Jovanka baru sampai di rumah setelah hari sudah senja. Ketika dia turun dari taksi, dia melihat Revan yang sepertinya juga baru tiba. Mereka berjalan mendekat lalu berhenti dengan jarak satu langkah. Jovanka sebenarnya malas bertemu Revan, tapi ketika dia melihat Revan berjalan ke arahnya, Jovanka pun memutuskan untuk menghampirinya. “Kamu dari mana?” Tanya Revan. Dari nada bicaranya terdengar kesal. “Kenapa tidak ijin padaku?” Jovanka menghela napas. Dia sebenarnya ingin menjawab dengan ketus, tapi Jovanka sadar dia tidak bisa bersikap seperti itu terlebih pada suaminya sendiri. “Aku lupa,” jawab Jovanka sekenanya. Padahal dia sengaja tidak mengabari Revan karena tidak mau terlalu sering berinteraksi dengan pria itu. “Lain kali, jangan lupa untuk ijin padaku saat kamu hendak keluar,” ucap Revan. Dia mengusap puncak kepala Jovanka.Walau awalnya sulit menerima fakta jika perempuan itu kini resmi menjadi istrinya, Revan mulai terbiasa. Bahkan timbul rasa tanggung jawab dan rasa ingin
Revan termenung memikirkan ucapan Jovanka sebelumnya. Dia mulai berpikir, apa sikapnya yang dulu sudah keterlaluan hingga Jovanka memilih berhenti mencintainya. Bahkan karena Revan jugalah sikap Jovanka benar-benar berubah. “Apa aku sangat jahat dulu?” “Revan!” “Berhenti mengikutiku, Jo!” seru Revan kesal. “Ish, Revan! Kenapa kamu terus saja menghindariku?” “Karena kamu mengesalkan,” ketus Revan. Dia semakin mempercepat langkahnya karena tidak ingin terlalu lama bersama Jovanka. “Revan!” “Menjauh dariku!” Revan tersentak. Apa perlakuannya yang dulu itu sangat membekas di ingatan Jovanka? Tapi, sikap Revan hanya sebatas itu. Dia tidak pernah terlalu kasar pada Jovanka. Mungkin? “Apa yang kamu lakukan?” Jovanka tersungkur saat Revan mendorongnya dengan keras. Dia mengaduh kesakitan, lalu menatap Revan dengan pandangan kecewa. Tapi, apa Revan peduli? Sikap Jovanka ini sudah banyak membuat banyak masalah untuk dirinya. Tiap kali ia melihat Jovanka, hanya ada perasaan marah. Ke
Savira nyaris frustasi karena Revan tidak bisa dihubungi. Semua perubahan Revan yang makin tampak jelas itu membuat kekhawatiran Savira semakin besar. Dia yakin, ini semua pasti karena Jovanka. Status mereka yang sudah berubah ternyata berpengaruh banyak pada hubungan yang kini Savira dan Revan jalani. Kehadairan Jovanka di tengah-tengah mereka dan statusnya yang kuat sebagai istri Revan membuat Savira perlahan tersingkirkan. “Aku harus mencari cara. Jika dibiarkan terus seperti ini, Revan pasti akan segera meninggalkanku,” ucap Savira menggigit jarinya cemas. “Revan bahkan belum membicarakan tentang menikahiku. Bagaimana aku bisa diam saja saat posisiku sudah terancam?” Berhubungan dengan Revan lumayan menguntungkan. Pria itu sangat royal padanya. Apapun yang Savira minta, pasti akan berusaha dia kabulkan. Revan tidak pernah berpikir ulang untuk membelikan sesuatu untuk Savira. Hal itulah yang membuat Savira senang akan pria itu. Dengan Revan, Savira tidak perlu bekerja terlalu kera
Savira merasa marah saat ia mengetahui jika Revan tengah menghabiskan waktu dengan Jovanka. Savira tanpa pikir panjang langsung menghampiri tempat mereka. Jovanka tampaknya adalah orang pertama yang menyadari tentang kehadiran Savira. Karena dia jugalah yang meminta Revan berbalik supaya mengetahui keberadaan Savira di sana. “Revan,” panggil Jovanka. Ekspresi Revan terlihat sangat terkejut ketika melihat Savira. Savira tidak menyukai itu. Rasanya seperti, Revan tidak senang akan kedatangannya. “Sa-savira?” ucap Revap kaku. Siapa yang menduga kekasihnya itu akan menghampirinya di saat Revan tengah bersama Jovanka saat ini? “Kenapa kamu ada di sini?” Revan bertanya dengan suara pelan. Dia ragu-ragu untuk bertanya karena ada Jovanka bersama mereka. Akan tetapi sekecil apapun suara Revan, Jovanka tetap mendengarnya. “Aku mencarimu,” jawab Savira jujur. Dia melirik Jovanka sekilas, yang masih belum menunjukkan reaksi apapun. “Kamu sangat sulit dihubungi.” “Maafkan aku. Tadi, aku men-si
Setelah Revan mengantar Savira ke rumahnya, Revan bergegas melajukan kendaraannya untuk pulang. Walau kekasihnya itu awalnya memaksa Revan untuk tetap tinggal sebentar, Revan menolak dengan alasan dia masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Dan masalah itu adalah tentang Jovanka. Walau tidak tahu harus berkata apa dia nanti, Revan rasa dia perlu bicara dengan Jovanka perihal Savira. Tidak lama, mobilnya sampai di gedung apartemen. Revan turun dari mobilnya setelah ia memarkirkan mobilnya. Segera Revan berjalan menuju unit apartemennya yang ia tempati bersama Jovanka. Setelah di sana, Revan merasa heran akan suasana apartemen yang sepi. Padahal dia sudah menduga akan menemukan Jovanka mengamuk emosi, atau setidaknya menangis sendu. Ini tidak seperti yang dibayangkan. Revan pun memutuskan untuk memeriksa ke kamar istrinya. Lampu di sana tampaknya sudah dimatikan. Revan mulai bertanya-tanya, apakah Jovanka sudah tertidur? Karena tidak ingin hanya berdiri seperti orang bodoh di
Razka berjalan menuju satu ruangan petinggi perusahaan. Tidak sembarangan orang yang diijinkan untuk masuk ke sana. Tapi tidak ada yang berani menghentikan Razka, karena semua orang sudah mengenal siapa pria itu.“Ayah!” Razka langsung berseru ketika dia membuka pintu. Tampak seorang pria paruh baya yang ia kenali duduk di meja kerja berkutat dengan berkas-berkas perusahaan.“Razka.” Ayahnya yang bernama Danial itu menaikkan kaca matanya dan melirik ke arah Razka dengan sorot penuh peringatan. “Biasakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk.”Putra sulungnya itu memiliki kebiasaan yang buruk. Tapi anehnya, Razka seperti tidak mau mendengarkan setiap nasehatnya. Putranya itu terlalu keras kepala.“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Razka serius.Lihatlah, dia bahkan mengabaikan teguran Danial untuk yang ke sekian kalinya. Memang seseorang yang sudah dewasa akan sulit mengubah karakternya karena sudah terlanjur terbentuk.Danial hanya bisa menghela napas berat melihat sikap Razka.
Revan keluar dari apartementnya dengan emosi. Dia masuk ke dalam kendaraannya yang terparkir di basecamp. Revan bahkan membanting pintu mobil saat menutupnya. Dia meraup wajahnya dengan kasar. Saat mendengar Jovanka bicara, Revan merasa kalut. Perasaannya menjadi tidak karuan. Dia seperti tidak terima kala Jovanka berkata tentang penceraian. Pernikahan mereka bahkan baru seumur jagung. Bagaimana mungkin mereka secepat ini mengakhiri semuanya? Menjalani pernikahan bukan hal mudah, bukan hal sepele. Hal itu melibatkan dua keluarga besar. Dan sumpah di hadapan Tuhan, belum catatan hukum yang dianggap sah oleh Negara. Seharusnya Jovanka mempertimbangkan semuanya sebelum meminta penceraian pada Revan atas pernikahan yang belum genap dua bulan mereka jalani. “Apa yang harus ku lakukan?” Revan khawatir jika dia menikahi Savira, Jovanka justru semakin memiliki alasan kuat untuk bercerai darinya. Terlebih, Jovanka mulai berani membawa nama ayahnya untuk mengancam Revan. Revan benar-benar d
Revan melihat keributan yang terjadi. Dia sedikit melebarkan matanya saat menyadari jika yang tengah terlibat adu cek cok itu adalah istri dan kekasihnya. Dengan segera, Revan melangkah mendekati tempat mereka."Jo!" Revan memutuskan untuk mendekati istrinya karena di sana juga ada Razka. Revan tidak ingin membuat kakak iparnya itu curiga.Namun ketika Revan menarik tangan Jovanka, istrinya itu justru menghempaskannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?" tanya Revan."Diamlah, dan jangan ikut campur!" ucap Jovanka kesal. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada Savira. Pandangan Jovanka menghunus perempuan itu dengan tajam. "Aku tidak peduli jika kamu mau berhubungan atau bermesraan dengan suamiku. Tapi saat kamu mendekati kakakku, aku tidak akan membiarkannya!"Perempuan itu sama memuakkannya dengan Revan. Mereka seolah tidak puas hanya dengan satu pria dan wanita. Setelah mendapatkan Revan, Savira masih dengan tidak tahu dirinya menggoda kakaknya.Seperti Revan yang sudah memiliki
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia