Rei tahu, setelah kekacauan yang dia timbulkan dia tidak mungkin pulang ke rumah. Orang-orang pasti mencarinya ke sana. Tidak mungkin mereka akan diam saja. Rei tidak tahu ke mana akan pergi. Yang dilakukannya terus mengendara sejauh mungkin.“Pa, kita mau ke mana?” tanya Lala karena memasuki jalan yang belum pernah mereka lalui sebelumnya.Rei menoleh ke arah Lala. Dia menggaruk leher belakang, kebingungan. “Kita ke penginapan saja ya,” putusnya kemudian.“Kenapa ke penginapan, Pa? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya Lala kebingungan. Begitu banyak hal yang ingin diketahui dan memenuhi kepalanya.Rei berdehem. Dia tidak mungkin menyembunyikan penyebab yang sebenarnya dari Lala yang kritis karena pasti akan terus bertanya. Anak itu tidak akan berhenti sebelum merasa puas.“Nanti kita bicara kalau sudah tiba di sana.” Rei menjawab sembari mengusap kepala Lala dengan sebelah tangan.Rei pikir tidak akan efektif jika membicarakan hal sekrusial ini setengah-setengah. Dia butuh waktu sert
Flo baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk ketika pintu kamarnya digedor dengan keras. Bahkan nyaris saja membangunkan baby Noah yang baru saja tertidur beberapa saat yang lalu. “Ada apa, An? Kamu hampir saja membangunkan Noah,” ujar Flo saat membuka pintu dan melihat Anne berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dia baca.Anne berdiri mematung dengan wajah pucat seperti baru saja melihat mayat. Tidak pernah Flo melihat ekspresi wajah Anne seperti itu sebelumnya.“An, ada apa?” tanya Flo penasaran sekaligus panik karena tidak biasanya Anne bertingkah seperti itu. “bukankah seharusnya kamu berada di lokasi pernikahan Rei? Bagaimana acaranya? Lancar? Mereka pasti bahagia. Iya kan? Aku sudah tahu, jadi kamu tidak perlu menceritakannya lagi,” cerocos Flo tanpa henti.Anne yang berdiri di depan pintu menerobos masuk melewati Flo. “Pakai bajumu dulu, Flo,” ujarnya melihat Flo yang masih menggunakan handuk.Flo berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil sembara
Turun dari mobil, Rei tidak sabar menunggu sebuah truk yang akan melintas. Selama beberapa detik pandangannya terhalang. Begitu truk tersebut berhasil melewatinya, Rei melangkah cepat menyeberangi jalan. Dia sudah tidak tahan ingin segera sampai ke rumah itu.Sesaat Rei berdiri di depan pagar yang tidak terkunci. Dia merasa ragu untuk masuk. Memangnya ini rumah siapa? Apa yang harus dilakukan dan dikatakannya nanti pada orang itu?‘Aku tidak akan pernah tahu jawabannya kalau tidak mencari tahu,’ bisik suara kecil di dalam hatinya. Hal itu yang mendorong Rei dan membulatkan tekad untuk menggerakkan kaki.Pagar berwarna hitam itu tidak menimbulkan suara atau decitan apapun saat Rei membukanya sehingga perempuan yang sedang duduk menunduk itu pun tidak menyadari kedatangannya.Langkah Rei yang terayun pelan dan tanpa suara kian menjadikan semua semakin sempurna. Perempuan itu masih belum mengetahui ketika Rei sudah berdiri tidak lebih dari semeter dengannya. Dia menunduk sambil memandang
‘’Anak kita?” Kerutan dalam tercipta di dahi Rei. Dia tidak mengerti anak bagaimana yang dimaksudkan Flo. “Iya, Rei, Noah anak kita.” Flo mengulang kata-katanya dengan suara yang terdengar lebih tegas. Rei semakin kebingungan karena informasi yang didapatnya setengah-setengah. Matanya menatap Flo dan bayi laki-laki itu secara bergantian.“Flo, bagaimana maksudnya? Aku tidak mengerti. Tolong terangkan dengan jelas.”Wajah Flo berubah pucat. Tiba-tiba dia merasa takut kalau saja Rei akan mengingkari darah dagingnya sendiri. Bukan tidak mungkin. Mereka berpisah hampir setahun. Dalam rentang waktu segitu banyak hal bisa terjadi. Bisa jadi Rei akan menuduh Noah adalah anak hasil hubungan dengan lelaki lain.“Flo bisa jelaskan padaku mengenai ini semua?” Rei mengulang kata-katanya. Kesabaran yang dia milki sedikit lagi mencapai ambangnya. Bukan karena marah atau emosi, tapi karena rasa penasarannya akan jati diri bayi mungil itu. Tadi Flo mengatakan ‘anak kita.’ Itu artinya anaknya dan F
