Perkataan Bu Susmita meremas hati ibu kandung almarhum Bayu itu. Amarah dan rasa sedihnya bercampur aduk dan berlomba mendominasi perasaan wanita itu. Harga dirinya yang sudah berada di dasar tanah kini semakin tenggelam karena perlakuan manusiawi keluarga Rita. Seperti apa yang dia lakukan terhadap Mala, kini dia merasakan hal yang sama. Bedanya Mala tak benar-benar malang. Dia masih bisa menikmati apa yang seharusnya dia dapatkan. Beda dengan Bu Rahayu, bahkan kehidupannya esok hari dia tak memiliki bayangan apapun. "Anakmu masih kuat. Suruh dia bekerja. Bangunkan dia dari tidur panjangnya. Dunia ini keras, saatnya berdiri menapak di kaki sendiri! Bukan menempel kehidupan orang lain seperti benalu, meski kepada anak sendiri!"***Rosa menatap ibunya dengan wajah pucat. Sedikit banyak dia tahu insiden pengusiran oleh orang tua Rita. Bukan dia tak ingin membela ibunya, hanya saja badannya memang sulit sekali diajak bekerja sama. Entah apa yang terjadi dengan tubuh gadis itu, nyatan
Bu Rahayu menatap nanar ke arah luar jendela kamar yang ditempatinya di rumah orang tua Rita. Tetesan air hujan yang lama-kelamaan menderas itu membawa semilir sejuk ke penjuru ruangan kamar berukuran 3x4 meter tersebut. Ruangan yang jauh lebih kecil dari kamarnya dulu di rumah yang kini sudah dilelang oleh pihak bank. Hawa dingin yang muncul bersamaan dengan tetesan hujan tak mampu meredam hatinya yang memanas akibat kenyataan pahit yang baru saja diketahuinya. Setelah Rosa muntah-muntah dan menunjukkan ciri-ciri wanita hamil, wanita itu memaksa anak kesayangannya untuk melakukan tes kehamilan. Dia yang sudah lama makan asam garam kehidupan tentu sudah paham dengan ciri-ciri wanita yang tengah dititipi ruh di dalam rahimnya. Sayangnya benih yang tertanam di rahim putrinya bukan berasal dari cinta sempurna dari pasangan suami istri yang dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan. Dia ada karena nafsu setan yang menyusup dalam hati dua orang anak manusia yang lupa keberadaan Tuhanny
"Maaf, Bu. Aku hanya tak ingin membuat kedua orang tuaku tertekan dengan keberadaan kalian di sini. Kuharap Ibu mengerti posisiku." Rita meremas kedua tangannya. Antara tak enak dengan mertua yang selama ini menjadi pembelanya dengan orang tua yang selalu diutamakan kebahagiaannya. Bahkan menikahi Bayu pun karena dia ingin kehidupan yang lebih baik untuk mereka berdua. Dia rela hidup menjadi duri dalam kehidupan rumah tangga Bayu dan Mala. "Kau mengusirku setelah berhasil mengelabuhi anakku? Bahkan karena tak sukanya pada Mala aku mendukungmu untuk kembali ke pelukan anakku. Padahal jika mengingat di masa lalu kau dan keluargamu pernah menghancurkan hati anakku bisa saja aku membalas dendam pada kalian. Kau masih ingat bukan, bagaimana kalian menolak Bayu karena dianggap belum mapan secara finansial. Kau tahu, betapa aku menyumpahimu saat itu dan mendoakanmu agar kehidupan rumah tanggamu tak baik-naik saja. Kau akan merasakan sakit yang anakku rasakan. Kau akan merasa bagaimana menj
POV Rita"Rita? Apa yang kau lakukan disini?" Aku tersentak saat mendapati seseorang dari masa laluku tengah berdiri tepat di hadapanku. Laki-laki dengan setelan kantor yang terlihat gagah itu menatapku tak percaya. Aku tersipu dan tertunduk malu saat dia mendapati kondisiku yang bisa dibilang memalukan ini. "Kamu… Kerja disini?" tanyanya lagi. Kulihat satu buah troli di tangannya yang sudah penuh dengan belanjaan. Kutaksir uang yang dia keluarkan pasti bernilai jutaan rupiah. "I… iya, Mas. Sudah dua bulan," jawabku sambil tersenyum agar diriku tak terlihat begitu memalukan. Kulihat kedua alisnya bertaut, menampakkan ekspresi penuh tanya akan kondisiku saat ini. Ya, mungkin saja dia heran dengan apa yang dilihatnya. "Aku harus menyambung hidupku sendiri. Suamiku menceraikanku." Aku menundukkan wajahku sesaat. Entah dimana rasa maluku saat ini setelah kisah menyedihkan yang mungkin menjadi kabar bahagia baginya itu kuceritakan. Aku tak tahu apakah sorot mata keprihatinan itu bena
Aku begitu membencinya. Aku tak rela wanita itu menikmati semuanya. Rasanya dia tak pantas menikmati apa yang Mas Bayu usahakan. Lama-kelamaan aku begitu frontal saat Mas Bayu selalu membawa Mala dalam topik ceritanya. Kilatan matanya yang penuh cinta pada laki-laki itu membuat dadaku menggelegak panas akibat cemburu pada wanita yang merupakan istri sah Mas Bayu. Lucu, tapi begitulah kenyataannya. Aku mulai meminta waktu khusus untukku dari lelaki itu. Aku pun dengan mudahnya memerintahkna lelaki itu tak membawa-bawa Mala saat berada di dekatku. Ajaibnya, lelaki itu menuruti keinginanku. Aku melihat ada celah yang masih terbuka untuk kususupi. Aku yakin masih punya tempat khusus di hati lelaki yang pernah kuhancurkan harga diri dan cintanya. Dia yang bodoh atau aku yang terlalu cerdik memainkan peranku. Nyatanya dia mengungkap cinta yang menurutnya masih tetap sama dengan cintanya yang dulu. Hanya saja dia tak bisa memberikan posisi Mala untuk kumiliki sepenuhnya. Mala tetap menda
POV Mala"Apakah bisa dia tetap disini?" Mas Dion menatapku agak lama. Seketika mata itu seperti tersadar dan segera dialihkan ke sisi lain ruangan ini. "Maksudku, biar nanti aku antar dia kalau sudah bangun. Tak tega sepertinya melihat Kinanti yang terlelap tidur dipaksa bangun." Matanya menatap anakku yang tertidur di ruang tengah rumah Bude Rumi. Aku mengerti, siapapun akan iba anak sekecil Kinan harus kubangunkan untuk pulang. Apalagi naik motor, sementara waktu sudah mendekati magrib. Jika tadi mertuaku tak membuat ulah di sini, tentu Kinan tak sampai tertidur di pangkuan Bude Rumi yang masih terlihat lemah karena sakitnya. Bersikeras membawa Kinan pulang saat ini, sama saja memberi kode laki-laki ini untuk mengantarku pulang. Tidak. Aku tak bisa melakukannya. Aku sadar betul posisiku. "Baiklah. Aku pulang dulu saja. Terima kasih, Mas." Aku menganggukkan kepala pada pria berambut cepak itu. Rasanya tak nyaman berada begitu lama di rumah ini, mengingat bagaimana status kam
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an