Luna dulu sering tak mengerti kenapa para sepupunya yang akan menikah terlihat sangat khawatir dan tegang, padahal sebagai perempuan dia hanya perlu duduk manis sambil cengar cengir menyalami tamu yang datang, tapi sekarang dia merasakan sendiri perasaan tegang dan khawatir itu.
Bahkan dia sampai ditegur oleh penata rias yang mendandaninya karena tak bisa dia saat dirias. “Kamu kenapa, gelisah gitu? Jangan bilang kamu takut Laksa kabur dari acara? Ya ampun Lun, kalain itu sudah suami istri dan ini hanya pesta yang tertunda, dia tak mungkin sebego itu mempermalukan dirinya dan keluarganya dengan kabur saat resepsi pernikahan,” cerocos Vira yang hari ini memang sengaja datang pagi-pagi untuk menemani Luna dirias. Luna menatap sahabatnya yang sok tahu itu dengan sebal. “Aku bukan takut hal itu.” “Lalu?” “Nggak tahu, rasanya deg degan terus dari tadi, khawatir ada yang tidak beres.” “Ckkk itu hanya perasaanmu saja, jadi tMalam itu Luna akhirnya bisa kembali tidur dalam pelukan Laksa, suaminya, pelukan hangat yang selama seminggu ini sangat dia rindukan, Luna dengan rakus menghirup aroma suaminya ini. dalam hati dia sangat tak rela jika harus kehilangan pelukan hangat ini. Laksa mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri, dia sangat bersyukur hari ini bisa kembali memeluk Luna setelah satu minggu hanya memeluk guling. “Senangnya bisa peluk kamu lagi,” bisik Laksa lembut. Luna hanya mampu membalas dengan semakin membenamkan keplanya di dada sang suami. “Apa semuanya akan baik-baik saja, maksudku dengan keterangan yang kita berikan tadi?” Laksa hanya mengangkat bahu. “Setidaknya kita sudah berusaha menjelaskan semuanya, lagipula aku sebenarnya tidak peduli orang lain percaya atau tidak, aku hanya ingin kamu nyaman di sisiku.” “Terima kasih.” “Untuk apa?” “Untuk semuanya, mau membersihkan namaku dan juga mau menjad
Laksa tahu kedatangan ibunya ke rumah ini bukan karena merindukannya atau memperbaiki hubungan mereka, tapi Laksa tidak punya gambaran apa yang diinginkan ibu kandungnya itu. Wanita yang melahirkannya itu tampil dengan pakaian sopan dibandingkan terakhir kali mereka bertemu, kulot panjang berwarna hitam serta blus lengan pendek berwarna krem, sederhana memang tapi wajah sang ibu yang cantik meskipun usianya tak muda lagi, dalam hati Laksa mengakui kalau sang ibu memang sangat menarik pantas saja ayahnya dulu sempat tergila-gila padanya, meskipun pada akhirnya membuangnya begitu tahu sifatnya yang tidak secantik wajahnya. Andai saja.... Laksa langsung menggelengkan kepalanya dia tak suka berandai-andai, apalagi untuk sesuatu yang sudah jelas duduk permasalahannya. “Saya tidak tahu anda mendengar berita itu dari mana, tapi iya kami baru mengadakan pesta pernikahan,” kata Laksa tenang. Laksa menghela Luna untuk duduk di sofa lalu mengambil te
Menjadi gadis rumahan, membuat Luna hanya memiliki sedikit pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain, apalagi pada dasarnya dia adalah gadis yang pendiam, teman-temannya tak begitu suka bicara dengannya. Membosankan, itu kata yang sering Luna dengar dulu. Pertama kali mendengar itu secara langsung saat masih duduk di bangku SMP, Luna langsung pulang dengan menangis tersedu, membuat ayah dan bundanya khawatir, tapi lambat laun Luna mulai terbiasa dengan itu. bukannya dia tak mau mengakrabkan diri dengan teman-temannya, tapi apa yang mereka bicarakan kadang tak dimengerti oleh Luna, begitupun sebaliknya saat Luna berbicara tentang tarian yang menjadi hobinya mereka malah tidak nyambung. Jadi Luna hanya bisa duduk pasrah saja, telinganya sudah cukup kebal dengan itu. Teman dekatnya hanya bisa dihitung dengan jari dan yang masih sering berhubungan dengannya sekarang adalah Vira, si cerewet yang memang sangat senang di dengarkan itu tentu saja meras
Laki-laki tua itu menjalankan kursi rodanya dengan tenang di lobi hotel, sesekali ada satu dua pengunjung yang menatap ke arahnya, tapi dia seperti tak peduli, tujuannya jelas, meja resepsionis. “Selamat siang, apa seminar kesehatan di hotel ini sudah mulai?” tanya laki-laki tua itu pada dua resepsionis yang cantik dan wangi itu. “Iya, sudah mulai lima belas menit yang lalu, apa bapak salah satu peserta di sana?” tanya sang resepsionis ramah. “Iya, bisakah anda mengantar saya ke sana?” tanya laki-laki itu. Resepsionis itu saling berpandangan sejenak, lalu salah satu dari mereka mendorong kursi roda laki-laki itu untuk menuju ke tempat seminar berlangsung. “Oh tunggu sebentar, Mbak, tolong bookingkan kamar sekalian untuk saya.” Laksa memandang laki-laki tua itu dengan wajah datar. “Apa yang dia lakukan di sini?” tanya Dirga yang tiba-tiba ada di belakang Laksa.” Laki-laki itu memang sepeperti jelangkung saja datang tak
Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia pura-pura tak langsung memalingkan mukanya saat Laksa membalas tatapannya dengan sangat lembut dan dalam, Luna yang memang miskin pengalaman dengan laki-laki tentu saja langsung salah tingkah. Oh, ternyata dinding hotel ini warnanya sangat bagus, berwarna tosca yang sangat lembut, yang mendekornya pasti punya selere yang sangat tinggi. Batin Luna berusaha menyibukkan diri dengan pikiran lain, dia tak mau memikirkan Laksa... tidak...tidak mau, nanti dia geer, dan harapannya jadi melambung tinggi, kalau jatuh tentu sangat sakit nantinya. “Apa aku perlu menggendongmu untuk menuju ruanganku, atau sekalian kita mengambil kamar di atas?” “Ah, apa? tidak.. aku bisa jalan sendiri, kenapa kakak harus menggendongku, nanti encok tahu rasa.” Laksa langsung menjitak kepala Luna, kalau sedang gugup wanitanya ini memang suka bicara sembarangan. “Aku masih muda, penyakit encok nggak berani dekat-dekat.”
Luna pernah membayangkan bagaimana skenario saat Laksa berhadapan dengan sosok Leon itu. mulai dari mereka berdua yang mungkin akan adu jotos sebagai sesama laki-laki atau Laksa yang mempidanakan Leon secara langsung karena merusak citra hotel tempatnya bekerja. semua gambaran itu berputar di kepala Luna sejak nama Leon sering disebut Laksa dan juga cerita berbagai persaingan yang mereka lakukan. Akan tetapi siapa sangka Luna tak perlu menunggu lama untuk menyaksikan hal itu, meski kejadian yang tersaji di depan matanya jauh dari apa yang dia bayangkan selama ini. Lobi hotel yang penuh dengan pengunjung menjadi saksi, bertemunya dua orang yang bermusuhan itu. “Aku tidak tahu kalau kamu punya cukup nyali untuk datang secara langsung ke kandang macan,” kata Laksa secara tiba-tiba, meski tidak ada suara yang kerasa atau membentak, tapi aura mengintimidasi sangat kental dalam ancaman itu. Luna yang berjalan di samping Laksa tentu saja terkejut
“Ambilin aku keripik kentang, yang pedes level lima, bungkusnya warna merah.” “Nanti kakak sakit perut, aku ambilin yang biasa saja.” “Kok kamu ngebantah sih, aku sedang mau makanan pedas.” “Iya, Kak, tapi kalau Kak Laksa sakit perut siapa yang rugi? perut kakak itu tidak bisa makan pedas,” omel Luna sebal pada Laska yang bersikap sangat kekanak-kanakan setelah mereka sampai di kamar mereka, padahal mereka baru saja makan malam. “Jadi kamu tidak mau mengambilkan?” Luna menghela napasnya kesal, berusaha memupuk kesabaran, Laksa sering bilang kalau dia manja, tapi lihatlah sekarang siapa yang lebih manja dan kolokan. Luna mengelus perutnya yang mulai membukit pelan, nanti jika anak mereka lahir, dia harus bersiap untuk mengasuh dua orang bayi sekaligus. “Aku ambilkan tapi yang tidak pedas, ok, dan jangan membantah,” kata Luna tegas. Wanita itu lalu keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ke dapur, dia me
“Baiklah aku setuju mengambil uang itu.” Laksa menunjukkan pada Luna pesan yang dikirimkan ibu kandungnya. Tak ada basa-basi atau kalimat penuh kerinduan seperti biasanya, bahkan panggilan ibu yang biasanya wanita itu ucapkan untuk dirinya sendiri tidak ada juga. Luna memandang suaminya dengan iba, meski suaminya itu terlihat baik-baik saja, pasti dia sangat kesakitan. Dikhianati orang yang seharusnya mencintai kita dengan tulus memang sangat menyakitkan, apalagi Laksa berhati lembut pasti sangat tak tega untuk melakukan sesuatu yang buruk pada ibu kandungnya. Tuhan... Doa Luna terputus dia tak tahu harus minta apa pada Tuhan untuk hubungan suaminya dan ibunya, Luna terlalu asing dengan keadaan ini, kasih sayang ibu sepanjang hayat yang selalu dia yakini nyatanya tak berlaku untuk hubungan Laksa dan ibunya. “Apa kakak melakukan sesuatu sampai ibu menyetujuinya?” Laksa berjalan mengambil bajunya dan mengenakannya di dep
Laksa membalikkan sendok makannya tanda kalau dia sudah selesai makan. “Kakak masih marah tentang aku yang ngobrol dengan kak Vano? Kami hanya-“ “Aku mengerti. Maaf aku hanya takut kamu lebih nyaman ngobrol dengannya daripada denganku.” “Kenapa kakak mikir begitu?” Laksa menggelengkan kepalanya itu tidak penting lagi untuk sekarang. “Kamu percayakan kalau aku sayang kamu dan tidak akan menyakitimu secara sengaja?” Luna mengangguk. “Setelah hubungan kita membaik dan aku putus dengan Raya lima bulan yang lalu aku tidak pernah bertemu dengannya sampai minggu lalu.”“Aku tahu, dia ada di luar negeri dan kakak selalu pulang tepat waktu jadi tidak mungkin menemuinya.” “Benar.” “Lalu?” “Dia tadi mengajakku bertemu di restoran, maaf aku tidak mengatakannya padamu tadi,” kata Laksa pelan dengan kepala masih menunduk dalam, dia tidak ingin terjadi kesalahpahaman. Raya dan keluarganya pasti akan
“Maaf, sayang aku terlambat pulang,” kata Laksa pada Luna yang menyambutnya di teras depan. Luna tersenyum mencoba memahami kalau suaminya memang punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, bukan untuk yang lain. Meski tak bisa dipungkiri ada resah yang dia rasakan hari ini. “Kakak sudah makan malam?” Ya Tuhan bagaimana dia bisa makan malam dalam keadaan seperti ini, pikirannya penuh dengan rasa bersalah dan khawatir pada Luna. “Kamu sendiri sudah makan?” Luna menggeleng yang membuatnya menghela napas panjang. Dia menatap arloji di tangannya. Jam setengah sembilan malam, belum terlalu malam memang meski tetap saja terlambat. “Kalau begitu kita makan sekarang.” “Tapi kalau kakak sudah makan, jangan dipaksakan nanti perutnya sakit.” Laska tersenyum dan membelai lembut kepala sang istri. “Aku juga belum makan, tadi ada masalah sedikit dan langsung pulang.” “Baiklah, aku siapkan makan malam dul
Laksa kembali melanjutkan pekerjaannya, hari dia memang sengaja pulang lebih lambat karena banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Keberhasilannya tadi menggaet investor membuat semangat kerjanya melambung tinggi, lagi pula dia juga sudah mengirim pesan pada Luna kalau akan pulang terlambat. Ketukan pintu membuatnya mendongak sebentar sebelum berteriak. “Masuk.”Dan sang asisten masuk dengan terburu-buru. “Maaf, Pak. Apa bisa saya pulang lebih dulu. Ibu saya masuk rumah sakit,” katanya dengan wajah khawatir. Laksa mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Tentu saja, kamu bisa pulang lebih dulu aku hanya akan menyelesaikan laporan ini.” “Terima kasih, Pak.” “Semoga ibumu baik-baik saja.” Sang asisten menggangguk dan mengaminkan sebelum pamit pergi. Laksa sedikit meregangkan tangannya mengusir rasa kaku karena terlalu lama duduk. Pekerjaannya hampir selesai lagi pula dia sudah berjanji pada Luna ak
Laksa duduk dengan punggung tegak. Di depannya seorang laki-laki paruh baya yang rencananya akan melakukan investasi pada salah satu program yang akan diadakan hotelnya. Setelah hampir dibuat gila karena kelakukan mantan pacarnya, Laksa harus memacu mobilnya gila-gilaan untuk mengejar waktu yang sudah sangat mepet, dia bahkan tak peduli dengan umpatan yang dia terima dari pengguna jalan lainnya. Untungnya sang investor juga datang sedikit terlambat, jadi dia masih punya waktu untuk sekedar membaca ulang apa yang akan dia presentasikan nanti, meski dia yakin sudah hapal betul dengan apa yang akan dia katakan nanti tapi dalam keadaan setengah gila karena mantan pacarnya yang lagi-lagi berulah, otaknya bisa melenceng kemana-mana dan Laksa tak mau investor yang telah lama dia incar akan lepas begitu saja karena ketidakprofesionalannya. “Terima kasih bapak sudah bersedia datang,” kata Laksa membuka percakapan dengan basa-basi. “Sama-sama, pak. Saya sangat tertarik dengan beberapa progr
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun