Pada periode Chou Shi, sekitar pukul 01.00 hingga 03.00 pagi, kereta kuda mendaki jalan curam Gunung Lingxiao, batas antara Lengyang dan Baiyung Chen. Langit malam dipenuhi bintang, dan cahaya lampu minyak di dalam kereta bergetar mengikuti guncangan.Derap kaki kuda dan bunyi roda yang membentur batuan membuat perjalanan menjadi sangat tidak nyaman, mengguncang para penumpangnya di dalam kereta.Di luar kereta, Zhang Li, sebagai kusir, mengendalikan kuda dengan ketangkasan yang tenang. Meski jalan berbatu dan curam membentang di depannya, ia terlihat tenang. Dalam hati, menunggu momen yang tepat untuk menjalankan rencana mereka.Di dalam kereta, suasana semakin tegang.Song Hui memandang Rong Guo yang terlelap akibat obat penenang, sementara cahaya lampu minyak yang bergetar menambah kegelapan dan kekacauan dalam ruangan sempit itu.“Master Guo! Master Guo!” seru Song Hui, suaranya tegas dan tidak menunjukkan kekhawatiran. Ia menggoyang tubuh Rong Guo, seolah-olah tidak peduli dengan
Kereta kuda itu melaju perlahan melalui jalur berbatu yang menanjak menuju puncak Gunung Lingxiao. Suara roda kayu yang membentur batu menimbulkan bunyi keras dan menyeramkan, seolah mengundang rasa takut dari kegelapan malam.Di puncak gunung, udara semakin dingin, seolah menusuk kulit dengan kejam. Langit masih diselimuti kegelapan malam, meskipun di cakrawala, cahaya pagi mulai muncul, memberikan sedikit tanda akan datangnya hari.Dhuan Jiexin memandang dengan penuh antusias saat kereta tiba dari arah utara. Matanya yang cerah terlihat bersinar dalam gelap malam, menunjukkan betapa senangnya dia menunggu kedatangan kereta tersebut.“Akhirnya kalian tiba juga,” kata Dhuan Jiexin memecah keheningan malam. Suaranya menunjukkan rasa puas yang mendalam. “Aku sempat khawatir kalian tidak bisa menyingkirkan master talisman yang lemah itu.”“Ah, tidak mungkin aku gagal. Sudah ratusan kali aku melakukan pekerjaan ini, jadi bagaimana bisa gagal kali ini?” jawab kusir kereta dengan nada datar
Di tengah kebingungan yang melanda jiwa Rong Guo, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara teguran yang tegas dan jelas dari arah sebuah perahu kecil yang melayang di permukaan danau. Suara itu menembus keheningan pagi yang dingin dan sepi, memecah suasana tenang yang membungkus danau.“Anak muda, apakah kamu berniat menyeberang ke pulau di tengah sana?” Suara itu mengalun lembut namun berwibawa, penuh keyakinan. “Berikan satu koin emas, dan aku akan membawamu ke sana!”Rong Guo menoleh dengan cepat, terkejut oleh kehadiran seorang pria yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Pria itu berdiri di kepala perahu kecil yang mengapung di permukaan danau, mengenakan pakaian kelabu dari bahan kasar yang tampak usang dan penuh noda.Pria itu tampak berusia sekitar lima puluh tahun.Pria itu tampak berusia sekitar lima puluh tahun. Dia mengenakan topi anyaman bambu lebar yang menutupi sebagian besar wajahnya. Topi tersebut menutupi hampir seluruh wajahnya, menyisakan sedikit bagian yang terlihat samar.
