Haya menyebutkan gejala sakitnya. Wanita di hadapannya tersenyum ketika mendengar keluhan pasien. Wanita yang bernama Aan Kurniasih itu memeriksa tekanan darah. "Kira-kira saya kenapa, ya, Bu?" tanya Haya pada bidan yang memeriksanya. Perempuan yang mengenakan overall hitam itu sedang ada di ruang periksa, di klinik bersalin. Tak jauh dari tempat tinggalnya saat ini. "Kita tes urin dulu, ya, Mbak! Untuk memastikan. Ini nanti tolong dicelupkan ke dalam air seni yang ditampung! Di kamar mandi sudah disediakan wadah kecil, untuk menyimpan air seni." Bu bidan memberikan alat tes kehamilan.Hayana pun masuk ke kamar mandi yang terletak di samping ruang periksa itu, mengikuti arahan Bu bidan. Degup jantungnya jadi tak beraturan. Berbagai pertanyaan terlintas dalam kepalanya. Mungkinkah dirinya hamil? Haya masih berdiri di kamar mandi beberapa saat sambil memejamkan mata. Ini bukan pertama kalinya dia menggunakan test pack. Kali ini pun ada keraguan yang menyergap. Pelan, Hanya membuka
Tamparan Keras Haya "Hamil? Haya hamil?" Arik memastikan bahwa pendengarannya tidak salah."Iya. Aku hamil. Aku wanita sempurna. perempuan subur! Nggak mandul seperti tuduhan keluargamu!" sengit Haya."Baguslah kalau begitu. Selamat sebentar lagi menjadi seorang ibu. Namun, ada satu hal yang mengganjal di benakku. Aku tidak tahu pasti, siapa bapak dari anak itu?" ucap pria itu dengan nada menghina. Senyumnya menjatuhkan.Plak! Satu tangan Haya berhasil mendarat di pipi lelaki itu. Kartika menutup mulutnya, terperangah saat melihat sahabatnya menampar Arik di depannya."Tamparan ini untuk pria tak punya hati nurani dan akal sehat!" Haya meradang. Tatapannya menghujam. Arik mengusap pipinya yang merah akibat tamparan Haya.Perempuan itu yakin, bahwa suaminya merasakan sakit di bagian pipinya. Tangan Haya pun merasakan panas. Wanita itu seketika mati rasa oleh pria yang ada di hadapnya itu."Jaga bicaramu. Ini anakmu! Darah dagingmu! Aku tidak pernah disentuh oleh lelaki mana pun, kecu
Arik menatap kedua orang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Pria itu sempat melangkahkan kaki untuk menghampiri mereka. Namun, dia segera menghentikan langkah kakinya. Arik tak ingin gegabah dalam bertindak, dia tak ingin kembali mempermalukan dirinya sendiri. Pria berkemeja polos itu menarik napas dalam-dalam.Saat ini mereka sedang ada di outlet pakain muslim terbesar di Indonesia. Arik merasa sakit hati melihat Haya berbelanja baju-baju bagus nan mahal. Pria itu yakin uang yang digunakan belanja oleh istrinya adalah hasil dari menjual sapi. Lelaki itu lupa, kalau uang sapi itu memang milik Haya sesuai dengan perjanjian pranikah mereka.Arik pun melanjutkan memilih kerudung untuk hadiah ibunya. Dia pun berbelanja menggunakan uang pemberian dari Hayana. Sisa uang yang diberikan pada Arini. "Tik. Kamu pilih satu, gih! Nanti aku yang akan membayar.""Ah, yang bener! Terima kasih kalau begitu. Tapi ini nggak hutang kan?" Tika tampak berbinar mendapatkan tawaran seperti itu. Senyum
Aku menetap di Pulau ini jauh sebelum menikah. Suamiku adalah orang dari Jawa Barat. Kami bertemu di pabrik Kaenong. Berawal dari latar belakang yang berbeda, membuat ibunya Arik tak begitu suka padaku. Bu Sastra menganggap aku tak layak untuk anaknya. Baginya yang pantas mendampingi anaknya, yang rupawan adalah wanita cantik. Sementara aku hanya wanita berwajah pas-pasan. Namun, wanita yang telah melahirkan suamiku itu bisa berubah menjadi baik ketika sedang butuh sesuatu padaku.Ibunya memang tidak menyukai aku, tapi tidak dengan anaknya. Pria yang bergelar suami itu sangat menerima aku apa adanya. Dulu rumah tanggaku sangat harmonis, walaupun punya mertua yang sedikit menyebalkan. Namun, itu semua tak kuhiraukan, karena memang kami tak tinggal dalam satu atap. Aku tinggal di kosan yang dekat dengan tempat kerja. Kami hanya berkunjung satu bulan sekali setiap habis gajian.Kami sengaja berkunjung sebulan sekali Karena untuk menjaga kewarasan batinku. Sering-sering bertemu ibu mert
