“Kamu ada janji dengan ibumu?” tanya Dirga terlihat sangat tidak suka tapi sekaligus penasaran. Dia bahkan duduk kembali di sofa ruangan Laksa mendengar pemberitahuan dari sekretaris Laksa.
“Kenapa kamu malah kembali duduk di sana, katanya mau makan siang?” tanya Laksa yang tidak mengerti dengan sikap sepupunya iitu. “Bukankah sudah jelas kamu masih ada urusan, lebih baik kamu bereskan dulu semuanya, aku tunggu di sini saja, atau aku pulang saja, mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama.” Laksa menatap Dirga dengan tak sabar laki-laki itu lalu mendekati Dirga dan duduk di depannya, dan menatapnya tajam. “Kenapa kamu malah suka ngambek seperti cewek sekarang?” tanya Laksa. Dirga menghela napas dalam, rasanya dia ingin sekali menoyor kepala Laksa. “Aku bukan ngambek dodol, tapi malas mengganggu acaramu dengan ibu kandungmu itu,” jelas Dirga yang tak terima dibilang ngambek. “Aku tidak punya acara dengannya, aku jugaLuna duduk di teras belakang rumah keluarga Sanjaya dengan sepiring besar buah-buahan yang telah dipotong dalam pangkuannya, juga berbagai macam keripik di meja. Mama mertuanya memang luar biasa memanjakannya sejak Laksa memutuskan kembali tinggal di sini. Dia bahkan bisa dikatakan hanya makan dan tidur saja, mungkin sebentar lagi aku akan segede sapi. Saat dia akan membantu pekerjaan di rumah sang mama mertua langsung berteriak dan melarangnya. Begitu juga Laksa, suaminya itu menjadi lebih perhatian padanya sejak dia ‘tembak’ tempo hari, meski setelahnya Luna harus membentur-benturkan kepalanya ke tembok kamar mandi. Itu bukan dia banget dan Luna yakin seyakin-yakinnya kalau waktu itu dia sedang kerasukan entah mahluk jenis apa. Tapi ada sisi positifnya juga, paling tidak hatinya menjadi lebih lega, tak ada ganjalan di hatinya, meskipun saat berdua saja dia masih malu untuk bertingkah agresif pada Laksa. Iyalah kalau ditolak seperti waktu
Luna baru saja mengeringkan rambutnya yang basah dengan hairdryer di tangannya, saat ponselnya menjerit-jerit minta perhatian, dengan heran dia mematikn hair dryer di tangannya. “Apa mungkin Kak Laksa melupakan sesuatu?” gumamnya pelan, Laksa memang baru saja berangkat bekerja, sedangkan Luna yang memang setelah jalan-jalan yang mereka lakukan merasa tubuhnya sangat capek dan kepalanya pusing memilih untuk tidur terlebih dahulu, tapi sialnya Luna yang tidak biasanya tidur ngebo itu, malah matanya seperti dilem, bahkan saat alarm di kepalanya meneriakannya untuk bangun dia masih enggan. Alhasil dia baru bangun saat Laksa sudah selesai mandi dan mencari bajunya sendiri di dalam almari besar di kamar mereka. Seketika Luna buru-buru bangun dan mencuci muka, saat dia protes pada sang suami kenapa dia tak dibangunkan, Laksa hanya menjawab “Memangnya kamu mau ngapain, kamu harus banyak istirahat supaya lekas sehat.” Jawaban penuh perhat
Entah dengan pertimbangan apa, Luna lalu memutar langkahnya menghindari tempat itu lebih tepatnya wanita itu, setidaknya sampai jam sebelas nanti, atau mungkin lebih, bukankah dia harus maklum kalau Luna akan terlambat dari waktu yang dia tentukan. Bukan dia bermaksud kurang ajar, yah setidaknya dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sebenarnya karakter wanita itu, bukan hanya dari cerita suaminya. Luna sengaja menghampiri penjual cilok dan memesan makanan berbahan tepung itu, dengan tenang dia menikmati ciloknya sambil matanya tak lepas dari sosok wanita yang akan dia temui, dia hanya berharap semoga saja wanita itu memang benar-benar tak melihat dirinya. “Sampai malam, Pak kalau jualan di sini?” tanya Luna yang pura-pura sibuk bercakap-cakap dengan penjual cilok di depannya. Sang penjual itu pun menjawab pertanyaan Luna dengan ramah, tanpa di tanya dia menceritakan suka dukanya waktu berjualan cilok sampai tempat anak-