Mereka masih di dalam perjalanan menuju penginapan ketika Flo teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga saat ini. Ditolehkannya kepala pada Rei yang sedang menyetir. “Rei, boleh aku bertanya sesuatu?” “Ya, ada apa, Flo? Tanya saja.”“Rei, kenapa kamu menikah dengan Clara dan kenapa membatalkannya?”Usapan tangan Rei di pundak Flo semakin terasa. Masih banyak yang belum dia ceritakan pada istrinya itu. Rei menyadari dia harus memberitahu semuanya pada Flo.“Flo, nanti kamu akan tahu sendiri alasannya.”“Tidak bisa katakan sekarang saja?”“Nanti saja ya, aku khawatir tidak akan konsentrasi menyetir.”“Oh, okay!”Flo terheran-heran saat melihat penginapan tempat Rei dan Lala menginap. Kecil, biasa dan jauh dari kesan mewah. Flo tidak mengerti kenapa Rei memilih tempat ini. Kenapa bukan hotel yang besar saja? Atau minimal tempat yang layak dan identik dengan image seorang Rei.Rei membuka pintu mobil untuk Flo dan mengajaknya turun. Tangannya kemudian melekat di pinggang Flo,
Malam itu juga Rei membawa istri dan anak-anaknya pulang ke rumah. Pemilik penginapan terheran-heran karena mereka tidak jadi menginap di sana. Di dalam mobil mereka tidak terlalu banyak berbicara. Selain merasa lelah, juga merasa asing karena baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah. Mungkin mereka harus beradaptasi lagi untuk saling mengenal diri masing-masing.“Welcome back, Love!” ujar Rei pada Flo sambil membuka pintu rumah dan menyuruhnya masuk.Flo tersenyum tipis. Matanya mengitari setiap sudut rumah yang selama berbulan-bulan ini dia tinggalkan. Tidak ada yang berubah. Semua sama. Furnitur dan interiornya masih yang dulu, seperti terakhir dia tinggalkan malam itu.Setelah mengantar Lala masuk ke kamarnya dan menyuruh beristirahat, Rei kemudian masuk ke kamarnya sendiri. “Tunggu sebentar, aku akan ganti bed covernya dulu.”Rei mengambil bed cover yang bersih dari dalam lemari dan mengganti lalu memasangnya ke kasur. “Letakkan dia, Flo, aku tidak sabar ingin tidur deng
“Morning, Love!” sapa Rei pagi itu sambil mengecup kening Flo.Flo tersenyum kecil. “Sarapannya sudah siap,” ujarnya sembari menghidangkan lasagna di atas meja.“Kelihatannya enak.” Rei mencomot dan memasukkan ke dalam mulutnya.“Rei, Noah sudah bangun?” tanya Flo. Tadi Flo bangun lebih awal saat semuanya masih meringkuk di bawah selimut. “Belum. Nanti kalau dia sudah bangun biar aku yang memandikannya.“Memangnya kamu bisa?”“Tentu saja bisa. Dulu waktu Lala masih bayi aku yang mengurus dengan tanganku sendiri walaupun saat itu ada pembantu.”“Okay, kalau begitu biar aku bangunkan Lala dulu. Hari ini dia ada jadwal fisioterapi kan?”“Flo, tunggu sebentar, ada yang ingin kubicarakan.” Rei menahan istrinya yang berniat beranjak.“Ya? Mau bicara apa? Bukankah dari tadi kita sudah bicara?”“Duduklah dulu!” Rei meminta Flo duduk di kursi ruang makan sama sepertinya. Mendudukkan diri, Flo menatap muka Rei lekat-lekat. Mencoba menerka-nerka apa yang akan disampaikan suaminya.“Flo, hari
“Ayo Noah, kejar bolanya!” seru Rei pada Noah yang berlari kecil ke sana kemari mengejar bola berwarna pelangi yang ditendang Rei ke arahnya.Anak itu lantas berlari menuju arah bola yang terus mempermainkannya. Kadang dia terjatuh karena terlalu kencang atau tersandung akibat tidak hati-hati.Sebagai anak laki-laki bermain bola adalah salah satu permainan yang disukai Noah. Apalagi jika melakukannya bersama Rei. Noah sangat dekat dengan papanya itu dibandingkan dengan Flo. Selain itu Noah semakin menunjukkan kemiripannya dengan Rei yang tentu saja membuat Rei bangga. Like father like son adalah ungkapan yang tepat untuk mereka berdua.“Adek, ayo sini dek!” Lala yang ikut bermain meminta Noah untuk menendang bola ke arahnya.Noah mengayun kaki mungilnya mengikuti bola dan menendang dengan tenaga anak-anak ke arah Lala.“Yippiii, goool…! Adek hebat!” sorak Lala kegirangan.Rei yang sekarang sudah duduk bersama Flo di kursi beranda tersenyum bersama melihat keceriaan anak mereka. Keduan
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa