POV Rita"Rita? Apa yang kau lakukan disini?" Aku tersentak saat mendapati seseorang dari masa laluku tengah berdiri tepat di hadapanku. Laki-laki dengan setelan kantor yang terlihat gagah itu menatapku tak percaya. Aku tersipu dan tertunduk malu saat dia mendapati kondisiku yang bisa dibilang memalukan ini. "Kamu… Kerja disini?" tanyanya lagi. Kulihat satu buah troli di tangannya yang sudah penuh dengan belanjaan. Kutaksir uang yang dia keluarkan pasti bernilai jutaan rupiah. "I… iya, Mas. Sudah dua bulan," jawabku sambil tersenyum agar diriku tak terlihat begitu memalukan. Kulihat kedua alisnya bertaut, menampakkan ekspresi penuh tanya akan kondisiku saat ini. Ya, mungkin saja dia heran dengan apa yang dilihatnya. "Aku harus menyambung hidupku sendiri. Suamiku menceraikanku." Aku menundukkan wajahku sesaat. Entah dimana rasa maluku saat ini setelah kisah menyedihkan yang mungkin menjadi kabar bahagia baginya itu kuceritakan. Aku tak tahu apakah sorot mata keprihatinan itu bena
Aku begitu membencinya. Aku tak rela wanita itu menikmati semuanya. Rasanya dia tak pantas menikmati apa yang Mas Bayu usahakan. Lama-kelamaan aku begitu frontal saat Mas Bayu selalu membawa Mala dalam topik ceritanya. Kilatan matanya yang penuh cinta pada laki-laki itu membuat dadaku menggelegak panas akibat cemburu pada wanita yang merupakan istri sah Mas Bayu. Lucu, tapi begitulah kenyataannya. Aku mulai meminta waktu khusus untukku dari lelaki itu. Aku pun dengan mudahnya memerintahkna lelaki itu tak membawa-bawa Mala saat berada di dekatku. Ajaibnya, lelaki itu menuruti keinginanku. Aku melihat ada celah yang masih terbuka untuk kususupi. Aku yakin masih punya tempat khusus di hati lelaki yang pernah kuhancurkan harga diri dan cintanya. Dia yang bodoh atau aku yang terlalu cerdik memainkan peranku. Nyatanya dia mengungkap cinta yang menurutnya masih tetap sama dengan cintanya yang dulu. Hanya saja dia tak bisa memberikan posisi Mala untuk kumiliki sepenuhnya. Mala tetap menda
POV Mala"Apakah bisa dia tetap disini?" Mas Dion menatapku agak lama. Seketika mata itu seperti tersadar dan segera dialihkan ke sisi lain ruangan ini. "Maksudku, biar nanti aku antar dia kalau sudah bangun. Tak tega sepertinya melihat Kinanti yang terlelap tidur dipaksa bangun." Matanya menatap anakku yang tertidur di ruang tengah rumah Bude Rumi. Aku mengerti, siapapun akan iba anak sekecil Kinan harus kubangunkan untuk pulang. Apalagi naik motor, sementara waktu sudah mendekati magrib. Jika tadi mertuaku tak membuat ulah di sini, tentu Kinan tak sampai tertidur di pangkuan Bude Rumi yang masih terlihat lemah karena sakitnya. Bersikeras membawa Kinan pulang saat ini, sama saja memberi kode laki-laki ini untuk mengantarku pulang. Tidak. Aku tak bisa melakukannya. Aku sadar betul posisiku. "Baiklah. Aku pulang dulu saja. Terima kasih, Mas." Aku menganggukkan kepala pada pria berambut cepak itu. Rasanya tak nyaman berada begitu lama di rumah ini, mengingat bagaimana status kam
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i
"Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta
Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,