Rong Guo seketika bangkit dari tempat duduknya dengan waspada, sesungguhnya tubuhnya masih terasa lemah akibat luka dalam yang belum sembuh.Dadanya berdebar-debar saat ia mendengar suara yang begitu mengintimidasi dari luar, suaranya begitu kuat hingga membuat genteng-genteng di atap bergetar halus."Aku harus melihat ini. Jika aku melewatkannya, aku akan menyesal!" gumamnya, meski rasa takut dan penasaran berkecamuk di dalam hatinya.Di Benua Longhai, seperti yang sudah dikenal luas, setiap jendela rumah atau bangunan, tak peduli seberapa sederhana atau mewahnya, pasti dilengkapi dengan kisi-kisi yang rapat. Kisi-kisi ini biasanya dilapisi dengan kertas Xuan, yang tipis tapi kuat, berfungsi untuk menjaga privasi sekaligus melindungi dari angin dan debu.Rong Guo tahu bahwa suara di luar sana bukan berasal dari orang biasa. Sosok itu jelas menguasai seni bela diri yang luar biasa, terlihat dari cara aura yang menggetarkan jiwa menyelimuti setiap kata yang diucapkannya.Dengan hati-ha
Suara angin menderu seperti badai di musim salju terdengar menggema di sekitar lembah, saat Telapak Vajra menghantam Pedang Halilintar yang dikendalikan oleh Imam Tao.Kekuatan yang terpancar dari benturan itu menciptakan ledakan yang memekakkan telinga, seolah-olah langit dan bumi bertabrakan. Cahaya kilat yang menyilaukan meledak di udara, menyinari seluruh lembah Sungai Han Fenghe dengan kilauan yang memancar hingga kejauhan.Imam Tao dan Nelayan Yang sama-sama terlempar mundur oleh kekuatan benturan itu, menunjukkan betapa seimbangnya kekuatan dua pendekar sakti ini.Tubuh mereka melayang ke belakang, tetapi mata mereka tetap fokus, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.Namun, dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari sekejap mata, kedua sosok Kaishi yang bertikai itu kembali melesat maju.Mereka memperpendek jarak tempur dengan kecepatan yang hampir mustahil diikuti oleh mata biasa, pedang dan telapak tangan saling menindih dalam pertempuran yang penuh dengan energi da
Rong Guo segera melangkah keluar dari tempat persembunyiannya begitu mendengar namanya disebut-sebut.Hawa malam yang sejuk menerpa wajahnya, sementara matanya tertuju pada cakrawala yang berkilauan di kejauhan. Di sana, dua sosok setengah abadi melayang-layang dengan keanggunan yang luar biasa.Jubah mereka berkibar lembut di udara malam, seolah-olah terbuat dari sutra tipis yang bersinar, sementara lengan baju mereka yang lebar semakin menegaskan kesan, bahwa mereka seolah-olah dewa-dewa yang turun dari langit.Rong Guo menelan ludah, kemudian dengan penuh penghormatan, dia membungkukkan badan dalam-dalam, tangan ditangkupkan di depan dada."Dua abadi yang mulia," suaranya lambat namun penuh hormat, mengalun pelan di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah."Apa gerangan yang membuat orang kecil seperti saya dipanggil? Sesungguhnya, saya hanyalah manusia biasa, tak memahami seni bela diri yang tinggi. Mohon belas kasihan, jangan mempersulit orang kecil ini," lanjutnya de
Rong Guo terpaksa bermalam di pulau kecil yang terpencil itu, berlindung di dalam sebuah bangunan tua yang masih memancarkan sisa-sisa kemegahan masa lalu. Anehnya, perahu yang dipakai oleh Nelayan Yang beberapa waktu lalu untuk mengangkutnya kini lenyap tanpa jejak, seolah ditelan oleh kabut misterius yang menyelimuti danau."Apakah Nelayan itu sengaja menghilangkan perahu, agar aku terperangkap di pulau sunyi ini?" gumamnya dengan nada cemas, sambil menatap sekeliling dengan kewaspadaan yang meningkat.Seketika, wajah Rong Guo berubah pucat, ketakutan merayapi pikirannya.Sebelumnya, ia berpikir setidaknya bisa menggunakan perahu milik Nelayan Yang untuk meninggalkan pulau ini, namun harapan itu kini hancur berkeping-keping.Saat berdiri termenung di tepi danau yang gelombangnya tak henti-hentinya memukul pantai, tiba-tiba perutnya berbunyi nyaring, mengingatkannya pada kenyataan yang tak bisa dihindari—kelaparan yang mulai menyerangnya."Aku lapar. Sejak pagi belum makan. Sebaiknya
