"Besok mau ngangkut barang pake apa?" "Belum kepikiran siapa yang bisa dimintai tolong untuk mengangkut barang-barang itu?" gumam Haya setelah selesai makan. "Suami Ibu kos saja. Dia punya mobil truk kan?" Kartika tiba-tiba teringat ibu kost. Memang juragan kontrakan itu punya mobil truk. "Oh iya, lupa aku. Nanti aku ngomong sama ibunya, sekalian mau sewa kamar yang kosong itu, untuk digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barangku." "Memangnya nggak dijual?" tanya Kartika sesaat setelah meneguk air minum di gelas."Sebenarnya ingin dijual, sih. Namun, belum tentu langsung laku. Aku pun nggak mungkin mau membawa barang-barang itu ketika pulang ke Sumatera." "Coba ditawarkan saja sama Arman! Dia, kan suka jual beli barang second." "Nanti kamu cemburu kalau aku berurusan dengan Arman," ledek Haya sambil tersenyum jahil ke arah temannya. Kartika pun cengar-cengir sendiri."Insya Allah sudah tidak. Dipikir-pikir aku kayak anak kecil, ya? Sungguh konyol sekali! Padahal di antara ki
4.Perempuan itu menelisik lebih dalam pada Arini yang sedang menatapnya. Haya menilai penampilan wanita yang berdiri di depannya, dari pangkal kepala hingga ujung kaki. Sangat cantik! 'Apa yang mau dibicarakan?' Haya bertanya dalam hatinya."Ada hal penting yang mau saya bicarakan, Mbak." Arini menangkap keraguan dari Haya.Wanita yang baru pertama kali memakai kerudung itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk permohonan pada Hayana. "Baiklah,tapi tidak bisa lama!" ucap Hayana dingin. Wanita yang akan berbelanja tidak ingin berbasa-basi."Tidak apa-apa, Mbak. Terima kasih sebelumnya karena sudah dikasih waktu. Bagaimana kalau kita duduk di sana?" Arini menuding sebuah cafe yang ada di depan mereka.Haya hanya mengangguk. Perempuan yang mengenakan gamis warna maroon itu baru saja keluar dari butik. Haya berbelanja untuk baju yang akan dijualnya kembali. Wanita hamil itu tidak sendiri. Dia ditemani oleh sahabatnya. Arini sendiri baru mau belanja. Mereka bertemu
"Kenapa kamu menatap aku seperti itu?" tanya Kartika pada perempuan di dekatnya itu."Kamu ingat nggak sih bagaimana dulu kamu membenciku?" Haya memberi pertanyaan pada temannya itu. Kartika hanya nyengir kuda.flashbackPagi ini pikiran Hayana kacau sekali. Kartika menjadi sosok lain bagi perempuan berseragam QA itu.Permasalahannya dengan Kartika jauh lebih menguras pikiran daripada urusannya dengan Arik.Persoalannya dengan suaminya jelas pokok masalahnya, sedangkan dengan Kartika sama sekali dia tidak tahu akar masalahnya.Kartika memang baik. Namun, ketika menghadapi masalah seringkali menyikapi seperti anak kecil. Seperti saat ini. Padahal apa salahnya Haya? Hanya karena dicintai Arman? Nasi uduk pun hanya bisa masuk beberapa suap. Selebihnya nasinya dibuang Hayana.Haya berangkat kerja dengan kepala yang penuh beban. Banyak hal yang dipikirkan saat ini. Masalah dengan Arik belum usai, kini muncul konflik dengan sahabatnya sendiri."De, harus kuat ya," gumam Haya sambil mengus
. Hayana duduk manis di kursi kantin. Tak jauh dari gerombolan orang-orang yang sedang setor uang arisan. Salah satu di antaranya ada Kartika. Arisan yang pesertanya adalah para leader, supervisor dan ADM di factory 2 PT Kaenong. Tempat Hayana bekerja beberapa bulan terakhir ini.Ya, hari ini adalah arisan terakhir pada putaran pertama. Arik merupakan peserta terakhir yang akan dapat uangnya. Dia ikut serta dari masih berstatus sebagai leader. "Pak Ariknya belum datang, ya?" tanya Malika. Orang yang bertanggung jawab memegang uang arisan tersebut."Kan hari ini dia sedang cuti," Sahut Asih ADM line 17. Arini selaku Admnya Arik tak ikut arisan. Dia sebagai orang baru ketika arisan itu sudah berjalan beberapa kali kocokan."Titipkan siapa, ya? Aku nggak mau bawa duit orang sebanyak ini." Malika tampak berpikir."Titipkan saja sama saya." Kartika menawarkan diri. Tak lupa wanita itu pun memasang wajah yang cuek. Agar terkesan tak peduli."Ah jangan. Nanti dikorupsi lagi." Malika curiga
Haya membelalakkan matanya. Bibirnya pun membulat membentuk huruf O. Wanita itu melongo saking tidak percaya dengan penglihatannya. Pria yang baru turun dari mobil SUV tersenyum saat melihat mimik kaget dari wanita beranak satu itu. "Hei, malah bengong. Ini tamu dari jauh. Bukannya disapa malah dipelototin," protes pria tersebut sesaat setelah berada di dekat Haya.Alih-alih menjawab ucapan lelaki tersebut, ibunya Govind malah mengucek matanya. Memastikan bahwa penglihatan tidak salah."Kenapa ngucek mata seperti itu? Tak percaya kalau ini aku?" tegur pemilik suara bas tersebut. Haya hanya nyengir kuda. Dia segera mengakhiri sambungan telepon dengan Kartika. "Pak. Kenapa bisa sampai sini?" tanya Haya sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada, ketika pria itu hendak mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Nyari kamu," ucapnya tanpa beban sembari menarik tangannya yang terlanjur terulur. Dia tersenyum kikuk mendapati Hayana yang telah berubah. Wanita di hadapannya engg
Suami Berlagak Istri Bertindak 37.Wanita pemilik gigi gingsul itu teringat akan baksonya, meskipun tak yakin kalau bakso itu masih enak. Dia segera kembali ke depan. Perempuan itu pun ke luar dari kamar Govind. Mendatangi Baskoro dan ibunya, karena ada baksonya di sana. Dia ingin menyantap bakso.Baskoro melayangkan pandangan ke arah Haya yang sedang berjalan ke arahnya. Pria itu mengulas senyum. Wanita itu terlihat lebih cantik setelah menjadi janda. Tentu Haya sekarang banyak uang dan sering melakukan perawatan. Dulu ketika masih dengan Arik dia harus membagi uangnya. Sebagian besar kebutuhan hidup mereka Hayana yang membiayai.Haya memutuskan pandangan yang secara tidak sengaja bersirobok dengan tatapan Baskoro yang sedang duduk di kursi kayu itu."Enak baksonya, Pak?" tanya Haya sesaat setelah melihat mangkuk bakso milik Baskoro habis. Tinggal kuahnya."Enak makanya dihabiskan." Baskoro memang punya jabatan bagus di pabrik. Namun, pria itu tetap sederhana dalam keseharian. Dia
"Memangnya kamu belum tahu?" "Ya belumlah. Kalau tahu mana mungkin aku bertanya?" sewot Haya. "Oh iya aku lupa. Pak Baskoro itu sudah tak punya istri alias duda.""Serius? Kenapa? Bercerai? Dari kapan jadi duda?" tanya Haya penuh semangat."Cerai mati. Istrinya meninggal dunia empat bulan lalu. Sakit keras.""Innalillahi wa innalillahi rojiun. Terus anak-anaknya ikut siapa? Diurus sendiri?""Anak? Setahuku Pak Bas itu belum punya anak." Pak Bas adalah panggilan anak buahnya untuk Baskoro."Yang dibawa waktu family gathering itu. Anaknya Kan? Siapa kalau bukan anaknya?" "Dia keponakan dari istrinya, yang dari bayi diasuh oleh mereka. Namun, anak itu sekarang sudah diambil lagi oleh orang tuanya," terang Kartika."Tapi kenapa kemarin bilang anak-anak?" gumam Haya namun masih terdengar oleh Kartika di seberang sana."Mungkin anak-anakkan. Alias anak buah di tempat kerja. Termasuk kita. Bukankah dulu dia menjadi bapak untuk seluruh QA dan QC? Kan setiap pembukaan meeting selalu ada kat
"Arik harus memberi pelajaran pada perempuan itu. Sudah berani kurang ajar dia! "Memang harus begitu." Bu Sastra menatap lekat putranya. Orang yang ditatapnya pun mengangguk tanda sepakat. Bu Sastra meruncingkan bibirnya, mukanya memberengut ketika teringat kelakuan menantunya tadi. "Rik. Apakah kamu sudah jatuh cinta pada istrimu?" selidik wanita yang mengenakan daster polos itu, sambil mengalihkan pandangannya ke arah anak bungsunya.Bukan tanpa sebab, wanita paruh baya itu bertanya demikian. Awalnya Arik tidak mau menikah dengan Diana. Bahkan Bu Sastra mengancam Arik terlebih dahulu agar mau melanjutkan pertunangan mereka. Seminggu sebelum acara lamaran dilaksanakan. Pada waktu itu Bu Sastra mengatakan, tidak mau lagi mengakui Arik sebagai anak, apabila tidak mau menikah dengan Diana. Mantan suaminya Hayana yang tidak mau dicap sebagai anak durhaka, dengan terpaksa Arik pun terpaksa menikah dengan wanita yang telah lama mengejarnya. "Kan ini semua maunya, Ibu. Arik hanya mau
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.