POV MirzaAku mengangguk. Menyetujui saja apapun kata-katanya, karena merasa di pihak yang bersalah.Tak ingin melihat kepergiannya, akupun berbalik dan memejam. Hatiku hancur dalam seketika. Seperti gelas yang sengaja dibanting pada lantai yang keras, lalu hancur berkeping-keping.Mala, kenapa jadi begini, sih!Ponsel dalam saku kemeja berdering tanda pesan.Palingan dari Hesti. Dia makin posesif sekarang. Mungkin pesannya hanya berisi pertanyaan-pertanyaan membosankan.Di mana? Sama siapa? Jam berapa pulang? Jangan lupa, bawa ini, bawa itu!Sudah persis bertanya seperti nyonya pada kacungnya. Penasaran, aku membuka pesannya juga. Mana tau tiba-tiba dia mau lahiran.Ternyata bukan dari Hesti, tapi Mala.Ada apa mengirimkan pesan? Apa terjadi sesuatu dengannya? Atau dia sedang dalam kesulitan. Ada apa dengan aku ini? Kenapa pula jadi perduli?Satu foto masuk dan langsung terpampang bukti transfer bank senilai lima belas juta.Sial! Segini doang?*Segelas kopi kuhabiskan di teras ru
POV MirzaSial memang. Ketika mati-matian melupakan dia, eh malah nongol aja di depan mata. Lebih parahnya lagi, aku seperti kambing ompong yang tak punya omong. Bisu, bahkan mulutku mendadak bungkam.Mala merusak pikiran. Meeting yang kupersiapkan matang-matang jadi sia-sia. Pekerjaanku diambil alih Doni. Presentasi yang seharusnya berjalan singkat, harus diundur beberapa saat. Aku ke toilet tanpa bisa ditahan. Beruntung Doni tau seluk beluk bahan presentasi yang kugarap, sehingga dia maju untuk menggantikan aku.Tidak hanya itu, kehadiran Lian juga sedikit banyak mengganggu. Sedikit-sedikit berbisik-bisik pada Mala, lalu terjadi obrolan yang intens sekali. Panas.Wajahku terasa panas, apalagi dadaku berdebar-debar campur aduk. Antara cemburu, kesal, benci dan rindu yang berbaur jadi satu.Meeting terjeda sejenak. Kami menikmati capuccino bersama sambil membicarakan kerjasama yang sedang berjalan.Sialnya lagi, pandanganku tetap tidak mau berpindah dari sosok paling cantik di sini.M
POV MirzaMinggu sore Zaki bersiap-siap menunggu jemputan. Tadinya berkeinginan mengantarnya langsung ke rumah mama, tapi Mala melarang. Sebab, tidak ada seorang pun di rumah. Keluarga besar Mala sedang liburan.Lama menunggu Mala, Zaki sampai mengeluh karena bosan menunggu.“Mama lama, Pa.” Dia merebahkan kepala pada bantal di depan televisi. Mengeluhkan dengan tatapan tertuju pada kartun pilihannya.Aku memilih tidak menjawab pertanyaannya. Sebab, sudah berulang kali Zaki melontarkan pertanyaan yang sama seperti itu. Pun aku balas dengan jawaban yang sama.“Pa, lama amat!” Dia mulai marah dan menghentak-hentakkan kaki.“Lagi di jalan,” jawabku menghibur. Entah sudah sampai mana Mala. Perasaan bilang sebentar lagi sampai ketika aku telepon.“Dari tadi. Papa bohong!” Dia mulai berteriak.“Eh, bocah! Mama kamu yang bohong. Kan dia yang telat jemputnya.”Tiba-tiba suara Hesti nyaring di belakangmu. Zaki jadi bangun dari posisi tidur. Dia beringsut mendekatiku. Sorot matanya manandakan k
POV Anggi“Dasar sampah! Kalau gak ada duit ya gak usah ngontrak. Sononoh, di bawah jembatan masih ada tempat!” Aku meneriaki satu keluarga yang baru saja meninggalkan kontrakan.Kesal, mengontrak hampir empat bulan tapi gak bayar-bayar.Terpaksa mengusirnya. Gak perduli punya anak bayi. Dia pikir, hidup di kotabesar bisa gratisan. Kemarin-kemarin sudah aku beri kesempatan nyicil, bayarnyapun sedikit-sedikit. Aku merasa seperti tukang kredit.Mereka sudah menjauhi kontrakanku. Satu keluarga, suami,istri dan dia anak balitanya.Haduh, bisa-bisa wajahku cepat keriput kalau selalu marah-marah begini.Aku buru-buru menutup pintu dan mengunci. Saatnya mencari orangbaru untuk menempati. Kalau dibiarkan kosong lama, aku bisa rugi.Mana biaya kuliah Melati mahal. Belum lagi di rumahketambahan Mirza dan istrinya. Pengeluaran makin membengkaknya. Pusing ....*Setelah puas berputar selama satu jam tanpa tujuan,akhirnya mobil kuparkirkan di depan pusat perbelanjaan. Keinginan untuk membeli baju
POV AnggiAku masukkan lagi ponsel dalam tas. Alasan panggilan sebenarnyahanya pengalihan saja. Mendingan kabur dari pada harus bergaya membeli tas di sana.Aku menatap ke lantai atas. Tak tampak sosok mamanya Mala. Syukurlah kalau dia tidak mencariku. Mudah-mudahan begitu. Jadinya, aku tidak merasa malu karena ketauan pergi tanpa pamit.Aku buru-buru keluar, keinginan untuk membeli baju, sirna sudah gara-gara bertemu dengan mamanya Mala. Akhirnya, aku mengubah rencana. Memutuskan pergi dari tempat itu.Pulang saja. Ya, pulang adalah solusi terbaik sebelum aku benar-benar terjebak di situasi sulit ini. Kapan-kapan aku sambangi lagi toko ini. Urusan baju masih bisa terbeli, walaupun dengan membohongi Mirza atau Melati. Tetapi tas itu? Tidak lagi untuk untuk kumiliki, apalagi dengan keuanganku yang sulit seperti ini.Ini gara-gara menantu miskin itu.Menantuku kere. Hesti bisa apa? Bisanya cuma mengadu pada Mirza jika aku berbuat kasar padanya. Lalu, Mirza akan menegurku. Dasar pengadu.