"Siapa di sana?" teriak Rong Guo dengan nada yang penuh kekuatan. Keheningan yang tadinya melingkupi danau itu mendadak terpecah oleh suaranya, mendatangkan aura mencekam yang menyelimuti sekeliling.Tanpa membuang waktu, Rong Guo segera berlari menuju sumber suara yang terdengar samar di antara desir angin malam.Dalam jarak sekitar sepuluh meter, matanya menangkap sosok Nelayan Yang, seorang setengah abadi yang mengenakan jubah sederhana, tampak mengambang di atas permukaan air danau. Arus Sungai Han Fenghe yang deras tampaknya siap menyeret tubuhnya yang lemah ke kedalaman."Pegang ini!" teriak Rong Guo, dengan cepat melempar sejalinan akar tua yang ia lilitkan menjadi tali darurat. Akar itu melayang di udara, sebelum mendarat tepat di jangkauan Nelayan Yang.Dengan sisa kekuatan yang ada, Nelayan Yang berhasil meraih akar tersebut, meski tubuhnya mulai melemah.Rong Guo segera menariknya dengan sekuat tenaga, merasakan beban berat seiring tubuh Nelayan Yang terangkat ke tepian dan
Namun, betapa terkejutnya Sima Cheng ketika ia tiba di lokasi kejadian. Keadaan yang seharusnya penuh hiruk-pikuk kini sunyi sepi. Tak ada keramaian sama sekali, hanya ada seorang pemuda yang berdiri tegak, memegang pedang yang masih berlumuran darah segar.Wajah pemuda itu tampak muram, penuh kebencian dan kekesalan. Di bawah kakinya, tergeletak sosok Raja Kera, makhluk spiritual peringkat Transcendent yang seharusnya sangat sulit untuk ditaklukkan.Aura berbahaya yang menyelimuti jasad makhluk itu masih menguar, menyelubungi udara di sekitar mereka dengan ketegangan yang menakutkan. Bahkan, Sima Cheng merasakan degup jantungnya semakin cepat, menjadi sebuah ketegangan yang sulit diabaikan.“Hunter Guo?” tanya Sima Cheng dengan nada penuh keheranan, suaranya bergetar. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membunuh makhluk spiritual peringkat Transcendent ini?”Rasa gelisah memenuhi hati Sima Cheng. Dalam pikirannya, ia merasa marah sekaligus bingung. Mahluk kontrak peringkat Transcend
Sima Cheng, pemimpin Organisasi Tangan Besi, duduk dengan wibawa di atas tandu mewah yang dipikul oleh empat anak buahnya. Setiap langkah mereka terdengar ringan namun kokoh, menggema di jalanan sempit dan berliku dalam hutan yang remang-remang.Tandu tersebut, dilukis dengan warna emas dan merah, dihiasi ukiran naga dan phoenix yang melambangkan kekuasaan dan keabadian. Cahaya rembulan yang menembus celah-celah dedaunan menerangi ukiran tersebut sehingga tampak hidup.Di sebelah tandu, Zhang Fen, anggota elit organisasi, menunggang seekor harimau iblis.Hewan besar itu melangkah dengan anggun, membuat Zhang Fen tidak perlu repot mengeluarkan tenaga untuk berjalan atau berlari. Bulu harimau yang berkilauan di bawah sinar rembulan memberikan kesan yang sangat intimidatif dan megah."Saudara Zhang," suara Sima Cheng terdengar, memecah keheningan hutan yang hanya sesekali diisi oleh suara serangga dan hembusan angin malam. Meski terdengar tenang, ada nada khawatir yang tersirat di dalamn
Mao Shen adalah pemimpin Organisasi Rajawali Iblis. Nama Rong Guo telah ia dengar sejak dari lantai pertama, namun tak sekalipun ia menyangka akan bertemu langsung dengan pria itu."Bagaimana Anda bisa tahu aku? Kita baru pertama bertemu, bukan?" Mao Shen akhirnya bertanya, suaranya masih terdengar serak setelah batuk-batuknya mereda. Dalam hati, ia menyesal telah meremehkan seni Tapak Angin Puyuh yang nyaris membuatnya muntah darah tadi.Meskipun merasa malu, Mao Shen mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik tatapan datar. "Kamu memiliki kemampuan yang cukup hebat," katanya perlahan. "Bisa mengeksekusi Tapak Angin Puyuh—seni bela diri peringkat rendah—menjadi sesuatu yang luar biasa seperti tadi. Itu jelas bukan hal yang mudah."Rong Guo hanya tertawa. Suaranya menggema di antara desiran angin malam dan gemerisik dedaunan, menciptakan suasana penuh tekanan."Dari mana aku tahu Anda?" Rong Guo membalas dengan nada santai, namun sorot matanya tajam menusuk. "Mengapa tidak bertanya
"Ayo masuk, sama-sama kita mencari makhluk kontrak!""Hei! Biarkan aku masuk dulu!""Apa-apaan ini? Mengapa menyerobot?"Suara-suara protes dari para hunter menggema di depan pintu portal. Kerumunan mereka penuh sesak, dengan masing-masing orang berusaha mendahului yang lain. Riuh rendah suara itu memekakkan telinga, menciptakan suasana penuh ambisi dan ketegangan.Namun, ketika Rong Guo melangkah melewati portal itu, semua kegaduhan seketika lenyap. Dunia yang baru saja ia masuki begitu sunyi, seolah waktu di dalamnya berjalan dengan cara yang berbeda.Di kiri dan kanan, pohon-pohon ek yang besar dan menjulang tinggi menyambut pandangannya. Cabang-cabangnya membentang lebar, menciptakan bayangan gelap yang hampir menutupi langit. Di bawahnya, akar-akar besar mencengkeram tanah dengan kokoh, membentuk lanskap yang terasa kuno dan penuh misteri.Suara gemerisik lembut terdengar saat angin bertiup di antara dedaunan, menciptakan harmoni alami yang menenangkan.Rong Guo memperhatikan sek
Sementara itu, Ayong dan Yizhan masih sibuk menyelesaikan duyung-duyung terakhir yang tersisa. Mereka bekerja sama dengan baik hingga tak satu pun musuh berhasil melarikan diri. Ketika suasana kembali tenang dan bayangan dungeon mulai memudar, Rong Guo mendekati kedua kawannya.“Kita langsung pulang saja,” katanya tegas, suaranya terdengar serius. “Kalau kalian ingin merayakan kemenangan dengan minum arak, silakan. Tapi aku punya urusan penting yang harus kuselesaikan.”Ayong dan Yizhan saling melirik dengan raut wajah penuh tanda tanya. Meski penasaran, mereka memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu Rong Guo jarang menjelaskan rencananya, dan mendesaknya hanya akan membuang waktu.Ketiganya berpisah di pintu keluar dungeon. Rong Guo melangkah cepat menuju tempat peristirahatan di perkampungan hunter. Tangannya menggenggam erat Kalung Bintang Abadi, satu-satunya benda yang telah lama ia cari. Benda itu terasa hangat, seolah memancarkan energi misterius.Apakah dalam semal
Setelah beberapa waktu berlalu... setelah Rong Guo melewati dungeon ganda yang menimbulkan rasa cemburu bagi setiap hunter, akhirnya Festival Perburuan Malam dimulai.Namun, ada suatu kejadian yang mengejutkan terjadi, membuat Rong Guo sangat bahagia.Hari ini, tepat sehari sebelum festival dimulai, Rong Guo bersama dua kawannya – Ayong dan Yizhan – masuk ke dalam dungeon.Dungeon yang mereka masuki kali ini berwujud lautan yang maha luas.Lawan mereka adalah kaum duyung yang sangat merepotkan. Selain sakti dengan rata-rata keahlian setara Pendekar Naga Giok, kemampuan sihir para duyung benar-benar luar biasa.“Jangan tergoda dengan nyanyian mereka!” kata Rong Guo tegas. Tangan kanannya melambaikan Pedang Phoenix dan Naga, sementara tangan kirinya merapalkan Teknik Cakra Tengkorak Putih.“Nyanyian duyung mengandung magis, dan bisa membuat jiwa kalian terikat!” tambahnya. “Jika tak kuat, pakailah penutup telinga!”Rong Guo berkelebat cepat, pedangnya meliuk-liuk seperti naga yang menga
Setelah pertemuan panjang dengan para petinggi istana berakhir, Khagan Aruqai melangkah memasuki kamarnya yang megah di dalam istana Kaisar Kota Kaejin.Ruangan itu luas dan penuh kemewahan, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang bernilai seni tinggi. Dindingnya dicat dengan lapisan warna emas dan perak yang berkilauan, seakan memantulkan sinar setiap kali cahaya menerpa.Beberapa tembikar berkualitas tinggi terletak di sudut ruangan, semakin menegaskan kesan agung dan megah yang menyelimuti tempat itu.Dalam diam, Khagan berjalan menuju meja tulis yang terbuat dari kayu ebony, tampak eksotis seolah dibawa langsung dari negeri tropis yang jauh. Dengan gerakan tenang, ia duduk dan mengeluarkan selembar kertas khusus yang hanya diperuntukkan bagi para pejabat istana. Ia menulis beberapa kata dengan tangan yang halus dan terlatih.“Tuan, semua sudah siap. Mesin Penghimpun Qi akan segera dieksekusi. Kami juga akan mulai mengumpulkan energi darah yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaa
Setelah titah terakhirnya selesai, suasana di balairung menjadi mencekam. Hawa dingin yang tidak nyata menyelimuti ruangan.Tak seorang pun berani menatap langsung ke arah Kaisar. Mereka tahu betul bahwa perintah ini tidak hanya mengancam mereka, tetapi juga melibatkan darah rakyat yang tak bersalah.Mesin itu bukan sekadar alat, melainkan mesin pembantaian yang haus akan darah. Harus dihasilkan energi Qi yang maksimal, dan darah manusia menjadi syarat utamanya. Ini menjadi kendala besar bagi ketiga ahli spiritual, yang berusaha menciptakan mesin tanpa menggunakan pengorbanan manusia.Namun, dengan titah baru Kaisar, dilema itu lenyap. Darah akan ditumpahkan, apa pun akibatnya.Mereka semua meninggalkan balairung dengan tubuh menggigil. Tak ada yang berani berbicara, meski nurani mereka bergejolak dalam jiwanya.Keesokan harinya, keanehan mulai terjadi. Laporan tentang hilangnya orang-orang meruak, jadi bahan gunjingan dimana-mana.Di satu desa kecil, seluruh penghuninya menghilang ta
Di istana Hei Tian, Kaisar Jue Tian Yu duduk di singgasana megahnya. Kursi besar itu dihiasi ukiran kepala Phoenix yang tampak anggun, seolah mengawasi seluruh ruangan.Di bawah singgasana, tiga ahli ternama berlutut dengan tubuh gemetar, menghadapi amarah Kaisar Jue Tian Yu.“Bagaimana mungkin kalian begitu lama menyelesaikan Mesin Penghimpun Energi Qi? Bukankah sudah ada tiga blueprint, dan tinggal membuat sesuai contoh?” hardiknya dengan suara menggelegar, membuat udara balairung terasa berat.Ketiga pria paruh baya—Guo Yong, sang Alkemis, Li Hua, ahli array, dan Hui Jian, penyuling senjata spiritual—semakin menundukkan kepala mereka, wajah dipenuhi rasa takut. Akhirnya, Guo Yong memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya parau dan penuh permohonan.“Ampun, Yang Mulia. Meski ketiga blueprint sudah ada, terlalu banyak penyimpangan dan jebakan di dalamnya. Kami sudah berusaha merakit mesin itu sesuai petunjuk, tetapi bahkan pada percobaan kesepuluh, kami tetap gagal...” ujarnya m