Beranda / Romansa / Wanita Yang Melamar Suamiku / Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar

Share

Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-26 07:08:24

Bab 2. Suamiku Dilamar Mantan Pacar

“Enggak bisa! Kamu itu, ya, baru segini saja gaji suami sudah bertingkah! Sejak Sigit nikahi kamu hidup anakku jadi sial! Kamu  pembawa sial! Noh, anak-anakmu semua bawa sial! Sebelum menikahi kamu, Sigit itu sukses! Calon manager! Banyak perempuan yang tergila-gila sama dia!  Bodohnya Sigit malah milih kamu yang hanya seorang pelayan restoran! Lihat hidupnya sekarang! Melarat!” maki Ibu menunjuk wajahku.

Betapa aku ingin menangis sejadinya saat ini. Sakit sekali hatiku. Saat Mas Sigit menganggur karena belum dapat kerja setelah di PHK, aku masih bisa terima perlakuan mereka  karena nyatanya kami memang hanya menumpang hidup di sini.

Kukira, setelah Mas Sigit bekerja meski dengan gaji yang tak seberapa, ibu tak akan menghinaku lagi. Nyatanya tetap saja  tak berubah.  Sepertinya, rasa benci di hatinya padaku sudah mendarah daging. Tak akan pernah berubah menjadi kasih, meski Mas Sigit mendapat gaji miliran sekalipun. Baik, aku kini sadar seperti apa posisiku. Jangan harap aku akan menyerah!

“Maaf, Bu! Tolong jangan bilang anak-anakku bawa sial! Mereka darah daging Mas Sigit, cucu Ibu!” sergahku mendongah, menatap tepat di bola mata perempuan itu. Untuk pertama kalinya, aku berani menatap tepat di bola mata wanita paruh baya itu.

“Kamu? Kamu berani bicara kasar sama ibu?” sergahnya dengan mata membola. Badannya yang besar di perut itu dia tegakkan. Seolah bersiap menghajarku bila masih menantang. Tapi, aku tak takut.

“Saya enggak bermaksud kasar sama Ibu. Saya bicara yang sebenarnya. Tolong ibu jangan lupa kalau Nada, Rara dan Bima adalah cucu ibu juga! Dia lahir ke dunia ini karena Mas Sigit, anak Ibuk! Bukan hasil hubungan gelap saya dengan pria lain! Dan satu lagi, tidak ada seorang anakpun yang  dilahirkan ke dunia  ini dengan membawa sial kepada keluarganya! Apalagi kepada neneknya!” ucapku panjang lebar.

“Gak usah punya cucu kalau cuma nyusahin hidup anakku! Ngapain kau ngelahirin anak-anak yang  cuma bisa bawa sial! Kau buat hidup anakku makin susah saja dengan beban sial itu! Sekarang malah nyusahin aku juga! Aku ini udah tua! Malah kau nambahi beban hidupku! Stres aku kau  buat, Bening …!” teriaknya semakin kaget melihat reaksiku.

“Cukup Bening! Berhenti melawan Ibu!”  teriak kedua kakak iparku   tiba-tiba datang dari ruang depan. “Jangan sampai  ibu kenapa-napa karena kamu, ya!” ancam Mbak Ambar menunjuk tepat di wajahku.

“Aku enggak ngelawan, Mbak! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya!” balasku  sembari menangkap ujung jarinya yang menunjuk wajahku. Kuremas, lalu kuturunkan dengan kasar. Sungguh aku tak mau mengalah lagi seperti biasanya.

“Aaauww …! Kamu!” teriaknya kesakitan.

Kulepas cengkraman tanganku. Mungkin jemarinya agak tertusuk oleh kukuku. Atau dia merasa sakit karena kasarnya telapak tanganku.

“Bening! Kamu makin ngelunjak, ya!” Mbak Sekar ikut membentakku.

“Gara-gara perempuan kampung ini! Rumah ini terasa panas! Aku gak betah kalau begini!” Ibu mertuaku histeris.