POV ArmalaLian membawakan tiga kotak makanan lengkap dengan minumandingin, jus alpukat tanpa gula. Tangannya yang kekar menyodorkan bungkusan itupadaku, lalu kami melaju kembali setelah memesan nasi kotak di sebuah restoran.Pulang dari kantor, aku sengaja mengajaknya mampir ke rumahku yang sudah terjual. Ada beberapa barang yang belum sempat aku ambil. Satu lukisan dansebuah figura Zaki saat masih bayi.Lusa adalah sidang putusan pengadilan. Aku mau menyelesaikansemua urusan yang berhubungan dengan mas Mirza, termasuk rumah ini.Aku tak mau ketika sudah berpisah, masih ada buntut berselisih. Hubungan kami selesai, berarti tidak ada urusanlagi kecuali masalah Zaki. Begitu mauku.Aku pun sudah mendapatkan tempat yang baru. Sebuah apartemen menjadi pilihan terakhir setelah memilah dan memilih beberapa rumah yang akhirnya gak cocok dengan seleraku.Lian menawarkan apartemen di dekat kantor. Denganbegitu, aku tidak perlu bolak balik dari rumah mama yang jaraknya cukup jauh. Belumlagi aku
“Aku pun bingung. Di dalam pikiran Tante Anggi, Mala selalu saja salah, gak ada benarnya. Mungkin Tante perlu diruqiyah dulu biar bisa memandangi dari kacamata positif.” “Eh, kurang ajar!” Ibu tersinggung dengan ucapan Lian. “Sudahlah. Percuma juga dijelaskan.” Aku menutup jendela yangmasih terbuka, berniat segera pergi saja. “Akan aku panggil warga supaya menggiring kalian ke rumah pakRT.” “Ibu apa-apa sih!” “Kita pergi sekarang. Aku malas berdebat.” Lian memutar tubuh,lalu meninggalkan percekcokan sengit di ruangan ini. “Hai, Lian. Jangan kabur!” teriak ibu. “Ibu mau ngapain? Mau memfitnah kami? Iya silahkan. Lian jarangberinteraksi langsung dengan pembuat keonaran lo Bu. Dia bakal mengubungi pengacaranya kalau ketenangannya terusik.” “Pengecut namanya kalau seperti itu,” protes ibu. “Lihat ya? Akan aku viralkan perbuatan kalian!” Ibu menjauh, kemudian pergi. “Mau ke mana, Bu?” tanya Lian sambil mengulum senyum. Ibu melengossaja melewatinya yang duduk di kursi teras. “Mau
POV ArmalaTerkadang hidup sangat melelahkan. Melalui fase demi fase kehidupan yang membosankan. Begitu-begitu saja sampai kepenatan membekukan hati.Bekerja, pulang, dan mengurus Zaki sudah menjadi keseharianku setiap hari. Membekas meninggalkan kebiasaan baru. Kalau dulu akan ada mas Mirza sebagai obat dari kepenatan, sekarang malah sebaliknya. Kehadiran mas Mirza beberapa hari terakhir malah membuatku jengah. Sangat membosankan.Haruskah pergi ke suatu tempat di mana tak ada dirinya? Atau resign saja supaya bisa terbebas dari pikiran tentang dia? Tapi rasanya bukan ide yang bagus. Sebab, dari pekerjaan inilah sumber penghidupanku untuk Zaki. Kalau aku design, berarti aku kalah. Kalah melawan perasaanku sendiri. “Kenapa?”Tiba-tiba Lian sudah duduk di belakang meja. Sejak kapan diamasuk? Karena kepergok tengah melamun, aku berpura-pura membenahi map di meja.“Pake pura-pura. Begini ini, kelakuan kalau kepergok memikirkan sesuatu yang gampang ditebak!”“Apaan sih! Gak jelas.”Aku me
Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“
“Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan
“Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor
Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an
“Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel
Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb
“Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra
“Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi