Setelah membulatkan tekad, rencana Rei pun matang untuk menikahi Clara. Pelan-pelan Rei mulai mencoba membuka diri untuk menerima perempuan yang nantinya akan dia sebut sebagai istri. Kesadaran yang datang padanya bahwa sepanjang sisa hidupnya akan dia habiskan bersama perempuan itu membuatnya mulai mengikhlaskan apa saja yang sudah dia alami dan terjadi dalam hidupnya. Mungkin dia memang akan membuka diri, tapi bukan hatinya.“Rei, aku sudah hunting WO yang bagus, teman-teman aku juga memberikan beberapa rekomendasi, tapi aku masih bingung harus pilih yang mana.” Clara menunjukkan beberapa buah brosur pada Rei dan meletakkannya di atas meja.“Terserah kamu saja, Cla. Kamu pasti tahu yang terbaik.” Rei menjawab tanpa memandang pada brosur-brosur itu, bahkan melirik pun tidak. Komputer lipat di hadapannya lebih menyita perhatiannya. Di layar terbuka di hadapannya, tertampil sederet angka-angka yang merujuk pada laporan penjualan Cena Romantica bulan ini.“Rei, ayolah, tinggalkan itu du
Sore itu Anne pulang dengan langkah lesu. Tidak hanya langkahnya, tapi juga mukanya. Setelah bertemu dengan Rei serta Clara tadi, hati dan perasaannya kacau balau. Bagaikan dirinyalah yang berada di posisi Flo. Sepanjang perjalanan pulang, Anne terus digerogoti keraguan. Akan menyampaikan pada Flo atau tetap menyimpannya sendiri. Semua pasti ada konsekuensinya.“Hai, An, sudah pulang?” tegur Flo yang sedang memandikan baby Noah.“Iya,” sahut Anne lesu dan ikut memerhatikan kakaknya itu memandikan anaknya.“Kamu kenapa lesu begitu? Sedang ada masalah?” Flo memindahkan mata pada Anne yang terdengar dan terlihat lemas.Anne diam saja. Kebimbangan masih meliputinya. Antara ingin mengatakan atau tetap menyimpannya di dalam hati.Gadis itu kemudian membiarkan Flo menyelesaikan pekerjaannya memandikan baby Noah dan membawa ke kamar.Flo berpikir sendiri di dalam hati kenapa Anne mengikutinya. Lagi pula tidak biasanya adiknya itu pulang secepat ini. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi.“An,
Rei terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran dari dahi dan bagian tubuh lainnya. Hampir seluruh badannya basah.‘Astaga, mimpi itu lagi,’ gumamnya pelan. Rei mengatur napas dan menetralisir perasaannya. Pelan-pelan dia merangkai kejadian demi kejadian yang dialaminya dalam mimpi tadi. Ini adalah ketiga kalinya dalam tiga hari berturut-turut dia memimpikan hal yang sama.Di dalam mimpinya Rei mendatangi rumah di pinggir kota lalu berhenti di depannya. Dia kembali mendengar tangisan bayi yang menyayat hati dan membuat batinnya perih. Rei tidak tahu siapa pemilik rumah itu, siapa yang tinggal di sana dan anak siapa bayi itu. Tapi seperti ada yang memanggilnya untuk datang ke sana.Menjangkau handphone di atas nakas, Rei melihat penunjuk waktu digital di layar gawai. Jam dua tengah malam. Beberapa hari belakangan Rei selalu terbangun setiap jam segini. Dan setelah itu biasanya dia tidak akan bisa memejamkan mata.Menyingkap selimut, Rei beranjak dari tempa
Angin berembus membuat daun-daun cemara yang tumbuh di sepanjang North Park bergoyang-goyang. Dari sela dedaunan, seekor burung mencicit riang, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang dialami sepasang anak manusia yang hari ini akan menyatukan hati dan diri dalam ikatan yang suci dan sakral.Rei bertahan di tempatnya berdiri, ditemani oleh Marthin—tangan kanan yang dia percayai mengelola restorannya. Butuh waktu bagi Rei untuk menenangkan diri pada menit-menit terakhir pernikahannya dengan Clara.Para tamu undangan dalam jumlah terbatas sudah hadir sejak tadi. Mereka sudah tidak sabar ingin menyaksikan prosesi pernikahan sang duda tampan serta gadis muda yang menjadi primadona.“Rei, sampai kapan akan berdiri di sini?” tanya Marthin karena Rei terus membatu seperti patung yang ditinggalkan pemahatnya. Tangan Marthin menepuk pundak Rei seperti seorang bapak pada anaknya.Rei mengembuskan napas keras lalu menatap Marthin dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.“Jangan gugup, Rei, bukank
Rei tahu, setelah kekacauan yang dia timbulkan dia tidak mungkin pulang ke rumah. Orang-orang pasti mencarinya ke sana. Tidak mungkin mereka akan diam saja. Rei tidak tahu ke mana akan pergi. Yang dilakukannya terus mengendara sejauh mungkin.“Pa, kita mau ke mana?” tanya Lala karena memasuki jalan yang belum pernah mereka lalui sebelumnya.Rei menoleh ke arah Lala. Dia menggaruk leher belakang, kebingungan. “Kita ke penginapan saja ya,” putusnya kemudian.“Kenapa ke penginapan, Pa? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya Lala kebingungan. Begitu banyak hal yang ingin diketahui dan memenuhi kepalanya.Rei berdehem. Dia tidak mungkin menyembunyikan penyebab yang sebenarnya dari Lala yang kritis karena pasti akan terus bertanya. Anak itu tidak akan berhenti sebelum merasa puas.“Nanti kita bicara kalau sudah tiba di sana.” Rei menjawab sembari mengusap kepala Lala dengan sebelah tangan.Rei pikir tidak akan efektif jika membicarakan hal sekrusial ini setengah-setengah. Dia butuh waktu sert
Flo baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk ketika pintu kamarnya digedor dengan keras. Bahkan nyaris saja membangunkan baby Noah yang baru saja tertidur beberapa saat yang lalu. “Ada apa, An? Kamu hampir saja membangunkan Noah,” ujar Flo saat membuka pintu dan melihat Anne berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dia baca.Anne berdiri mematung dengan wajah pucat seperti baru saja melihat mayat. Tidak pernah Flo melihat ekspresi wajah Anne seperti itu sebelumnya.“An, ada apa?” tanya Flo penasaran sekaligus panik karena tidak biasanya Anne bertingkah seperti itu. “bukankah seharusnya kamu berada di lokasi pernikahan Rei? Bagaimana acaranya? Lancar? Mereka pasti bahagia. Iya kan? Aku sudah tahu, jadi kamu tidak perlu menceritakannya lagi,” cerocos Flo tanpa henti.Anne yang berdiri di depan pintu menerobos masuk melewati Flo. “Pakai bajumu dulu, Flo,” ujarnya melihat Flo yang masih menggunakan handuk.Flo berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil sembara
Turun dari mobil, Rei tidak sabar menunggu sebuah truk yang akan melintas. Selama beberapa detik pandangannya terhalang. Begitu truk tersebut berhasil melewatinya, Rei melangkah cepat menyeberangi jalan. Dia sudah tidak tahan ingin segera sampai ke rumah itu.Sesaat Rei berdiri di depan pagar yang tidak terkunci. Dia merasa ragu untuk masuk. Memangnya ini rumah siapa? Apa yang harus dilakukan dan dikatakannya nanti pada orang itu?‘Aku tidak akan pernah tahu jawabannya kalau tidak mencari tahu,’ bisik suara kecil di dalam hatinya. Hal itu yang mendorong Rei dan membulatkan tekad untuk menggerakkan kaki.Pagar berwarna hitam itu tidak menimbulkan suara atau decitan apapun saat Rei membukanya sehingga perempuan yang sedang duduk menunduk itu pun tidak menyadari kedatangannya.Langkah Rei yang terayun pelan dan tanpa suara kian menjadikan semua semakin sempurna. Perempuan itu masih belum mengetahui ketika Rei sudah berdiri tidak lebih dari semeter dengannya. Dia menunduk sambil memandang
‘’Anak kita?” Kerutan dalam tercipta di dahi Rei. Dia tidak mengerti anak bagaimana yang dimaksudkan Flo. “Iya, Rei, Noah anak kita.” Flo mengulang kata-katanya dengan suara yang terdengar lebih tegas. Rei semakin kebingungan karena informasi yang didapatnya setengah-setengah. Matanya menatap Flo dan bayi laki-laki itu secara bergantian.“Flo, bagaimana maksudnya? Aku tidak mengerti. Tolong terangkan dengan jelas.”Wajah Flo berubah pucat. Tiba-tiba dia merasa takut kalau saja Rei akan mengingkari darah dagingnya sendiri. Bukan tidak mungkin. Mereka berpisah hampir setahun. Dalam rentang waktu segitu banyak hal bisa terjadi. Bisa jadi Rei akan menuduh Noah adalah anak hasil hubungan dengan lelaki lain.“Flo bisa jelaskan padaku mengenai ini semua?” Rei mengulang kata-katanya. Kesabaran yang dia milki sedikit lagi mencapai ambangnya. Bukan karena marah atau emosi, tapi karena rasa penasarannya akan jati diri bayi mungil itu. Tadi Flo mengatakan ‘anak kita.’ Itu artinya anaknya dan F
“Ayo Noah, kejar bolanya!” seru Rei pada Noah yang berlari kecil ke sana kemari mengejar bola berwarna pelangi yang ditendang Rei ke arahnya.Anak itu lantas berlari menuju arah bola yang terus mempermainkannya. Kadang dia terjatuh karena terlalu kencang atau tersandung akibat tidak hati-hati.Sebagai anak laki-laki bermain bola adalah salah satu permainan yang disukai Noah. Apalagi jika melakukannya bersama Rei. Noah sangat dekat dengan papanya itu dibandingkan dengan Flo. Selain itu Noah semakin menunjukkan kemiripannya dengan Rei yang tentu saja membuat Rei bangga. Like father like son adalah ungkapan yang tepat untuk mereka berdua.“Adek, ayo sini dek!” Lala yang ikut bermain meminta Noah untuk menendang bola ke arahnya.Noah mengayun kaki mungilnya mengikuti bola dan menendang dengan tenaga anak-anak ke arah Lala.“Yippiii, goool…! Adek hebat!” sorak Lala kegirangan.Rei yang sekarang sudah duduk bersama Flo di kursi beranda tersenyum bersama melihat keceriaan anak mereka. Keduan
“Morning, Love!” sapa Rei pagi itu sambil mengecup kening Flo.Flo tersenyum kecil. “Sarapannya sudah siap,” ujarnya sembari menghidangkan lasagna di atas meja.“Kelihatannya enak.” Rei mencomot dan memasukkan ke dalam mulutnya.“Rei, Noah sudah bangun?” tanya Flo. Tadi Flo bangun lebih awal saat semuanya masih meringkuk di bawah selimut. “Belum. Nanti kalau dia sudah bangun biar aku yang memandikannya.“Memangnya kamu bisa?”“Tentu saja bisa. Dulu waktu Lala masih bayi aku yang mengurus dengan tanganku sendiri walaupun saat itu ada pembantu.”“Okay, kalau begitu biar aku bangunkan Lala dulu. Hari ini dia ada jadwal fisioterapi kan?”“Flo, tunggu sebentar, ada yang ingin kubicarakan.” Rei menahan istrinya yang berniat beranjak.“Ya? Mau bicara apa? Bukankah dari tadi kita sudah bicara?”“Duduklah dulu!” Rei meminta Flo duduk di kursi ruang makan sama sepertinya. Mendudukkan diri, Flo menatap muka Rei lekat-lekat. Mencoba menerka-nerka apa yang akan disampaikan suaminya.“Flo, hari