“Sabar, dong, Bu! Jangan  emosi  lagi!! Jangan sampai gara-gara Bening dan anak-anaknya numpang di sini, Ibu jatuh  sakit pula! Ingat kami, anak dan cucu Ibu yang lain masih banyak! Jangan sampai kami kehilangan Ibu gara-gara mereka!” Mbak Sekar menenangkan perempuan yang tiba-tiba lemas itu. Entah lemas beneran atau pura-pura, aku tak percaya lagi. Mereka memapah ibu ke ruang depan.

“Sabar, Ning! Maafkan sikap Ibu! Tidak apa-apa Ibu yang pegang gajiku! Toh kamu dan anak-anak tidak kelaparan di rumah ini,” ucap Mas Sigit seraya mengusap bahuku. Seperti biasa, dia tak pernah berani membelaku di depan ibu dan kakak-kakaknya.

“Aku mau kita pindah dari sini, Mas! Kita cari kontrakan saja. Hidup susah enggak apa-apa. Makan hanya pakai nasi dan garam, juga tak apa. Bila perlu aku makan sekali aja sehari, anak-anak aku buatkan bubur biar irit, asalkan kita pindah dari sini, Mas! Kumohon!” pintaku memelas.

“Baiklah, Sayang! Aku akan bekerja lebih giat lagi. Pulang kerja bangunan aku cari objekan lagi, untuk modal kita ngontrak rumah, ya!” jawab Mas Sigit sembari mengelus kepalaku.

“Mas Sigit serius?” seruku begitu lega. Akhirnya, apa yang aku impikan akan jadi kenyataan. Tak mengapa meski kami akan tinggal di kontrakan sempit, berlantai tanah berdinding tepas, pun tak apa. Asalkan tidak hidup serumah dengan mertua. Apalagi ditambah dengan kedua keluarga ipar-iparku.

“Iya! Aku janji!”  Mas Sigit mengangguk pasti.

“Terima kasih ya, Mas! Mendengar janji Mas aja aku sudah sangat senang!” lirihku semakin terharu.

“Iya, Ning!”

Mas Sigit meraih bahuku, menarik tubuhku ke dalam dekapannya. “Terima kasih atas pengertian kamu, Ning!” ucapnya sendu. 

**

“Masuk kamar semua! Jangan ada yang keluar, apalagi main di halaman atau di teras!”

Aku tersentak, itu suara Mbak Ambar. Nada dan Rara setengah berlari masuk dan  menghampiriku. Tak lama Mbak Ambar melongokkan kepalanya ke dalam kamar sempit  kami.

“Ning, bilang sama  anak-anakmu! Jangan dibolehin keluar! Ada tamu istimewa! Terus buatkan minum, empat gelas. Antarkan ke depan!” perintahnya kepadaku.

“Bentar! Bima masih nenen!” jawabku sambil mengelus kepala Nada dan Rara yang terlihat begitu sedih karena harus dikurung.

“Letakin dulu anakmu!  Suruh dijaga sama Nada! Cepetan! Bawel!” ketusnya, lalu pergi setelah mendengus kesal.

“Jaga adek bentar, ya, Nad! Mama bikinkan minum dulu! Kalian jangan keluar, ya, Sayang!” titahku seraya melepas mulut Bima dari dadaku. 

Bayiku  mengoar karena  merasa terganggu. Sepertinya perutnya belum kenyang. Tapi Nada, putri sulungku   yang berusia delapan tahun  itu segera menenangkannya.  Dia sudah terbiasa menggendong Bima.  Saat aku sedang sibuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah ini, dialah yang bertugas menjaga adiknya.  Sementara Rara memainkan kerincing dari tutup botol, itu membuat Bima lupa sejenak akan rasa laparnya.

Buru-buru aku menyiapkan minuman untuk para tamu. Empat gelas  teh manis panas aku letakkan di atas nampan, lalu kuantarkan ke ruang tamu. Dari jauh aku sudah bisa mulai mendengar obrolan di ruang tamu itu.

Bukan maksudku ingin tahu. Bukan pula aku bermaksud lancang menguping pembicaraan orang. Aku hanya penasaran karena nama suamiku disebut berulang-ulang.

“Jadi bagaimana Mas Sigit! Mas sudah kenal saya sejak lama, toh?  Semua tentang saya, Mas Sigit sudah paham! Apa pekerjaan saya, usaha saya,  status saya, juga  semua masa lalu saya.  Mas juga sudah saya beri waktu sebulan, kan, untuk mempertimbangkan? Malam ini saya sengaja datang untuk menagih jawaban!”

Deg!

Jantungku tiba-tiba  berdegup tidak normal. Kadang cepat bagai dipompa kencang, kadang lambat seperti keran air yang  sumbat.  Itu membuatku merasa sedak.  Langkahku terhenti.  Apa yang mereka bicarakan? Siapa perempuan itu  yang sedang  menagih jawaban? Jawaban apa yang dia tagih dari Mas Sigit?

Aku belum bisa melihat mereka karena  terhalang tembok pemisah antara ruang tengah dengan ruang tamu.

“Sepertinya Sigit masih ragu dengan status pernikahan yang kamu inginkan, Yosa! Ibu sudah menjelaskan, tapi dia tetap ragu kalau bukan kamu sendiri yang bicara!”

Yosa? Itu suara ibu mertuaku. Dia menyebut nama Yosa. Jadi perempuan itu yang bernama Yosa? Status pernikahan, apa maksudnya? Tadi pagi saat ibu dan suamiku membicarakan tentang lamaran, ibu juga menyebut nama itu.  Lalu sekarang mereka membicarakan  pernikahan,  apakah itu ada kaitannya?

Kutajamkan pendengaran.  Seiring dengan dentuman di dalam dada. Hatiku gelisah, Entah kenapa tiba-tiba pikiran buruk melintas di benak.  Perasaan ini sungguh tidak enak.

“Oh, tentang itu, kan aku udah jelasin! Aku enggak nuntut nikah secara hukum. Nikah secara siri aja, enggak apa-apa! Mas sigit enggak perlu menceraikan Bening!”

Prang!

Nampan di tangaku tiba-tiba terlepas. Gelas-gelas yang berisi teh manis panas  pecah menghantam lantai yang kupijak. Airnya bahkan sebagian menciprati kakiku. Tapi, aku tak merasakan panas sama sekali di kulit kakiku.

Suara lemah lembut perempuan itu seperti gelegar petir di telingaku. Kalimat Yosa yang belum sempat kulihat wujudnya itu teramat mengagetkanku. Kalimat yang mampu membuatku mati rasa.

“Bening!”

****

Bab terkait

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 3.  Tamparan Manis Untuk Mantan Pacar

    Bab 3. Tamparan Manis Untuk Mantan Pacar“Bening!”Kudengar bentakan ibu mertuaku. Dia, Mas Sigit dan kedua kakak iparku datang dengan tergopoh-gopoh. Kucari wajah perempuan tadi di antara mereka. Tak ada. Ternyata dia bertahan di ruang tamu.Perempuan yang datang untuk melamar suamiku. Apa yang mengganjal di benakku sekarang terjawab sudah. Bisik-bisik oleh ibu mertua dengan suamiku tadi pagi, ternyata ini jawabannya. Wanita itu mengatakan sudah sebulan dia menunggu jawaban. Artinya selama itu pula mereka merahasiakan ini dariku.Ya, Tuhan, betapa bodohnya aku selama ini. Mereka telah menipuku. Tapi, kenapa malam ini seolah Mbak Ambar sengaja membongkar hal ini padaku? Dia memerintahkan aku untuk membuat minum dan mengantarnya ke ruang tamu. Bukankah itu artinya dia ingin memberi tahu segalanya padaku?“Bening! Kenapa kamu? Kayak engak pernah kerja aja! Bersihkan semua beling itu!” teriak Ibu lagi sambil berjalan penuh emosi mendekatiku.“Eh, hati-hati, Bu! Awas kaki ibu terken

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 4. Aku Yang  Menjawab Lamaran Yosa

    Bab 4. Aku Yang Menjawab Lamaran Yosa“Bening! Apa yag kau lakukan?” teriakan tiga orang perempuan terdengar menggelegar, saat dua tamparan dari tangan kasarku mendarat di pipi Yosa yang halus mulus bak pualam itu.“Aku hanya memberinya hadiah, karena telah berhasil mendapatkan tempat di hati ibu mertua dan kedua iparku. Tentu saja di hati Mas Sigit juga,” jawabku menatap tajam ke arah suamiku.Pria itu salah tingkah. Dia bergeming di tempatnya. Tak menyalahkanku, juga tak membela calon istri barunya. Sementara Yosa masih mengaduh keganjenan. Tangan mulusnya meraba pipi yang berubah warna bekas telapak tanganku.“Ibu, sakit … perih … wajahku lecet …,” adunya kepada ibu.Betapa aku ingin dia membalas perbuatanku. Andai dia mau melawan, aku tentu punya kesempatan untuk menjambak rambutnya, atau menggores pipinya dengan kukuku. Nyatanya dia hanya mengaduh dengan gaya ganjen yang membuatku makin muak.Sepertinya dia benar-benar menjaga image, agar dia dianggap penyabar, baik hati dan t

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 5. Memilih Menjadi Janda

    Bab 5. Memilih Menjadi Janda“Nah, itu yang seharusnya kita bicarakan. Kita tentuin tanggal nikahnya, bukan membahas si Bening! Gak penting!” sergah Mbak Sekar lagi lagi melirik sinis ke arahku.“Gimana mau ngomongin tanggal pernikahan, Mas. Sedangkan Mas Sigit saja belum memberikan jawaban,” tutur Yosa dengan suara lembutnya.“Iya, Git, jawab!” Mbak Ambar langsung menyambar.“Hem, sepertinya Sigit masih ragu karena Bening belum setuju, Mas!” Mas Bayu ikut berbicara.“Dek Ning, kamu harus bisa menerima! Ini untuk kebaikan kalian semua. Dek Yosa udah berjanji akan menyediakan satu rumahnya untuk kalian huni. Dia bersedia menanggung biaya hidup kalian satu keluarga. Kalian tak akan menumpang hidup lagi di sini! Bukan aku dan Bayu enggak ihklas menanggung biaya hidup kalian selama menumpang di sini. Tapi, kalau kalian hidup berkecukupan, kami akan ikut senang, Dek, Ning!” tutur Mas Wisnu.Aku bergeming. Jujur aku ingin membantah semua ucapannya. Tapi, aku tak melakukannya. Sebab akan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-26
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 6. Karena  Perempuan Berstatus Istri Wajib Patuh Pada Suami

    Bab 6. Karena Perempuan Berstatus Istri Wajib Patuh Pada Suami“Ning, apa ini?” Tiba-tiba Mas Sigit mencekal lenganku.“Singkirkan tanganmu, Mas!” sergahku mengibaskan tangannya, tetapi tak bisa.“Kenapa masukin pakaian ke dalam koper? Kamu mau pergi?” tanyanya malah makin mengeratkan cekalan. Sakit dan perih di pergelangan tanganku, tak dihiraukannya.“Sakit, Mas! Lepas!” teriakku mengibaskannya dengan kasar. Cekalannya terlepas. Kulanjutkan memasukkan beberapa potong pakaian lagi. Daster lusuhku belum masuk dua potong lagi. Daster yang kata Mbak Ambar lebih buruk dari kain lap di dapur. Namun, tetap akan kubawa. Karena hanya itu yang aku punya.“Kau tidak boleh pergi!” Tiba-tiba Mas Sigit mengeluarkan isi koper lagi. Dia bahkan mencampakkannya secara sembarangan ke segala arah.“Kenapa? Kenapa aku tidak boleh pergi!” sergahku seraya memunguti pakaian itu lalu memasukkannya kembali ke dalam koper.“Pokoknya tidak boleh pergi!” bentak Mas Sigit mengeluarkannya lagi. Kurebut lagi, ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 7. Ancaman Pengacara Calon Maduku

    Bab 7. Ancaman Pengacara Calon Maduku “Kau mau menikah, kau telah memberikan hatimu kepada perempuan lain, kau bahkan akan memberikan tubuhmu kepada wanita itu, lalu aku masih harus patuh padamu, begitu?” “Kau tak berhak membantahku, Bening! Kubilang jangan pergi!” “Aku akan tetap pergi!” “Tidak bisa! Kau tidak boleh pergiiiiiii …!” Par! Mas Sigit berteriak sambil memukul pintu kamar. Suara gaduh dan teriakan itu memancing perhatian seluruh keluarganya. Termasuk Yosa yang masih belum pulang juga. Hitungan detik, semua datang ke kamar sempit itu. Mereka berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah yang macam-macam. Sempat kulihat Yosa menelepon seseorang, entah siapa dan untuk apa, aku tak sempat memikirkan. “Apa ini?” tanya Ibu menyapu seluruh pemandangan di dalam kamar. Kamar yang sudah berubah seperti kapal pecah karena ulah anaknya. Pakaian kami berserakan di mana-mana. “Bening mau pergi, Bu! Tolong bujuk dia agar jangan pergi! Mbak Ambar, Mbak Sekar, tolong berj

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 8.  Rencana Minggat

    Bab 8. Rencana Minggat“Papa mau ke mana?”Kudengar tangis Rara memanggil Mas Sigit. Nada yang masih sibuk merapikan baju-baju kami yang tadi sempat berhamburan menatapku penuh tanya.“Papa! Papa jangan tinggalin kita! Kata Mama, kita mau pergi! Kak Nada, dan Dek Bima juga ikut. Papa jangan tinggalin kita, Pa!!” Panggilan Rara makin kencang.“Nada liat dek Rara dulu, ya, Ma!” kata Nada segera bangkit lalu berjalan keluar kamar. Namu, belum juga tubuhnya hilang di balik pintu, Mbak Ambar sudah muncul di hadapan kami. Rara terseret di tangannya.“Nih anakmu! Kamu ya, yang ngajari dia berbuat lancang?” ketusnya menatapku dengan tatapan nyalang. “Dia pikir mobil bagus si Yosa itu adalah mobil yang akan kau gunakan untuk minggat! Dasar, ibu sama anak sama to lolnya!” cacinya seraya mencampakkan tubuh mungil Rara ke arahku.“Ma, papa pergi naik mobil bagus. Kita ditinggal! Tadi Mama bilang kita semua mau pergi, kenapa Papa malah ninggalin kita?” tanya Rara mulai sesegukan di dadaku. Kupe

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 9. Minggat Di Tengah Malam

    Bab 9. Minggat Di Tengah MalamEmosiku sudah naik ke ubun-ubun rasanya, tetapi aku harus tetap bersabar. “Nad, tadi sore mama sudah masak sayur sama ikan sambal. Kok, enggak ada di meja, ya?” tanyaku menoleh ke arah Nada.“Itu, Ma! Ada, kok. Di dalam lemari piring,” tunjuk Nada ke sudut dapur. Lemari yang terbuat kaca itu memilik rak bertutup di bagian atas. Itu sering kami gunakan untuk menyimpan persediaan makanan.“Kenapa kalian hanya makan garam? Sebentar mama ambilkan,” ucapku gegas berjalan ke sudut dapur. Kutarik pegangan rak, tak bisa bergerak. Kuulang hingga tiga kali, tetap tak bisa.“Dikunci, Ma,” lirih Rara dengan mata berkaca-kaca.“Enggak apa-apa, kok, Ma! Makan pakai garam juga enak, cobain, deh! Iya, kan, Ra, Enak, kan?” kata Nada berdusta. Aku tahu dia hanya berusaha menghibur hatiku. Agar aku tidak sedih dan kecewa.Begini selalu bila ibu dan ipar-iparku marah padaku. Pasti mereka menyembunyikan makanan, meskipun aku yang memasaknya.Kuseka air mata di kedua pipi.“

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 10. Tawaran  Mesum Suami Kakak Ipar

    Bab 10. Tawaran Mesum Suami Kakak Ipar“Om?” lirih Nada dan Rara hampir bersamaan. Mereka sama ketakutannya seperti aku. Apalagi selama ini pun, Mas Wisnu memang tak pernah ramah terhadap mereka.“Ya, ini, Om. Ayo masuk mobil, cepat, sebelum satpam komplek menlihat dan menemukan kalian di sini. Cepat, Ning! Sini kopernya!”Pria itu mendekatiku, meraih koper di atas kepalaku, membawanya masuk ke dalam mobil.“Tidak, Om, Kami enggak mau balik ke rumah nenek! Kau mau minggat!” sergah Nada mencoba merebut koper dari tangan Mas Wisnu.“Siapa yang mau mengembalikan kalian ke rumah nenek? Justru Om mau mmebantu kalian minggat, makanya ayo, cepat naik!” Nada melepas koper, lalu menoleh ke arahku.“Coba pikir, apa mungkin kalian bisa melewati pos jaga di depan, ha? Apa kata satpam komplek itu nanti? Dia pasti akan segera menelepon ke rumah nenek, iya, kan? Tapi, kalau kalian smebunyi di dalam mobil Om, mereka enggak akan liat. Ayo cepat, sebelum warga lain ada yang meintas!” bujuk Mas Wisnu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27

Bab terbaru

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)

    Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang

    Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu

    Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 114. Janji Nek Ayang

    Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 113. Rahasia Terbongkar

    Bab 113. Rahasia TerbongkarWajah Nek Ayang tampak sangat semringah sekarang. Setelah dia mendengar penuturanku barusan. Sepertinya dia begitu lega, dan mengira cucunya hanya cemburu buta. Dia pasti berfikir hubunganku dengan cucunya baik-baik saja.“Elang enggak tahu hati perempuan, apa dikiranya kita mau saja diajak ehem ehem padahal hati kita sudah sangat benci? Hehehe … biarkan dia dibakar cemburu, kowe tenang saja! Itu artinya Elang cinta banget karo kowe, iyo, toh, Ning?” ungkapnya seraya mengusap punggung tanganku.Aku mengangguk saja. Biarlah Nek Ayang berfikir seperti itu. Padahal masalahnya tak sesederhana itu. Ada masalah yang begitu pelik tengah melanda antara aku dan cucunya. Bukan sekedar cemburu buta, tetapi lebih kepada rasa minder Mas Elang akan kelemahannya.Mas Elang merasa dia kalah jauh dibandingkan dengan Mas Sigit dalam urusan ranjang. Perasaan minder itu semakin membakar hatinya saat tahu kalau Mas Sigit memaksaku melakukan hubungan badan kemarin. Mas Elang

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 112. Perintah Nek Ayang

    Bab 112. Perintah Nek AyangMereka semua terperangh kaget. Pernyataanku barusan jelas tak bisa mereka percaya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlanjur. Aku tak peduli entah apa tanggapan Mas Sigit juga keluarganya. Yang aku pikirkan justru perasaan Mas Elang. Aku begitu mengkhawatirkan dia sekarang.Entah bagaimana tanggapannya terhadapku. Setelah jelas-jelas dia mulai menghindariku, aku justru ungkapkan perasaan cintaku. Padahal dia mulai mencipta jarak denganku. Tak pernah lagi menelpon, apa lagi mendatangi aku. Biasanya dia menjemputku ke warung di malam hari, mengantarku pulang ke rumah karena dia mengkhawtirkn aku pulang sendiri di tengah malam. Lalu, dia akan menjemputku lagi di pagi hari.Sekarang itu tak lagi dia lakukan. Bukankah itu artinya dia sudah mundur. Dan saat itu pula aku menyatakan perasaanku. Ah, betapa rendah aku di matanya sekarang. Mungkin dia menganggap aku wanita murahan. Tapi, sudahlah. Aku pasrah saja. Yang penting aku lolos dulu dari Mas Sigit.“Apa? Kau bil

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 111. Pengakuan Cinta Kepada Mas Elang

