Acara yang kuharapkan berjalan dengan baik-baik saja dari awal hingga selesai nyatanya sudah mendapatkan satu rintangan yaitu kasusnya Wira.Kuajak Dina masuk ke kamarku agar dia bisa beristirahat lebih rileks karena kamarku ada AC-nya dan juga lebih luas dari pada kamar ibu.Dari sini masih terdengar teriakan-teriakan Wira dan juga jeritan tangis kakak-kakakku yang melepaskan kepergian Wira.Sungguh dari dasar lubuk hatiku yang paling dalam sebenarnya aku pun tidak tega melihat Wira begitu, tapi ini demi kebaikan dia agar ke depannya dia bisa berubah menjadi lebih baik lagi, maka aku putuskan tega tidak tega untuk membiarkan Wira dibawa oleh mereka.“Dina, sudah jangan terlalu dipikirkan sekarang lebih baik kamu istirahat. Anakmu biarkan Ibu yang jaga. Kamu perlu waktu sendiri,” kataku pada Dina. Dia mengangguk saja air matanya terus saja mengalir.Kasihan dia, baru melahirkan sudah ditimpa masalah seperti ini takutnya Baby blues. Makanya aku sebagai orang yang paham untuk menjaga ata
“Iya, terima kasih, Mbak, atas supportnya. Aku akan lebih mendekatkan diri kepada Allah dan aku akan menjadi Ibu yang baik untuk anakku. Aku tidak bisa kembali pada Mas Wira, terlalu dalam luka yang dia tancapkan di hatiku,” jawab Dina.“Sama-sama Dina. Ya, sudah, jangan sedih terus ayo, tersenyumlah! Ini dimakan dulu nanti kalau sudah selesai kamu boleh istirahat tidur di sini atau tidur di kamar Ibu enggak apa-apa, ya?” Aku belai wajah cantik Dina dan aku coba membingkai senyum di bibirnya.Dina mengangguk lalu memelukku erat sekali, kami berpelukan cukup lama. Kami berpelukan dalam diam. Semoga saja ini bukan pelukan terakhir dari Dina. Semoga saja kelak ketika Dina sudah menemukan kebahagiaannya masih mau memelukku sebagai kakak iparnya.Kutinggalkan Dina seorang diri. Saatnya aku pergi ke rumah Ustazah Fatimah untuk meminta tolong padanya mengisi acara esok hari.“Ita, Ita, kamu itu aneh malah membela wanita itu dari pada adikmu sendiri. Ta, Wira itu punya hutang pasti ada alasa
Karena merasa dikacangin aku memutuskan pergi ke dapur membuatkan mereka minuman. Sebenarnya Wak Tono itu rumahnya tidak terlalu jauh dari sini hanya beda desa saja, tapi sejak kejadian yang lalu itu Wak Tono memutuskan untuk tinggal di kampung dan rumah yang di sini dikontrakkan pada orang lain makanya dia datang bersama Sinta dan juga Mala.“Ibu itu Wak Tono dan yang lainnya sudah datang,” kataku pada ibunya Mas Danu.“Oh, ya? Ya, sudah Ibu ke sana dulu,” jawab ibu dan bergegas di ruang tamu.“Ita, ternyata keluarganya Danu kalau dikumpulkan banyak juga, ya? Sudah gitu orangnya unik-unik. Apalagi kakak-kakak kamu itu, uuh unik-unik banget! Rasanya gimana, ya, kayak mereka yang tuan rumahnya di sini, angkuh, dan sombong padahal yang tuan rumahnya aja ramah sekali,” ujar Mbak Wulan.“Oh, ya, Mbak. Ya, sudahlah biarkan saja yang penting kan, aku enggak. Mbak di sini kan, bukan untuk mereka, tapi untuk aku, jadi cuekin saja orang-orang yang begitu,” jawabku.“Iya, Ta, memang aku di sin
"Iya, Mah, gemuk soalnya dia kan, ASI eksklusif beda dengan yang tidak ASI eksklusif,” jawabku.“Dinanya mana? Apa sedang ngobrol dengan kakak-kakakmu?” tanya Mama Atik.“Dina ada di kamarku, Mah, tadi sih, lagi makan mungkin sekarang sudah selesai. Ya, sudah ayo, kita temui Dina bawa juga bayinya! Tidurnya sudah lumayan lama ada kali dua jam, kalau haus dekat Mamanya kan, bisa langsung di nenenin.”Meski Mamah Ati terlihat sedikit bingung, tapi beliau menurut saja. Anaknya Dina digendong dan kami segera menuju kamarku. Klek!Handle pintu terbuka ternyata Dina sedang salat padahal ini masih jam 11.00 siang pasti dia salat Dhuha. Ternyata Dina memang benar-benar sudah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.Mendengar suara pintu dibuka Dina menoleh matanya sembab oleh air mata. Aku yakin Dina sudah mengadukan masalahnya kepada yang maha kuasa. “Dina, Ya, Allah, ini Bulek. Bulek kangen sekali sama kamu,” ucap Mamah Atik. Dina berhamburan memeluk Mama Atik dan menangis sesenggukan di
“Katakan pada Bulek, ada apa sebenarnya Dina?” tanya Mama Atik, beliau membelai wajah Dina dan mengusap air mata Dina.“Bulek, lelaki yang aku cintai sudah menghianatiku. Aku tidak bisa lagi memaafkan dia. Aku tidak mau lagi berbagi hati dengan dia karena dia sudah berani berbagi ranjang dan menduakanku,” jawab Dina. Mamah Atik terlihat bingung beliau melihat ke arahku, tapi aku menunduk. Aku pun tidak berani melihat ke arah Mama Atik karena ini sama saja dengan aibku. Wira adikku, dia berbuat salah dan aku pun ikut malu.“Katakan siapa yang kamu maksud jangan pakai bahasa yang Bulek tidak bisa pahami kan, Bulek ini sudah tua, Dina, jadi kalau ngomong to the point saja,” jawab Mamah Atik.“Mas Wira, sudah berbagi ranjang dengan perempuan lain dan aku tidak bisa memaafkan dia Bulek. Aku memutuskan untuk berpisah dengannya,” jawab Dina.Mamah Atik kaget lalu memandang ke arahku dan aku lagi-lagi aku menunduk sungguh aku merasa malu sekali pada Mama Atik.“Apa tuduhan kamu itu sudah ad
“Dina, Bulek, tahu bagaimana perasaanmu sejujurnya? Bulek juga bingung harus menanggapinya bagaimana, tapi kalau ini sudah menjadi keputusan kamu, maka Bulek pun angkat tangan. Bulek, akan selalu support kamu bagaimana pun kondisi dan situasimu. Bulek harap di suatu hari nanti kamu tidak akan menyesal dan Bulek berharap kamu bisa menjelaskan ini kepada kedua orang tuamu dengan sejujur-jujurnya. Kamu tahu Dina, status janda itu tidak semudah yang seperti kita lihat. Banyak aral melintangnya dan juga fitnahnya. Semoga saja kamu bisa melaluinya dan tetap menjadi wanita muslimah yang istiqomah dalam ketaqwaan dan tawadhu,” ucap Mama Atik.“Iya, aamiin, Bulek. Aku sudah memantapkan hati. Tadi aku sudah salat, sudah salat taubat, sudah memantapkan hati dan berpasrah kepada Allah. Semoga jalan yang aku pilih ini benar dan aku tidak dilaknat Tuhan walau bagaimana pun juga aku tahu hukumnya perceraian itu seperti apa dan aku berharap suatu hari nanti aku tidak akan menyesali keputusanku ini
Aku dan Mama Atik kembali ke depan menyiapkan segala sesuatunya untuk acara besok.Sinta dan juga Mala bergabung dengan warga lain untuk acara masak-memasak. Sedangkan Wak Tono dan anak istrinya duduk manis di teras sambil ngopi melihat orang memasang tenda.Kakak-kakakku pun membuat grup sendiri. Mereka duduk di depan TV dan membungkus kue entah apa yang mereka bicarakan, tapi yang jelas tadi saat aku melewati mereka sedang membahas Wira dan menyayangkan sikap tegasnya Dina. Acaranya benar-benar akan berlangsung meriah karena bersamaan dengan 7 bulanan Mbak Asih. Kami tinggal menunggu satu tamu lagi, ya, itu Mbak Lili. Semoga dia sampai sini dengan selamat.Peneror itu hari ini belum beraksi sama sekali biasanya sehari bisa beraksi dua sampai tiga kali, tapi sampai sesiang ini belum. Apa mungkin orang itu adalah salah satu di antara orang-orang yang ada di rumahku ini? Aku harus sigap mengawasi mereka.Ibu dan bapakku di ruang salat sedang i’tikaf. Aku tahu perasaan mereka pasti sa
"Begitu, ya, Ta? Oke, baiklah, aku akan menuruti saran kamu. Semoga dengan begitu setidaknya aku bisa membalas sedikit sekali dan aku memang sebenarnya berharap hanya Allah yang bisa membalas kebaikan-kebaikan Bulek Atik.”“Iya, Mbak, itu benar sekali! Oh, ya, souvenirnya isinya apa , Mbak? Aku belum lihat. Tadi aku sibuk dengan Wira dan juga Dina,” kataku.“Ini isinya dompet, Ta, untuk wadah uang belanja ke warung, tapi ini pasti harganya tuh enggak kurang dari Rp1.000 per item sedangkan Bulek Atik membelinya ada 500 buah Ita, belum isinya. Kamu tahu isi di dalamnya ini ada sisir, pensil, lipstik, dan juga bedak. Entah apa maksudnya. Tadi sih, aku tanya sama Bulek Atik, katanya karena anakku waktu di USG perempuan itulah alat-alat kecantikan untuk perempuan agar bisa berhias cantik untuk suaminya gitu,” jelas Mbak Asih. “Oh, ya, bagus juga ide Mamah Atik, Mbak. Semoga anakmu benar-benar perempuan, ya, Mbak, biar bisa bantu kamu nanti kalau kamu tua, tapi kalau enggak perempuan jug
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din