"Iya, Mas, aku pun sependapat dengan kamu. Siapa ya, Mas, yang iseng pada keluarga kita? Padahal kita ini sudah berusaha semaksimal mungkin untuk jadi orang baik.”“Hanya Allah yang tahu, Dik, tugas kita yang penting mencoba ikhtiar untuk menghilangkan gangguan-gangguan jin itu dari diri kita dan juga rumah kita.”“Kalau besok kita ruqyah berarti kita tidak bisa menemani Nok, di kantor polisi dong?” “Iya, tidak bisa! Besok kita katakan saja yang sejujurnya pada, Nok, semoga saja semuanya berjalan lancar, tapi kalau ada yang coba-coba untuk memanipulasi hukum kita harus bantuin kasihan, Nok. Dia harus terima keadilan.”“Iya, Mas, aku setuju itu. Ayo, Mas kita bersih-bersih badan, wudu, dan diminum ini wedang jahenya, lalu kita tidur!” ajakku.Baru juga terpejam beberapa jam, aku terpaksa bangun lagi karena seperti ada yang memanggil-manggil namaku. Kulihat jam masih jam 03.00 dini hari. Baiklah aku akan mandi dan juga salat tahajud terlebih dahulu.Kenapa kamarku ini hawanya panas s
“Jangan pergi, Mas! Di sini saja itu pasti jebakan," kataku pada Mas Danu, yang sudah terlanjur ke luar kamar.Aku pun bergegas mengejar Mas Danu. Kupakai jilbabku dengan asal, lalu membangunkan ibu dan bapak dan juga Mamah Atik. “Bangun, Mah! Itu Mas Danu ke luar rumah sendirian!” teriakku menggelegar di depan pintu kamar Mamah Atik.Untung saja bapak dan ibu sudah bangun karena memang ini sudah menjelang subuh. Bapak bergegas membuka pintu ruang tamu dan mengajar Mas Danu ke samping kamarku.Saat kami sampai di samping kamarku, kami melihat Mas Danu sedang diam berdiri terpaku. Kami pun kaget karena melihat di hadapannya Mas Danu ada Mbak Asih. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Mbak Asih ada di sana.“Asih, Ya, Allah, kenapa kamu ada di sini? Apa yang kamu lakukan di sini, Asih?” tanya Mama Atik, beliau menghampiri Mbak Asih dan berusaha mengajak Mbak Asih masuk ke dalam, tapi gandengan tangan Mama Atik ditepis oleh Mbak Asih. Mbak Asih menatap kami satu per satu lalu menat
"Menurutku juga begitu, Mah, tapi sampai saat ini aku pun bingung siapa orangnya. Kalau memang tidak suka dan kalau memang kami banyak salah harusnya datang dan bicara baik-baik. Selama ini 'kan aku dan Mas Danu tidak pernah mempersulit urusan orang lain. Aku dan Mas Danu juga selalu welcome jika ada orang yang mau mengkritik kami.”“Itulah, Ta, namanya juga hidup sebaik apa pun kita pasti akan ada saja yang membenci dan tidak suka. Kita sudah bersabar, tapi mereka melakukan tindakan-tindakan di luar nalar manusia dan ini sebenarnya yang mengerikan.”“Iya, Mah. Mamah benar. Apa sebaiknya aku kumpulkan semua keluarga Mas Danu dan mengadakan semacam acara reuni keluarga agar aku dan Mas Danu bisa menilai mana yang suka dan yang tidak suka?”“Begitu pun juga bisa, Ta, tapi kita harus pikirkan matang-matang keluarga Danu banyak, tidak mungkin juga kita bisa mengawasi mereka satu persatu. Kalau saran Mamah, kalian mengadakan syukuran yang dihadiri bukan hanya sehari dua hari, maksimal
"Asih, yang benar saja? Kamu itu tadi di sana bawa batu. Kamu yang lemparin jendelanya Ita, kan?” sahut ibu. Mbak Asih, menggeleng bahkan terlihat seperti orang bego.“Tidak kok, Bulek, untuk apa aku ngelemparin kamarnya Ita, kan itu sama aja dengan mengganggu dia istirahat. Tadi itu Bulek, beneran ada orang di sana aku kira itu Danu atau pencuri makanya aku datangi, tapi sampai di sana orangnya tidak ada,” jawab Mbak Asih sambil memakan kue cubit.“Akan tetapi, Sih, di tangan kamu itu ada batu yang untuk melempar kamarnya Ita,” kata Mama Atik. Lagi-lagi Mbak Asih seperti kebingungan. Dia seperti memikirkan sesuatu dan menurutku apa yang diucapkan Mbak Asih adalah benar sebab Kalau Mbak Asih berbohong nada bicaranya tidak seperti itu. Aku kenal Mbak Asih sudah lama dan aku tahu betul sifatnya dia.“Apa mungkin orang itu lari lalu memberikan batu itu ke Asih?” tebak bapak. “Bisa saja begitu, tapi kenapa Asih tidak tahu kalau batu itu diberikan oleh orang lain padanya,” sahut Mamah
"Kenapa harus bawa Roni segala, Ita? Kamu, kan tahu dia biang masalah?” Rupanya Ibu tidak setuju.“Bukan begitu Bu, kalau kita bawa Mas Roni ke sini, kita bisa tahu apakah dia yang selama ini melakukan teror itu atau bukan? Lagi pula, Bu, yang namanya menyambung silaturahmi kita tidak boleh memandang-mandang orang dan pilah-pilih yang dari luarnya terlihat jahat belum tentu dalamnya, begitu juga sebaliknya Bu,” jelasku pada ibu.“Iya, sih, Ibu paham, Ta, tapi Ibu takut saja orang ini akan bikin masalah malah Nanti kamu malu.”“Tenang saja, Bu, kan, Mbak Asih sudah bilang kalau Mas Roni bikin masalah, Mbak Asih yang akan bertindak. Kita lihat saja besok.”“Semoga semuanya baik-baik saja, ya, Ta, dan acara yang kamu akan adakan nanti berjalan lancar juga kita bisa tahu siapa pelaku sebenarnya.”“Aamiin, Bu, semoga saja begitu. Kita hanya bisa berdoa semoga saja Allah memudahkan dan melancarkan semuanya.” **Paginya aku mengantar Mas Danu sampai depan. Saat dia mau berangkat kerja t
“Looh ... Ita, apa yang kamu lakukan? Naik-naik tangga begitu nanti jatuh, loh?” tegur Mamah Atik beliau sedang membawa kain pel hendak mengepel lantai.“Mau ambil foto ini, Mah, ada sesuatu yang terjadi saat Mas Danu tadi hendak pergi ke toko. Nanti aku jelaskan,” jawabku tanpa menoleh pada Mamah Atik dan juga pada bapak yang memegang tanggaku.“Sudah, kamu turun saja, Nak, biar Bapak yang mengambil. Itu bingkainya lumayan berat nanti kamu tidak kuat,” pinta bapak, setelah aku coba pun memang benar bingkai ini lumayan berat karena memang terbuat dari kayu jati asli yang sudah tua. Ini dipesan khusus oleh Mas Danu pada temannya yang memiliki usaha mebel jati.“Iya, benar loh, kata Bapakmu, kamu turun saja, Nak, nanti kamu jatuh malah jadinya tambah ribet urusannya! Sudah perempuan itu, di bawah aja dan laki-laki yang naik!” seru Mamah Atik.“Siap, Mah!” jawabku seraya tersenyum dan dengan hati-hati aku turun ke bawah.“Nah, biar Bapak yang ngambil saja tolong pegangin tangganya, ya