Dering ponsel di tangannya membuat Luna terkejut, dia pikir Laksalah yang menghubunginya setelah dari tadi dia tidak bisa menghubungi laki-laki itu tapi ternyata Viralah yang menghubunginya. Sahabatnya itu memang sering meneleponnya saat senggang, sama seperti waktu Vira masih tinggal di yogya dulu, kesibukan membuat Vira tak bisa sering bertemu dengan Luna lagi, apalagi Laksa yang melarangnya untuk bekerja, karena kondisinya yang sedang hamil. Luna menoleh sekilas pada arah di mana ibu kandung Laksa tadi pergi, wanita itu memang langsung pergi setelah meminta Luna memikirkan semua yang dia katakan tadi. Tapi tentu saja Luna tidak akan melakukan itu, bukan hanya karena dia tidak suka berbelanja berlebihan tapi dia juga menyadari kalau ibu kandung Laksa begitu licik, ingin memanfaatkannya untuk membuat Laksa jauh dari wanita yang sudah membesarkannya. “Iya, Vir,” sapa Luna. “Kamu kemana saja, lama sekali menjawab teleponku, ini masih siang
Laksa memesan sebuah ruangan privat untuk mereka berdua. Terlalu berlebihan kalau kata Luna. Tapi semau Laksa saja, ini duit-duit dia juga, lagi pula uangnya yang tak berseri itu untuk apa kalau bukan untuk dihambur-hamburkan, pikirnya sebal. Luna meremas ujung bajunya sambil menatap dua orang di depannya dengan sebal. Laksa terlihat bercanda dengan pelayan yang mengantar buku menu untuk mereka. Sesekali di lihatnya pelayan wanita itu memandang Laksa dengan tersipu malu sedangkan suaminya itu masih saja bertanya ini itu tentang menu yang akan mereka pesan. Ingin sekali Luna mengambil buku menu terkutuk itu dari tangan mereka berdua dan melemparkannya ke wajah sang pelayan, rasanya dada Luna seperti terbakar. Jika memang ingin tebar pesona pada semua gadis kenapa juga mengajak dirinya? Apa supaya dia tahu kalau masih banyak yang menginginkannya? Kalau itu tujuannya, Laksa tidak perlu melakukan itu, Luna sudah tahu, sangat tahu malahan.
Luna meletakkan sampurnya dia atas ranjang, dia baru saja menari, hal yang sangat dia rindukan saat dokter memintanya untuk lebih banyak istirahat. Dan Luna yang sayang dengan anaknya tentu saja tidak ingin melanggar larangan itu, tapi kemarin setelah dokter mengatakan kandungannya lebih kuat, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah menari. Sekarang pikirannya lebih tenang, entah karena dia suka atau karena kekuatan magis tertentu. Pikiran Luna kembali melayang pada pembicaraan mereka tadi nama itu seolah sangat familiar di telinganya, tapi dimana dia melihat nama itu. Luna berguling-guling di atas karpet tebal di kamarnya, mencoba untuk fokus mengingat nama itu. “Aish entahlah,” katanya kesal karena tak dapat mengingat dimana dia melihat nama itu. Luna lalu turun ke bawah, dia akan mengecek kondisi mama mertuanya, semoga saja lebih baik. Ada rasa bersalah di hati Luna saat tadi tak mengatakan yang sebenarnya pada wanita yang telah dia a
“Wah, ibu benar-benar terkejut kamu mau repot-repot datang ke sini menemui ibu,” sura terkejut bercampur bahagia itu langsung menyambut Laksa yang berdiri diam, bahkan setelah pintu apartemen itu di buka. “Ehm, sebentar ibu rapikan dulu rumah ibu.” Wanita itu lalu menghilang di balik pintu meninggalkan Laksa yang masih berdiri di sana dengan tatapan datar dan tidak pedulinya. Mungkin dia sudah gila dengan datang menemui wanita ini di apartemennya, apartemen yang entah tak tahu apa saja yang sudah dilakukan ibunya di dalam sana. Laksa bukan orang suci, yang tidak memiliki dosa, dia bahkan mengakui pernah melakukan hubungan terlarang dengan pacar-pacarnya, tapi tindakan ibunya yang lebih memilih laki-laki lain dari pada dirinya anak kandungnya sendiri, tak pernah mampu dia terima, apalagi sang ibu yang berniat mengganggu keharmonisan kehidupan orang tuanya hanya demi harga keluarga yang nantinya akan diwariskan padanya. Sebentar kemudian pin
Luna memalingkan mukanya, dia sibuk memperbaiki sprei yang sudah sangat rapi, dia sadar kalau dirinya tak akan sanggup menghadapi godaan dari Laksamana Sanjaya, suaminya. Salahkan saja hatinya yang memang tak tahu malu itu, Padahal saat ini Laksa hanya sedang bertelanjang dada karena lupa membawa baju ganti yang telah disiapkan Luna. Dadanya berdetak dengan kencang, meski pernikahan mereka sudah berlangsung hampir empat bulan lamanya dan hubungan mereka juga sudah seperti suami istri pada umumnya, dalam artian mereka sudah melakukan hubungan fisik sebagaimana mestinya. “Kamu kenapa?” tanya Laksa mendekati Luna yang terlihat gelisah di samping tempat tidur. Tangan Laksa bahkan sudah merangkum kedua pipi Luna, terasa dingin dan membuat Luna seketika bergidik, dingin tangan Laksa yang baru saja mandi, juga aroma aftersave dan juga sabun mandi membuat Luna menginginkan lebih dari sentuhan seperti ini. Haduh! Suaminya ini kenapa mendekati Luna dengan masih bertelanjang dada sih,
Laksa kembali melanjutkan pekerjaannya, hari dia memang sengaja pulang lebih lambat karena banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Keberhasilannya tadi menggaet investor membuat semangat kerjanya melambung tinggi, lagi pula dia juga sudah mengirim pesan pada Luna kalau akan pulang terlambat. Ketukan pintu membuatnya mendongak sebentar sebelum berteriak. “Masuk.”Dan sang asisten masuk dengan terburu-buru. “Maaf, Pak. Apa bisa saya pulang lebih dulu. Ibu saya masuk rumah sakit,” katanya dengan wajah khawatir. Laksa mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Tentu saja, kamu bisa pulang lebih dulu aku hanya akan menyelesaikan laporan ini.” “Terima kasih, Pak.” “Semoga ibumu baik-baik saja.” Sang asisten menggangguk dan mengaminkan sebelum pamit pergi. Laksa sedikit meregangkan tangannya mengusir rasa kaku karena terlalu lama duduk. Pekerjaannya hampir selesai lagi pula dia sudah berjanji pada Luna ak
Laksa duduk dengan punggung tegak. Di depannya seorang laki-laki paruh baya yang rencananya akan melakukan investasi pada salah satu program yang akan diadakan hotelnya. Setelah hampir dibuat gila karena kelakukan mantan pacarnya, Laksa harus memacu mobilnya gila-gilaan untuk mengejar waktu yang sudah sangat mepet, dia bahkan tak peduli dengan umpatan yang dia terima dari pengguna jalan lainnya. Untungnya sang investor juga datang sedikit terlambat, jadi dia masih punya waktu untuk sekedar membaca ulang apa yang akan dia presentasikan nanti, meski dia yakin sudah hapal betul dengan apa yang akan dia katakan nanti tapi dalam keadaan setengah gila karena mantan pacarnya yang lagi-lagi berulah, otaknya bisa melenceng kemana-mana dan Laksa tak mau investor yang telah lama dia incar akan lepas begitu saja karena ketidakprofesionalannya. “Terima kasih bapak sudah bersedia datang,” kata Laksa membuka percakapan dengan basa-basi. “Sama-sama, pak. Saya sangat tertarik dengan beberapa progr
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun
Luna menyadarkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa di kursi penumpang, di sampingnya Laksa menyetir mobil dengan wajah keruh, membuat Luna enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Beberapa saat yang lalu memang Laksa menjemputnya di sanggar saat dia sedang ngobrol dengan Vano di halaman belakang dan tentu saja hanya berdua karena Vira benar-benar tak muncul sampai akhir. "Hhh." Helaan napas panjang dan lelah Luna bahkan tak membuat Laksa menoleh laki-laki itu masih fokus dengan kemudinya. Luna tak tahu apa sebenarnya kesalahannya sehingga Laksa berubah dingin seperti ini. Apa karena Luna menemui mantan kekasih suaminya itu? Atau karena di pergi ke sanggar? Tapi Luna sudah minta Izin dan kalau ternyata Laksa terlambat membukanya itu bukan salahnya kan. Kenapa Laksa marah? "Kakak sudaah makan siang?" tanya Luna mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya meski dia sedikit ngeri sendiri dengan sikap Laks
"Maaf, kak. Aku kira tidak ada orang," kata Luna tak enak hati. "Masuklah, sudah lama kamu tidak kemari." Luna bimbang di dalam sana hanya ada Vano yang sedang melakukan entah apa, tapi kalau dia langsung pergi rasanya juga tidak sopan bagaimanapun Vano juga orang yang sangat berjasa untuknya. "Apa kabar kak?" sapa Luna sedikit sungkan. Vano mengangkat alisnya dengan senyum mengejek. "Baik. Setidaknya aku tidak menangis hari ini," kata Vano menyebalkan. Luna mengerucutkan bibirnya, Vano masih tetap sama menyebalkanya seperti dulu."Aku tidak menangis." "Percaya." Jawaban yang makin mempertegas kalau laki-laki itu hanya sedang ingin mengejek Luna. "Kakak ngapain di ruangan Vira?" tanya Luna sebal sendiri. "Bumil habis nangis otaknya ikut eror juga. Kamu tidak lupa kan kalau aku pemilik tempat ini dna bisa bebas berada di mana saja yang aku suka." Ish sebel banget Luna dikatain seperti itu, dia yang sudah duduk di sofa langsung bangkit dan melangkah pergi. Lebih baik dia jalan