    Bab 111. Pengakuan Cinta Kepada Mas Elang Kulepaskan rangkulan tangan Mas Sigit di bahuku, kukibaskan dengan kasar. Itu tak luput dari perhatian Mas Elang dan juga Nek Ayang. Mereka hanya melongo. Sementara tiga perempuan yang sejak tadi menonton dari jarak yang agak jauh, kini datang mendekat. Mbak Ambar, Mbak Sekar dan ibunya. “Ning, kamu?” sergah Mas Sigit menatapku tak percaya. “Kenapa kamu ikut bar-bar seperti ini, Ning?” tanyanya dengan nada lirih. “Kamu sepertinya lupa kalau kemarin aku bahkan bersikap lebih bar-bar. Luka di kening kamu saja belum kering, Mas! Kau mau mendapt luka baru lagi, hem? Kuingatkan padamu, antara aku dan kau tidak ada ikatan apa-apa lagi, jadi jangan pernh berani menyentuhku, paham!” tegasku diiringi hujaman tatapan tajam. “Aku belum talak kamu, Ning! Pengadilan juga belum mengeluarkan surat cerai. Jadi, kau masih istriku. Aku berhak atas dirimu, kau masih istriku, Ning!” “Jangan mimpi! Meski kau tak talak aku, bagiku kau bukan siapa-siapaku lagi

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 110. Mantan Suami dan Calon Suami

    Bab 110. Mantan Suami dan Calon Suami Mantan ibu mertua berhasil menjambak rambutku. Kutahan sakit itu demi melindugi Nek Ayang.“lepaskan nenek, Ning! Biar nenek lawan perempuan itu!” perintah Nek Ayang mencoba melepaskan diri dari pelukanku.“Tidak, Nek! Nenek enggak akan tahan. Tulang Nenek bisa remuk dihantamnya, Bening enggak mau Nenek kenapa napa,” tolakku mengeratkan pelukan.“Tapi de e jambakin rambut kowe, Ning!”“Biar, Nek, Bening tahan, kok. Asal jangan Nenek yang disakiti.”“Ya, Allah, Ning, kowe iku, Nduk!” ucap Nek Ayang terharu.“Lepaskan rambut Bening!” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar. Sontak jambakan di kepalaku lepas. “Sini, lepaskan, Nenek, biar aku yang melindungi,” ucapnya padaku seraya merengkuh tubuh renta Nek Ayang dari pelukanku.“Kowe, datang, Lang!” lirih Nek Ayang dengan mata berkaca-kaca. Aku merasa sangat lega sekarang. Nek Ayang sudah berada di tangan yang aman. Entah bagaimana dan kapan datangnya, Mas Elang tiba-tiba s

  • Wanita Yang Melamar Suamiku   Bab 109. Perkelahian Nek Ayang Dengan Mantan Ibu Mertuaku

    Bab 109. Perkelahian Nek Ayang Dengan Mantan Ibu Mertuaku“Ini barang-barang kalian, jangan pernah injak rumahku lagi!” tegas Yosa seraya melemparkan tiga koper ke hadapan para benalu itu.“Yosa, maksudnya apa ini, Nak?” Sang mertua menatap nanar menantu kesayangan. Mbak Ambar dan Mbak Sekar pun terlihat kebingungan.“Saya sudah menjatuhkan talak kepada Mas Sigit, putra Tante! Meskipun saya tahu itu terbalik, tapi mau gimana lagi. Habisnya, saya minta talak, Mas Sigit enggak mau nalak saya. Ya, udah, saya aja yang talak dia, hehehehe ….” Yosa terkekeh.“Yosa,” gumam mereka bersamaan.“Jadi, antara saya dan putra Anda, sudah tak ada ikatan apa-apa. Dan antara saya dengan Anda, juga kedua betina ini, juga sudah tak ada hubungan apapun. Paham, Tante?” sinis Yosa dengan iringan senyum ketus.“Yosa, kamu … kamu maksudnya, maksudnya?” Mbak Ambar dan Mbak Sekar memegangi kedua lengan Yosa. Mengguncang-guncangnya dengan kalimat terbata-bata.“Iya, maksud saya, kalian harus keluar dari rumah s

DMCA.com Protection Status