Setelah selesai sarapan aku segera beres-beres rumah. Hari ini rencananya akan berbelanja untuk acara esok yang akan kami adakan 5 hari lagi.Ting!WA dari Novi.[Ita maksudmu apa nulis status begitu, kamu menyindirku?Kamu tidak ikhlas menolongku. Oke, aku, kembalikan uang kamu, tapi tolong dong, kamu nggak usah bikin status-status begitu! Kamu merendahkan sekali. Jadi manusia baru kaya begitu saja sudah sombong.][Sepertinya kamu harus berkaca pakai kaca yang besar, kalau tidak ada datanglah ke rumahku sini. Berkaca di sini kamu kan, yang memulainya duluan, Nov! Kamu update status menyinggung aku bahwa aku ini berutang padamu subuh-subuh padahal kan, kamu yang hutang sama aku, jadi manusia itu jangan suka memutarbalikkan fakta. Ingat dosa, ingat mati, memangnya aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakangku? Banyak orang yang laporan padaku.] balasku berapi-api, kalau dia benar-benar mengajak perang maka aku akan ladeni.[Eh, fitnah itu, siapa yang bilang begitu. Aku tidak ada u
[Aku tidak peduli, pokoknya cepat kembalikan uangku! Aku sudah benar-benar marah padamu, aku sudah tidak percaya lagi padamu. Terserah kamu masih mau berteman denganku atau tidak karena itu sama sekali tidak membuatku rugi.][Iyalah baik, aku ke sana, tunggu!]Dengan senang hati aku menunggu kedatangan Novi, semoga saja kali ini dia tidak berbohong dan tidak banyak alasan. Kalau sampai dia tidak datang ke sini maka aku yang akan datang menghampiri ke rumahnya. Dia yang memulai, dia pun yang harus mengakhiri.Brak! tiba-tiba saja kacaku kembali dilempar oleh seseorang dengan batu yang sangat besar, kami yang sedang asyik bersantai di ruang TV pun bergegas lari ke depan.Tidak ada siapa-siapa hanya ada batu bata besar dengan bungkusan plastik hitam. Bapak lari ke jalan dan celingak-celinguk mencari apakah ada orang yang patut dicurigai.“Mbak Asih dari mana?" tanyaku pada Mbak Asih. Dia sepertinya dari minimarket karena menenteng plastik berlogo minimarket terkenal dengan segala isinya
[Huh, dasar ya. Songong banget baru kayak begitu saja sudah sok iyes!] [Sugeh munggah bale!]Lagi lagi Novi masih update status tidak jelas memang anak ini kudu aku gertak sekalian. Baiklah Novi kita mulai permainan kita biar semua orang tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Sebenarnya cukup aku diam saja pun semua orang bakalan tahu, tapi jika aku tetap diam kamu akan semena-mena dan merendahkanku.“Mah, titip Kia, ya, sebentar aku mau keluar," pintaku pada Mama Atik yang sedang asyik nonton TV.“Mau ke mana, Ta, keluar kok enggak pakai baju rapi. Pakai baju rumahan gitu memang mau ketemu siapa?" tanya Mama Atik.“Mau ketemu manusia tidak tahu diri, sudah aku baik-baikin, sudah aku lembutin, masih saja. Merasa sok jadi korban, masih saja merendahkan aku pokoknya titip Kia ya, Mah, aku mau perang sampai titik darah penghabisan," jawabku.Mamah Atik dan ibuku malah tertawa mendengarkan penjelasanku.“Mama, Ibu, tidak ada yang lucu enggak usah tertawa begitu," rajukku.“Mamah i
“Oh, ya, lalu percakapan kamu tadi malam dengan Bosmu gimana. Sudahlah, Nov, itu juga bukan urusanku. Aku tidak akan merendahkan kamu kalau kamu tidak merendahkanku intinya aku datang sini untuk mengambil uangku. Cepatlah bayar! Utangmu itu sedikit kan, cuma satu juta, lagi pula kamu kaya, barang-barang mewah dan juga branded-branded masa utang satu juta enggak bisa bayar, kan kamu sendiri yang nantangin aku untuk meminta uang kamu ke sini."“Wah aku jadi bingung nih, yang benar Ita atau Novi, ya, tapi kalau dilihat-lihat sih, semuanya benar dan semuanya salah karena dua-duanya sama-sama kaya, ya, kan ibu-ibu? Kalian gimana? Kalau aku netral aja deh, yang menang itulah yang aku dukung," sahut Wak Jum, wanita tua satu ini juga benar-benar menyebalkan“Jelas akulah pemenangnya, Wak Jum aja enggak ngeliat tadi kan, sudah masuk rumahku dan sudah melihat barang-barang mewahku, perhiasan-perhiasanku, masa iya, aku utang satu juta sama, Ita,” jawab Novi, dia mengibas-ngibaskan jari-jarinya y
“Eh, Ita, jangan sembarang masuk rumah orang, ya. Atau aku bilangin ke Pak RT, dasar kamu, ya, tidak punya adab sama sekali,” ucap Novi, dia menarik lenganku agar aku pergi keluar dari rumahnya.“Silakan saja laporin ke Pak RT. Aku pun tidak takut! Yang tidak punya adab itu kamu, Nov, dari aku sudah bicara baik-baik padamu sudah menagih hutangmu dengan baik, tapi kamu malah mengabaikan aku."“Aku bukan mengabaikan kamu,ya, Ita, aku hanya membela diri. Ibu-Ibu tolong dong, jangan cuma diam aja ini jelas-jelas, Ita mau merusak rumahku semua barang-barang yang di sini harganya mahal-mahal kalau sampai rusak aku bisa rugi," katanya meminta tolong pada gengnya. “Waduh kalau gini caranya mendingan kita lapor RT saja deh, biar Ita dan Novi yang menangani Bu RT. Aku tidak mau ikut-ikutan," jawab Wak Jum, tapi dia pun tidak beranjak dari tempatnya kurasa dia pun menikmati pemandangan yang terjadi di sini dasar manusia-manusia tidak punya akhlak.“Kalian jangan ikut campur masalahku dan Nov
“Dasar kamu, Ita, mulutmu makin menjadi, ya, aku diamkan dari tadi. Tentu saja cincinku itu asli, awas kamu kalau sampai jual cincin itu. Aku tidak akan pernah biarkan kamu bisa keluar dari rumah ini dengan selamat. Ayo, cepat kembalikan cincinku terlihat lagi!"“Aku pun tidak akan pernah menyerah untuk menagih hutang, kamu kan, yang bilang sendiri tadi kalau kamu akan bayar, Nov. Tenang saja cincin ini tidak akan aku jual selagi kamu mau membayar hutangmu itu,"“Sudahlah aku pusing, aku akan panggil Bu RT saja,” sahut Wak Sri, dia gegas ke luar menuju rumahnya Bu RT. Baguslah kalau dia manggil maka urusan akan cepat kelar.“Kamu kenapa terlihat cemas begitu, Nov, kamu takut berhadapan dengan Bu RT dan juga aku. Karena kamu tahu bahwa kebusukan kamu akan terbongkar?" kataku pada Novi, dia kembali membusungkan dadanya dan mencebikkan bibirnya padaku.“Takut sama kamu enggak ada dalam kamus hidupku, Ita. Kamu 'tuh siapa hanya orang rendahan. Aku tidak takut,” jawab Novi. Ucapannya da
Novi mempersilakan Bu RT masuk dengan sangat ramah tamah, dia sibuk mengeluarkan semua makanan yang ada di dalam dapurnya dan dia juga membuatkan minuman spesial untuk Bu RT. Padahal kami yang sejak tadi di sini tidak dibuatkan apa-apa olehnya.“Sudah tidak usah repot-repot, Novi, saya ke sini karena diundang oleh Bu Sri katanya kamu lagi berantem sama si Ita, saya ke sini mau meluruskan. Sebenarnya kalian ada masalah apa kita to the poin saja, ya, soalnya saya juga banyak kerjaan harus mendata kependudukan tugas dari pusat."“Oh, santai aja dulu Bu RT barang sebentar saja. Ini loh aku sudah keluarin makanannya silakan dicicipi dulu masakan aku," jawab Novi sok manis.Bu RT mencicipi kue yang disuguhkan oleh Novi. Begitu juga dengan gengnya mereka asik makan, sedangkan aku tidak mau menyentuh makanannya toh Novi pun tidak mempersilahkannya padaku. Andai dia mempersilahkannya padaku pasti aku pun akan memakan kue itu.“Mbak Novi, ini kuenya sudah saya cicipi, ya, sekarang jelaskan dudu
"Bu RT, aku juga mau bilang satu lagi si Ita sudah merebut cincin emasku satu dan sudah dimasukkan ke dalam saku bajunya ini sudah masuk perampasan berarti Ita bisa dipenjarakan dong Bu RT. Bukan dipenjarakan lebih tepatnya kita laporkan ke polisi saksinya banyak ada Wak Jum Wak Sri dan yang lainnya," serobot Novi padahal Bu RT belum selesai berbicara.“Iya, betul itu Bu RT. Kami lihat sendiri tadi Ita merampas cincin emasnya Novi yang sedang dipakai," sahut Wak Jum.“Perampasan apa pun alasannya memang tidak dibenarkan, tapi di sini saya paham juga apa yang dirasakan oleh Mbak Ita mungkin Mbak Ita saking kesalnya jadi dia khilaf mengambil cincin itu dan jika nanti keputusan saya ini menyatakan bahwa yang benar adalah Mbak Novi maka saya minta kepada Mbak Ita untuk memberikan cincin itu secara baik-baik kepada Novi. Apakah kamu bersiap Mbak Ita?" tanya Bu RT padaku, aku mengangguk mantap.“Aku siap Bu RT bahkan sekali pun aku kalah dan Novi tidak mengakui bahwa dia sudah meminjam ua
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din