"Astagfirullah ... ya, Allah! Apa yang akan terjadi pada anakku? Ya, Allah, tolong jauhkanlah dan lindungilah anakku dari mara bahaya!” teriak Ibu histeris dan memeluk Kia.Mbak Asih yang sedang asyik menonton TV pun berlari menghampiri kami.“Ada apa, Bulek? Kia, kenapa?” tanya Mbak Asih dikiranya Kia yang terluka.Mbak Asih memang sangat sayang pada kia dan juga dekat, jadi kalau terjadi sesuatu pada Kia, pasti akan sangat khawatir.“Bukan, Kia, foto ini jatuh untung tidak ngenain Kia, makanya Ibu histeris,” jelasku pada Mbak Asih."Ya, Allah, iya. Untung Kia, enggak kena jatuhan foto ini lagi pula kenapa diambil si, Ta? Kan, bagus dipajang di situ, bapakmu enggak bisa ngambilnya, jadi jatuh,” ucap Mbak Asih.“Bukan bapakku tidak bisa mengambil Mbak, tapi memang fotonya jatuh sendiri. Tadi yang depan pun begitu jatuh sendiri. Ah, ya, sudahlah mungkin karena memang kena angin atau mungkin memang karena pakunya sudah longgar. Sudah jangan diambil pusing, Ayo, Mbak Asih tolong dibawa
[Biasa aja, tuh! Aku dan suamiku sama sekali tidak takut atas ancaman-ancaman yang kamu lakukan untuk keluargaku. Bagi kami itu hanya kerikil kecil yang dengan kami injak atau kami tendang saja sudah meluncur jauh.] Balasku dan langsung dibaca.[Oh, ya, hebat sekali kalian! Itu pun hanya butiran pasir yang aku tunjukan pada kalian. Masih banyak lagi kejutan-kejutan yang akan aku berikan pada kalian, jadi nikmati saja.] balasnya.[Lakukan jika memang kamu mampu. Lakukan jika kamu memang bisa, dan lakukan jika itu membuatmu puas kami terima tantanganmu.] jawabku lagi.Hanya dibaca saja dan nomornya kembali tidak aktif. Oke, aku bisa menyimpulkan bahwa ini adalah orang yang sama dengan seseorang yang meneror Mas Danu.Aku sengaja tidak akan pernah memblokir nomor-nomor yang sudah meneror kami agar itu untuk bukti jika sewaktu-waktu kami perlukan dan aku pun sama sekali tidak menghapus pesan-pesan dari nomor peneror itu.Kejahatan memang harus dilawan, jika tidak dia akan terus merasa me
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku
“Sebenarnya ada acara apa sih, kalian makan-makan begini? Soalnya Mbak Fitri sama Mbak Wulan update status enggak ada captionnya, jadi, aku bingung acara apa. Lagi pula aku belum makan malam, nih jadi kami ke sini. Ita ada acara apa sih?" tanya Novi.“Acara makan-makan biasa aja, Nov, kumpul-kumpul biasa. Karena kan, sudah lama juga kita enggak kumpul-kumpul,” jawabku.“Kok, kamu kumpul-kumpul enggak ngajakin aku sih, Ta, pelit banget!" jawab Novi kesal.“Bukan pelit, Nov, tadi kita itu mau ngajakin kamu, tapi kamu kan, jalannya duluan sudah gitu kamu jatuh ke comberan masa kita mau teriak-teriak ngajakin kamu," jawabku beralasan.Sebenarnya memang tadi mau ngajakin Novi, tapi karena dia sudah kesal duluan pada kami dan acara kami juga dadakan, jadi ya, terpaksa dia terlewatkan walaupun rumahnya persis di samping rumahku.“Halah, alasan saja kamu itu, Ita, kan, ada HP. Kamu bisa loh telpon aku. Novi ke sini, ya, sebentar kita makan-makan gitu, ah dasar aja, kamu, Ta, pelit," ucap
“Iya, Mbak, aku juga sudah memaafkan. Alhamdulillah kalian mau memaafkanku," ucap Mbak Asih, dia beranjak dari duduknya, menyalami dan memeluk Mbak Fitri dan Mbak Wulan secara bergantian. Mereka pun menangis sesenggukan, ya, Tuhan, ini benar-benar melebihi hari raya Idul Fitri. Kami sungguh-sungguh dalam bermaaf-maafan.“Alhamdulillah kalau kita sudah saling memaafkan semuanya. Berarti malam ini lebih baik makan seruitnya ini kita khususkan untuk menyambut kebahagiaan kita atas hijrahnya Mbak Asih. Kita pimpin doa. Siapa ini yang memimpin doa, Mas Taufik, Mas Dayat atau Mas Danu?” sahut Mamah Atik.“Monggo, silakan Mas Danu atau Mas Dayat, kalau saya enggak bisa baca doa apalagi mendoakan bersama-sama begini, bisanya makan," canda Mas Taufik.“Saya juga jadi jamaah saja, silakan Mas Danu untuk memimpin doa," jawab Mas Danu.“Lah, gimana ini orang-orang di suruh mengimami doa makan tuh paling gampang tinggal baca doa mau makan allahumma bariklana sampai selesai. Ya, sudah baiklah ak
Tiba-tiba Mbak Asih beranjak dari duduknya dan bersujud di kaki ibu, dia menangis sejadi-jadinya sampai tidak terdengar suaranya lagi. Kami semua yang ada di sini menyaksikan adegan ini pun ikut terharu dalam suasana yang begitu menyentuh hati. Ibu mertuaku pun ikut menangis. Beliau tidak mengucapkan satu kata pun kepada Mbak Asih. Beliau hanya mengusap kepala dan bahu Mbak Asih, sesekali tangan kirinya mengusap air matanya. Mas Danu pun terlihat berkali-kali mengusap ke dua matanya. Aku yakin dia pun menahan tangis. Ini baru terjadi sepanjang aku menjadi menantu Ibu. Ini adalah kali pertamanya Mbak Asih sujud di kaki Ibu.Dulu, waktu masih sama Mas Roni, sama sekali tidak pernah sungkem. Lebaran saja hanya salaman biasa lalu pergi dengan Mas Roni ke rumah mertuanya yang lebih menyedihkan lagi adalah sebelum pergi ke rumah mertuanya dia akan membawa berbagai makanan dan meminta uang saku untuk pergi ke sana.Duhai Allah sungguh indah semua rencanaMu pada kami. Ternyata di balik ujia
"Oh, iya, Mas, baik nanti akan aku terapkan itu baca ayat kursi kemarin juga aku sudah di ruqyah kata ustaznya juga gitu hanya saja kemarin aku masih bolong-bolong tidak menerapkan itu, makanya tadi sempat kerasukan walaupun hanya sebentar," jawab Mbak Asih."Syukurlah Asih, aku tuh sebenarnya sebagai tetangga prihatin sekali dengan kamu dan juga ibumu, tapi sekali lagi aku pribadi tidak berani ikut campur masalah keluarga orang lain,” ucap Mas topik lagi.“Assalamualaikum ...." Akhirnya Mama Atik dan ibu mertuaku datang. Wajah ibu mertuaku sudah masam. Aku yakin sekali dia marah dengan Mbak Asih karena tadi sudah menge-prank lagi pergi dari rumah tanpa pamit.“Asih, ih, kamu ke rumah Ita enggak bilng-bilang sama Ibu. Kamu tahu ibu, capek nyariin kamu keliling kampung karena tadi ibu dapat laporan dari Wak Jum, bahwa kamu sedang bertemu dengan Roni di ujung gang sana benar atau tidak?” omel ibu memarahi Mbak Asih.“Iya Bu, betul tadi sore aku ketemu dengan Mas Roni tuh dikasih coklat