Haya mengangkat telepon, meskipun dengan terpaksa."Kenapa, Mas?" tanpa salam pembuka. Suaranya tidak bersahabat sama sekali. "Ngomong apa kamu sama Bu Neneng? Bikin malu aja!" Arik ngomel di seberang sana. "Memangnya Bu Neneng ngomong apa sama kamu?" Haya membenarkan posisi duduknya. Sudut bibirnya menarik senyum sinis. Meskipun Arik tak melihatnya. "Katanya kamu ngelabrak dia di tempat umum!" Haya menajamkan pendengarannya. Siapa tahu salah dengar.Sangat tidak masuk akal! Buat apa Haya melabrak Bu Neneng secara tiba-tiba? "Kamu percaya dengan omongan wanita itu? Kamu pikir buat apa aku melabrak teman ibumu itu? Kamu kenal aku nggak, sih? Aku tidak akan pernah memulai mencari perkara dengan orang lain. Namun, bila orang itu sudah mengusik ku maka tidak ada ampun baginya. Termasuk kamu! Kalau kamu mau tahu kebenarannya tanyakan saja sama Bu Dian. Beliau menjadi saksi hidup saat di parkiran tadi! Jangan lagi menghubungi aku kalau hanya untuk membuat masalah!" Hayana pun segera men
Bu Sastra sedang memikirkan sesuatu. Wanita paruh baya itu menarik bibirnya ke atas setelah mendapatkan sebuah ide."Apapun caranya aku harus berhasil menyingkirkan Haya dari hidup Arik. Semoga mereka segera bercerai. Meminta Arik bercerai itu susah. Secara terang-terangan anakku tidak ingin melepaskan Haya saat ini.Semoga cara ini berhasil." Wanita itu berbicara sendiri sambil mengambil benda pipih di atas meja ruang tamunya. Ibunya Arik segera menghubungi nomor Hayana. Wanita berumur itu tidak gaptek-gaptek amat. Buktinya dia bisa mengoperasikan smartphone. Bu Sastra walaupun tinggal di kampung, terbiasa menggunakan benda canggih itu, karena memang sering menghubungi anaknya yang ada di Cianjur. Mereka sering melakukan panggilan melalui video call.Nomor Haya tersambung tapi belum diangkat. "Kenapa tidak diangkat, sih? Hayana angkat dong! Mertua mau ngomong malah dicuekin! Ayo angkat!" omel Bu Satra seorang diri. Orang tua itu tak sabar sama sekali.Saking lamanya tak diangkat ak
"Aku harus melarang Arik memberi nafkah pada Hayana. Aku yakin selama enam bulan berturut-turut tanpa nafkah dari anakku perempuan itu pasti akan segera mengingat cerai. Hayana sendiri yang akan mengurus perceraian itu. Aku tinggal menyaksikan perpisahan mereka. Arik pun tak perlu mengeluarkan uang." Ibunya Arik tersenyum kecil."Bu. Kenapa tersenyum sendiri?" tanya Arik sesaat setelah duduk di dekat ibunya. "Nggak. Ibu hanya sedang membayangkan kamu menikah dengan Diana kemudian punya anak. Pasti ibu akan sangat bahagia.""Kan sebentar lagi aku juga mau punya anak dari Hayana. Itu cucu ibu juga.""Kamu yakin itu anakmu?" "Yakinlah, Bu. Hayana itu wanita baik-baik. Tidak mungkin dia selingkuh dengan orang lain," bantah Arik. Pria itu menatap lekat wajah ibunya."Terserah kamu! Satu hal yang kamu harus tahu, ibu tak mau mengakui itu cucuku!" tegas ibunya Arik."Dulu, Ibu, ngotot pengen punya cucu dari kami. Sampai-sampai Haya selalu disalahkan karena tak kunjung hamil. Kini setelah h
"Kamu jangan jadi orang o*n. Arik itu sumber duit. Kamu mau kehilangan itu?" Sanjaya tak setuju dengan keinginan istrinya. Lelaki itu menatap dengan bola mata membola hampir copot dari tempatnya malah. Suaminya itu hanya peduli dengan uangnya Arini."Bang! Kamu itu sebenarnya cinta nggak sih sama aku? Kok ada seorang suami yang membiarkan istrinya selingkuh? Kamu itu hanya menginginkan uang saja, tanpa peduli dengan perasaanku! Jangan-jangan kamu tidak punya rasa sama sekali terhadap aku?" Arini membalas tatapan suaminya.Perempuan itu meradang mendengar ucapan lelaki yang telah dua tahun setengah menjadi suaminya itu."Bu – bukan begitu maksud abang, Dek. Mana mungkin tidak ada cinta di antara kita? Abang sudah bertahan sampai dua tahun setengah, lho! Itu bukti Abang sayang sama kamu. Abang cuman binggung, saat ini kan sedang merintis usaha kalau kamu putus sama Arik, bagaimana kebutuhan kita akan terpenuhi? Kamu juga harus membayar cicilan koperasi."Sanjaya berkelit. Lelaki itu sa
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.