Razka berjalan menuju satu ruangan petinggi perusahaan. Tidak sembarangan orang yang diijinkan untuk masuk ke sana. Tapi tidak ada yang berani menghentikan Razka, karena semua orang sudah mengenal siapa pria itu.“Ayah!” Razka langsung berseru ketika dia membuka pintu. Tampak seorang pria paruh baya yang ia kenali duduk di meja kerja berkutat dengan berkas-berkas perusahaan.“Razka.” Ayahnya yang bernama Danial itu menaikkan kaca matanya dan melirik ke arah Razka dengan sorot penuh peringatan. “Biasakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk.”Putra sulungnya itu memiliki kebiasaan yang buruk. Tapi anehnya, Razka seperti tidak mau mendengarkan setiap nasehatnya. Putranya itu terlalu keras kepala.“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Razka serius.Lihatlah, dia bahkan mengabaikan teguran Danial untuk yang ke sekian kalinya. Memang seseorang yang sudah dewasa akan sulit mengubah karakternya karena sudah terlanjur terbentuk.Danial hanya bisa menghela napas berat melihat sikap Razka.
Revan keluar dari apartementnya dengan emosi. Dia masuk ke dalam kendaraannya yang terparkir di basecamp. Revan bahkan membanting pintu mobil saat menutupnya. Dia meraup wajahnya dengan kasar. Saat mendengar Jovanka bicara, Revan merasa kalut. Perasaannya menjadi tidak karuan. Dia seperti tidak terima kala Jovanka berkata tentang penceraian. Pernikahan mereka bahkan baru seumur jagung. Bagaimana mungkin mereka secepat ini mengakhiri semuanya? Menjalani pernikahan bukan hal mudah, bukan hal sepele. Hal itu melibatkan dua keluarga besar. Dan sumpah di hadapan Tuhan, belum catatan hukum yang dianggap sah oleh Negara. Seharusnya Jovanka mempertimbangkan semuanya sebelum meminta penceraian pada Revan atas pernikahan yang belum genap dua bulan mereka jalani. “Apa yang harus ku lakukan?” Revan khawatir jika dia menikahi Savira, Jovanka justru semakin memiliki alasan kuat untuk bercerai darinya. Terlebih, Jovanka mulai berani membawa nama ayahnya untuk mengancam Revan. Revan benar-benar d
Revan melihat keributan yang terjadi. Dia sedikit melebarkan matanya saat menyadari jika yang tengah terlibat adu cek cok itu adalah istri dan kekasihnya. Dengan segera, Revan melangkah mendekati tempat mereka."Jo!" Revan memutuskan untuk mendekati istrinya karena di sana juga ada Razka. Revan tidak ingin membuat kakak iparnya itu curiga.Namun ketika Revan menarik tangan Jovanka, istrinya itu justru menghempaskannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?" tanya Revan."Diamlah, dan jangan ikut campur!" ucap Jovanka kesal. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada Savira. Pandangan Jovanka menghunus perempuan itu dengan tajam. "Aku tidak peduli jika kamu mau berhubungan atau bermesraan dengan suamiku. Tapi saat kamu mendekati kakakku, aku tidak akan membiarkannya!"Perempuan itu sama memuakkannya dengan Revan. Mereka seolah tidak puas hanya dengan satu pria dan wanita. Setelah mendapatkan Revan, Savira masih dengan tidak tahu dirinya menggoda kakaknya.Seperti Revan yang sudah memiliki
Ini gila. Revan bahkan tidak tahu alasan apa yang membuatnya tiba-tiba mencium Jovanka. Dia hanya merasa marah dengan kata-kata yang diucapkan istrinya itu. Sehingga yang ingin Revan lakukan hanya membungkam mulut istrinya dan menunjukkan padanya jika ia hanya milik Revan. Sebuah ciuman tampaknya adalah hukuman yang tepat untuk istrinya yang pembangkang. Tapi, setiap detik yang dilewati, Revan justru terbuai dengan permainan yang ia mulai sendiri. Revan juga tidak mengerti. Dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Terlebih, saat Revan menyadari Jovanka berhenti memberontak dan mulai membalas setiap sapuan bibirnya. Permukaan bibirnya yang lembut dan rasa manis yang ia kecap membuat Revan hampir gila. Ia bahkan tidak bisa menahan hasratnya untuk melakukan hal yang lebih. Revan membawa Jovanka masuk ke dalam mobilnya, dan membaringkannya di jok belakang. Ia kembali melanjutkan kegiatan panas itu lebih leluasa. Revan mungkin bisa melanjutkannya di rumah mereka. Tapi jika dijeda terlal
Jovanka keluar dari mobil dengan wajah kusut. Dia membanting pintu mobil dengan kuat sebelum berjalan cepat meninggalkan Revan.Di belakangnya, Revan tampak menyusul dengan segera. Dia tidak bisa membiarkan Jovanka marah padanya lebih lama. Ini memang disebabkan olehnya. Tapi Revan rasa, ia tidak salah sama sekali. Hanya Jovanka saja yang merasa tidak terima dengan apa yang Revan lakukan.“Pergi, brengsek!” maki Jovanka. Dia tahu Revan berjalan mengekorinya. Jadi dia berteriak untuk membuat pria itu berhenti melakukan sesuatu yang membuat Jovanka semakin marah.“Jo, kenapa kamu harus marah?” Revan tidak mengerti, memang apa yang salah dari kejadian tadi? Bahkan sejak awal Revan sadar, istrinya itu juga menginginkannya. Jovanka mungkin hanya tidak ingin mengakuinya.“Kamu sama tidak tahu malunya dengan kekasihmu itu,” ucap Jovanka. Revan bahkan tidak terlihat merasa bersalah setelah apa yang ia lakukan pada Jovanka. Dan itu membuat Jovanka semakin kesal.“Aku ini suamimu.”“Kamu bahka
Semakin hari tingkah Revan semakin meresahkan. Dia menjadi lebih sering mendekati Jovanka dan mengakrabkan diri. Pria itu bahkan tidak canggung lagi saat harus memanggil Jovanka dengan sebutan sayang.Jujur saja, Jovanka sama sekali tidak terpengaruh dengan perubahan Revan. Ia justru merasa risih. Sikap pria itu sebelumnya bagi Jovanka jauh lebih nyaman baginya.“Pagi, sayang.” Jovanka menghindar saat Revan hendak mencium pipinya.Walau tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, Revan tetap tersenyum cerah.“Hari ini sepertinya aku akan pulang terlambat,” ucap Revan memberitahu istrinya. Dia tidak ingin membuat Jovanka khawatir saat ia tidak pulang tepat waktu nanti, walau sebenarnya perempuan itu seperti tidak peduli.“Sekalian saja tidak usah pulang,” ketus Jovanka.Dia berkata seperti itu karena dia sungguh tidak peduli. Tapi Revan sepertinya menanggapinya berbeda.“Kamu akan merindukanku jika aku tidak ada.” Revan mengulurkan tangannya dan mengacak puncak kepala istrinya itu pelan.
“Apakah dia perempuan yang kamu maksud itu?” Danial bertanya pada Razka saat mereka berjalan menuju lift. Danial tidak perlu khawatir karena mereka menggunakan lift khusus yang hanya boleh digunakan oleh petinggi perusahaan. Bahkan Revan saja tidak diperkenankan menggunakan lift itu meski dia merupakan menantu Danial. “Ya.” Razka mengangguk membenarkan. “Dia cukup cantik.” “Adikku jauh lebih cantik,” tukas Razka melayangkan tatapan tidak terima pada ayahnya itu. “Sebenarnya, anakmu itu Jovanka atau perempuan itu?” “Aku hanya mengomentarinya sedikit,” balas Danial terkesan acuh. Lagipula, dia tidak asal bicara. Perempuan bernama Savira itu memang memiliki wajah yang cantik. Danial rasa, wajar saja jika Revan memiliki ketertarikan padanya. Tapi, Danial tetap merasa heran, karena jika dibandingkan, putrinya jauh lebih segalanya dari perempuan itu. “Apa mereka benar-benar berselingkuh?” gumam Danial. “Ayah belum menyelidikinya sama sekali?” Razka berdecak tidak percaya. Dia kecewa de
Jovanka terkejut saat ada seseorang yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Untung saja mangkok berisi mie yang tengah dipegangnya saat ini tidak terjatuh. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Meski tanpa menoleh, Jovanka tahu siapa orang yang tengah memeluknya saat ini. Terlebih, aroma parfum yang tercium sangat tidak asing baginya.“Revan!” tegur Jovanka.Dia memang sempat mendengar suara seseorang membuka pintu. Jovanka juga sudah menduga jika Revan yang datang sepulang dia dari kantor. Tapi, Jovanka sama sekali tidak ada niatan untuk menyambut kepulangan suaminya itu. Dia memilih melanjutkan kegiatannya yang tengah memasak mie untuk dirinya sendiri.“Kenapa tidak menyambutku?” tanya Revan tanpa melepaskan pelukannya. Akhir-akhir ini dia merasa senang bermanja-manja dengan Jovanka. Walau istrinya itu selalu menolak dirinya, Revan mencoba tidak peduli. “Aku ingin kamu berdiri di depan pintu setiap aku pulang kerja untuk menyambutku.”“Aku tidak mau,” tolak Jovanka tanpa pikir p
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia