memasak di dapur itu. “Sebentar Hans, masakanku hampir jadi…segera aku kesanaaaa,” Aroma masakan dari dapur berlarian membabi buta keseluruh ruangan tak terkecuali masuk tanpa pamit menuju ruang tamu dan meremas-remas perut Hans yang sedang amat sangat keroncongan. Ia sedang asyik memilih-milih vinyl lagu untuk diputar ketika nanti bersantap ria bersama isteri tercintanya itu. Hans dan Ruthai memang biasa memakai ruang tamu untuk bersantai mendengarkan music, membaca buku sekaligus ritual isi perut. “Nikmat sekali aroma masakan ini, seperti aku kenal… tapi dimana ya?”dalam hatinya ia berdebat dengan memori otaknya mengenai misteri harum masakan itu. “Ahh ini dia! album ini lumayan lama tidak kuputar, jadi kangen musi
Rahasia yang terkuak dan pengakuan05.17WIB“Kreek..kreek..kreekk..”Diluar ruangan kamar lantai dua terdengar suara renyah langkah kaki yang bergesekan dengan lantai dari papan kayu.“Ngeeekkk..”Pintu kamar terbuka pelan perlahan dan semakin lebar mengakibatkan asap dupa bercampur kabut tipis yang meliputi kamar ritual mencuri keluar melalui rongga pintu. Dengan rasa penasarannya, Ruthai memberanikan diri untuk melihat secara langsung apa yang sebenarnya dilakukan suaminya selama ini di kamar khususnya tersebut. Asap yang tebal masih mengganggu penglihatan Ruthai. Ia berusaha menahan batuk dari asap dupa yang terhisap hidungnya.Dibukanya lebih lebar lagi secara perlahan menunggu kedua pasang matanya untuk bisa melihat lebih jelas suasana kamar. Ia mendengar ada suara aneh seperti suara lirih seorang wanita. Ruthai langsung masuk kedalam mendekati ranjang itu, dan…!Astaga, dengan perasa
Rutinitas ritual“Haaaans… Haaaans… Haaaans.. Kau tak lupa malam ini waktunya persembahan untuku. Ingat Haaans…”Langsung terbangun dari tidur, melihat jam tangan ditangan kirinya menunjukan pukul 01.00 WIB. Pria berumur 32 tahun itu menengok kesamping melihat isterinya sedang mengarungi samudera mimpi yang dalam. Masih menggunakan piyama coklatnya, ia langsung saja bergerak perlahan turun dari ranjang, berjalan gemulai seperti tak menapak dilantai dan membuka pintu kamar lalu menutupnya kembali tanpa meninggalkan jejak suara sedikitpun dari kamar itu kecuali semerbak samar harum parfumnya yang masih berkeliaran seiring langkah kakinya menjauh dari kamar.“Waktunya hampir telat..! semoga ia tak marah,”Dengan kondisi yang masih terkantuk-kantuk, mempercepat langkahnya setengah cepat ia langsung menuju lantai atas. Seperti malam-malam biasanya, kabut-kabut tipis serupa asap selalu menyelimuti rumah itu.
Hans dan Ruthai 19 Oktober 1991 “Nang...! Nang…!Ruthai, kemari sayang,” panggil pria berbadan tinggi ganteng dengan alis tebal dan brewokan yang tercukur rapih diruang tamu kepada isterinya yang sedang memasak di dapur itu. “Sebentar Hans, masakanku hampir jadi…segera aku kesanaaaa,” Aroma masakan dari dapur berlarian membabi buta keseluruh ruangan tak terkecuali masuk tanpa pamit menuju ruang tamu dan meremas-remas perut Hans yang sedang amat sangat keroncongan. Ia sedang asyik memilih-milih vinyl lagu untuk diputar ketika nanti bersantap ria bersama isteri tercintanya itu. Hans dan Ruthai memang biasa memakai ruang tamu untuk bersantai mendengarkan music, membaca buku sekaligus ritual isi perut. “Nikmat sekali aroma masakan ini, seperti aku kenal… tapi dimana ya?”dalam hatinya ia berdebat dengan memori otaknya mengenai misteri harum masakan itu. “Ahh ini dia! album ini lumayan lama tidak kuputar, jadi kangen musi
Perjanjian Hitam DimulaiJam dinding kayu kuno yang terpasang di ruang tengah berdentang sebanyak sebelas kali menandakan hari mulai memasuki tengah malam. Kali ini secara bersamaan sepasukan jangkrik dan kodok bangkong kembali menggelar show nya diluar rumah yang berdiri diatas lahan seluas lima hektar itu. Alunan suara musik band Progrock asal Inggris, Pink Floyd berjudul “Careful with That Axe, Eugene” yang diputar via turntable diruang tamu juga ikut menambah gaduh memecah malam menemani Darko yang sedang serius membaca secarik kertas folio milik ayahnya yang sempat dibawa saat ia lari dari kamar atas tadi.Ketujuh Nammanprai tersebut memiliki bahan dasar dan tingkatan yang berbeda-beda. Ada cara-cara khusus untuk mengendalikan, memanggil, merawat, dan memberikan persembahan spirit (hantu) yang bersemayam di minyak itu. Dalam tulisan-tulisan ayah pula disertakan pantangan-pantangan apa saja yang tak boleh dilanggar selama memegang minyak
Kamar RitualHabis sudah tujuh batang rokok yang ia hisap sepanjang berada di ruang tamu. Matanya yang semakin sayup mengajak segera untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur, namun masih ada perasaan mengganjal didalam dirinya agar mendatangi lantai dua yang sama sekali belum dijamahnya selama tujuh hari tinggal disana.“krrak..krrak..krrak” suara langkah demi langkah kakinya menaiki tangga kayu yang dilapisi karpet beludru halus menuju lantai dua yang agak gelap dan hanya diterangi lampu-lampu tempel dari lilin ungu yang berjejer mengikuti alur jalan.Sambil menyalakan lilin di dinding sepanjang perjalanannya ke atas, Darko menyimak satu persatu foto-foto dan lukisan yang menempel memenuhi tembok lantai dua itu. Mayoritas terpajang foto-foto ayahnya disaat muda dengan background pedesaan yang diduga kuat ada di pedalaman Thailand. Adapula beberapa lukisan bergambar wanita eropa yang mengenakan busana hitam-hitam ala gothic abad ke-19
Rumah Warisan Orchestra puluhan kodok serta aroma basah tanah memecah kesunyian nuansa kelam malam yang dingin lagi sepi di rumah tua bergaya abad ke-19 berlantai dua itu. Bangunannya berbahan utama kayu dan eksteriornya didominasi cat berwarna Hitam, dan Coklat. Letaknya di puncak bukit terpencil, sehingga tak akan nampak dari permukiman dibawahnya ketika memasuki waktu senja. Seolah lenyap disembunyikan bumi atau memang sengaja tidak ingin menampakan wujudnya diwaktu-waktu tertentu. Sudah Tujuh hari lamanya Darko seorang diri menempati rumah warisan dari almarhum ayahnya yang mati secara tiba-tiba ketika berada di kediaman nenek tujuh bulan yang lalu. Hampir tidak pernah beranjak ia dari duduknya selama berjam-jam di sofa coklat teras depan rumahnya sejak sore tadi, menikmati kerlap-kerlip citylight perkotaan Bandung. Suara hujan dan alam ditengah kegelapan malam seluas pandangan matanya, pria berumur 27 tahun ini masih asyik saja melamun memikirkan sesuat