Malam itu juga Rei membawa istri dan anak-anaknya pulang ke rumah. Pemilik penginapan terheran-heran karena mereka tidak jadi menginap di sana. Di dalam mobil mereka tidak terlalu banyak berbicara. Selain merasa lelah, juga merasa asing karena baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah. Mungkin mereka harus beradaptasi lagi untuk saling mengenal diri masing-masing.“Welcome back, Love!” ujar Rei pada Flo sambil membuka pintu rumah dan menyuruhnya masuk.Flo tersenyum tipis. Matanya mengitari setiap sudut rumah yang selama berbulan-bulan ini dia tinggalkan. Tidak ada yang berubah. Semua sama. Furnitur dan interiornya masih yang dulu, seperti terakhir dia tinggalkan malam itu.Setelah mengantar Lala masuk ke kamarnya dan menyuruh beristirahat, Rei kemudian masuk ke kamarnya sendiri. “Tunggu sebentar, aku akan ganti bed covernya dulu.”Rei mengambil bed cover yang bersih dari dalam lemari dan mengganti lalu memasangnya ke kasur. “Letakkan dia, Flo, aku tidak sabar ingin tidur deng
Mereka masih di dalam perjalanan menuju penginapan ketika Flo teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga saat ini. Ditolehkannya kepala pada Rei yang sedang menyetir. “Rei, boleh aku bertanya sesuatu?” “Ya, ada apa, Flo? Tanya saja.”“Rei, kenapa kamu menikah dengan Clara dan kenapa membatalkannya?”Usapan tangan Rei di pundak Flo semakin terasa. Masih banyak yang belum dia ceritakan pada istrinya itu. Rei menyadari dia harus memberitahu semuanya pada Flo.“Flo, nanti kamu akan tahu sendiri alasannya.”“Tidak bisa katakan sekarang saja?”“Nanti saja ya, aku khawatir tidak akan konsentrasi menyetir.”“Oh, okay!”Flo terheran-heran saat melihat penginapan tempat Rei dan Lala menginap. Kecil, biasa dan jauh dari kesan mewah. Flo tidak mengerti kenapa Rei memilih tempat ini. Kenapa bukan hotel yang besar saja? Atau minimal tempat yang layak dan identik dengan image seorang Rei.Rei membuka pintu mobil untuk Flo dan mengajaknya turun. Tangannya kemudian melekat di pinggang Flo,
‘’Anak kita?” Kerutan dalam tercipta di dahi Rei. Dia tidak mengerti anak bagaimana yang dimaksudkan Flo. “Iya, Rei, Noah anak kita.” Flo mengulang kata-katanya dengan suara yang terdengar lebih tegas. Rei semakin kebingungan karena informasi yang didapatnya setengah-setengah. Matanya menatap Flo dan bayi laki-laki itu secara bergantian.“Flo, bagaimana maksudnya? Aku tidak mengerti. Tolong terangkan dengan jelas.”Wajah Flo berubah pucat. Tiba-tiba dia merasa takut kalau saja Rei akan mengingkari darah dagingnya sendiri. Bukan tidak mungkin. Mereka berpisah hampir setahun. Dalam rentang waktu segitu banyak hal bisa terjadi. Bisa jadi Rei akan menuduh Noah adalah anak hasil hubungan dengan lelaki lain.“Flo bisa jelaskan padaku mengenai ini semua?” Rei mengulang kata-katanya. Kesabaran yang dia milki sedikit lagi mencapai ambangnya. Bukan karena marah atau emosi, tapi karena rasa penasarannya akan jati diri bayi mungil itu. Tadi Flo mengatakan ‘anak kita.’ Itu artinya anaknya dan F
Turun dari mobil, Rei tidak sabar menunggu sebuah truk yang akan melintas. Selama beberapa detik pandangannya terhalang. Begitu truk tersebut berhasil melewatinya, Rei melangkah cepat menyeberangi jalan. Dia sudah tidak tahan ingin segera sampai ke rumah itu.Sesaat Rei berdiri di depan pagar yang tidak terkunci. Dia merasa ragu untuk masuk. Memangnya ini rumah siapa? Apa yang harus dilakukan dan dikatakannya nanti pada orang itu?‘Aku tidak akan pernah tahu jawabannya kalau tidak mencari tahu,’ bisik suara kecil di dalam hatinya. Hal itu yang mendorong Rei dan membulatkan tekad untuk menggerakkan kaki.Pagar berwarna hitam itu tidak menimbulkan suara atau decitan apapun saat Rei membukanya sehingga perempuan yang sedang duduk menunduk itu pun tidak menyadari kedatangannya.Langkah Rei yang terayun pelan dan tanpa suara kian menjadikan semua semakin sempurna. Perempuan itu masih belum mengetahui ketika Rei sudah berdiri tidak lebih dari semeter dengannya. Dia menunduk sambil memandang
Flo baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk ketika pintu kamarnya digedor dengan keras. Bahkan nyaris saja membangunkan baby Noah yang baru saja tertidur beberapa saat yang lalu. “Ada apa, An? Kamu hampir saja membangunkan Noah,” ujar Flo saat membuka pintu dan melihat Anne berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dia baca.Anne berdiri mematung dengan wajah pucat seperti baru saja melihat mayat. Tidak pernah Flo melihat ekspresi wajah Anne seperti itu sebelumnya.“An, ada apa?” tanya Flo penasaran sekaligus panik karena tidak biasanya Anne bertingkah seperti itu. “bukankah seharusnya kamu berada di lokasi pernikahan Rei? Bagaimana acaranya? Lancar? Mereka pasti bahagia. Iya kan? Aku sudah tahu, jadi kamu tidak perlu menceritakannya lagi,” cerocos Flo tanpa henti.Anne yang berdiri di depan pintu menerobos masuk melewati Flo. “Pakai bajumu dulu, Flo,” ujarnya melihat Flo yang masih menggunakan handuk.Flo berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil sembara
Rei tahu, setelah kekacauan yang dia timbulkan dia tidak mungkin pulang ke rumah. Orang-orang pasti mencarinya ke sana. Tidak mungkin mereka akan diam saja. Rei tidak tahu ke mana akan pergi. Yang dilakukannya terus mengendara sejauh mungkin.“Pa, kita mau ke mana?” tanya Lala karena memasuki jalan yang belum pernah mereka lalui sebelumnya.Rei menoleh ke arah Lala. Dia menggaruk leher belakang, kebingungan. “Kita ke penginapan saja ya,” putusnya kemudian.“Kenapa ke penginapan, Pa? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya Lala kebingungan. Begitu banyak hal yang ingin diketahui dan memenuhi kepalanya.Rei berdehem. Dia tidak mungkin menyembunyikan penyebab yang sebenarnya dari Lala yang kritis karena pasti akan terus bertanya. Anak itu tidak akan berhenti sebelum merasa puas.“Nanti kita bicara kalau sudah tiba di sana.” Rei menjawab sembari mengusap kepala Lala dengan sebelah tangan.Rei pikir tidak akan efektif jika membicarakan hal sekrusial ini setengah-setengah. Dia butuh waktu sert
Angin berembus membuat daun-daun cemara yang tumbuh di sepanjang North Park bergoyang-goyang. Dari sela dedaunan, seekor burung mencicit riang, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang dialami sepasang anak manusia yang hari ini akan menyatukan hati dan diri dalam ikatan yang suci dan sakral.Rei bertahan di tempatnya berdiri, ditemani oleh Marthin—tangan kanan yang dia percayai mengelola restorannya. Butuh waktu bagi Rei untuk menenangkan diri pada menit-menit terakhir pernikahannya dengan Clara.Para tamu undangan dalam jumlah terbatas sudah hadir sejak tadi. Mereka sudah tidak sabar ingin menyaksikan prosesi pernikahan sang duda tampan serta gadis muda yang menjadi primadona.“Rei, sampai kapan akan berdiri di sini?” tanya Marthin karena Rei terus membatu seperti patung yang ditinggalkan pemahatnya. Tangan Marthin menepuk pundak Rei seperti seorang bapak pada anaknya.Rei mengembuskan napas keras lalu menatap Marthin dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.“Jangan gugup, Rei, bukank