"Maafkan anakku, Bu Maryam, Mbak Alina. Sungguh, aku tak pernah menyangka Kania bisa bertindak senekat ini."Mata Bu Delia memandang foto diri Kania yang tergantung di dinding ruangan ini. Sesekali ia tampak memejamkan mata, seolah memanggil kembali ingatan masa lalunya. Tak lama, ia membuka kisah masa lalu Kania, kisah dimana semua gangguan psikologisnya berawal.***"Sejak kecil, Kania sangat dekat dengan Alm. Papanya. Bahkan, saat tidurpun dia juga ingin ditemani papanya. Hubungan mereka berdua sangat akrab. Apapun keinginannya selalu di kabulkan oleh Alm. Papanya. Namun, sejak kecelakaan yang menewaskan papanya, Kania merasa sangat terpukul dan kehilangan. Ia jadi sering diam dan lebih suka menyendiri.""Kecelakaan itu terjadi saat usia Kania masih sepuluh tahun. Kematian papanya membawa dampak besar bagi Kania. Tak hanya dirumah, Kania juga menutup diri di sekolahnya. Beberapa temannya sering mengeluh jika Kania tak suka di dekati ataupun diajak bermain den
"Tentu saja, sejak awal anakmu itu yang tak tahu malu. Tunangan sahabatnya sendiri saja direbut." Cepat Bu Maryam memotong."Bu, tolong tenanglah dulu," pintaku memohon.Bu Maryam menggangguk pelan. Bahunya masih terlihat sedikit bergetar karena meluapkan amarah dan kekesalannya. Aku menoleh dan kembali menatap Bu Delia. Memintanya meneruskan kembali kisah masa lalu Kania."Lalu, disaat itulah Kania mengenal Mas Bayu. Apa begitu Bu Delia?" Aku mendesaknya.***Ia mengangguk. Membenarkan pernyataanku. "Iya, itu benar. Mbak Alina.""Kania dan Bayu berkenalan disaat pertunangannya dengan Arif sudah berjalan beberapa bulan. Aku sebenarnya tidak mengetahuinya, karena aku yakin Kania tidak akan mengkhianati Arif, karena ia sendiri yang memaksa Arif agar menerima dirinya sebagai pengganti Jeni. Tapi, aku salah. Ternyata yang dibutuhkan Kania adalah perhatian seseorang. Dan itu yang ia dapatkan dari Bayu, suamimu. Mbak Alina."Bu Delia diam sejenak, dadaku k
Ucapan Keysa sontak langsung mengalihkan perhatianku, tak terkecuali Mas Reyhan, yang sekilas kulihat langsung menoleh. Aku tak salah dengar, Keysa bilang jika Kania membeli sebuah rumah. Apakah itu artinya rumah itu dipersiapkan untuk dirinya dan ....Ah, tidak. Aku tak boleh berprasangka buruk. Aku yakin Mas Bayu tidak akan mengkhianati cintaku untuk kedua kalinya. Segera ku tatap wajah Keysa lalu mencecarnya dengan pertanyaan."Katakan padaku ada dimana rumah itu?"****Aku menatap Keysa tanpa berkedip. Benarkah yang dikatakannya? Sadar akan pandanganku, gadis itu segera memalingkan wajahnya. Mungkin ia merasa tidak nyaman.Sebuah rumah yang ...? Ah tidak, semoga tidak seperti apa yang saat ini kubayangkan. Tak akan kubiarkan Kania melakukan hal seperti itu. Aku tak akan membiarkan wanita itu mendapatkan keinginannya kali ini. Kulihat Bu Maryam masih tenang, meski ia menatap Keysa dengan tatapan penuh tanya.Bu Delia juga melakukan hal yang sama seper
"Mas Bayu, apa kau tahu. Betapa takut dan gugupnya aku sekarang, ketika mendengar Kania telah membeli sebuah rumah? aku mulai memikirkan jika ia sengaja membeli rumah itu dan merencanakan ini semua agar kelak bisa hidup bersama denganmu.""Semoga saja kau mampu mempertahankan janji dan perkataanmu padaku. Semoga saja kau tidak terpengaruh dengan semua tipu daya Kania. Wanita yang dulu pernah sangat kau cintai itu," aku bergumam lirih.****Jalanan ibukota ini masih sama setiap harinya, tidak ada berubah, kerumunan kendaraan bermotor lalu lintas bebas terlihat. Ada rasa bosan karena terlalu lama menghabiskan waktu yang terbuang percuma.pandangan mataku masih fokus kedepan. dengan kedua tangan masih diatas kemudi. beberapa kali terdengar suara klakson mobil dari pengemudi yang kesal dan tak sabar menunggu kemacetan.Aku melirik sekeliling, melihat beberapa pengendara sepeda motor yang menyelip. bahkan ada diantara mereka juga terpaksa berhenti karena tak ada
Sebuah motor tiba tiba melintas, segera aku menoleh untuk melihat siapa yang datang. Tangan Mbak Lisa langsung menutup mulutku ketika kulihat sosok yang ada dibalik helm itu adalah Kania."Tenanglah Alina."Melihat wajah Kania, emosiku tiba tiba tersulut, amarah yang sejak kemarin tertahan kini sudah mencapai puncaknya. Aku tak mampu lagi untuk menahannya. Tanpa sengaja ku kibaskan tanganku kearah Mbak Lisa, melepaskan tangannya dari mulutku, dan berniat secepatnya menghampiri Kania disana.****PoV. Bayu.Perlahan, aku membuka mata, dan mengerjab beberapa kali, tampak ruangan yang sangat asing bagiku. Kusapu pandangan ke setiap inchi ruangan ini, tetap saja aku tak mengenal tempat ini. Sengaja kupijat kepalaku karena terasa begitu pusing. Hingga butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari dimana aku berada saat ini.Aku mencoba bangkit dari tidurku, berusaha mengingat apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku sebelumnya. Mataku masih terus memindai kama
Aku memang bodoh, hingga perlu bertahun tahun bagiku untuk mengerti alasan ibu yang tidak pernah mau menyetujui pernikahanku dengan Kania. Dan sekarang, aku mengetahui semuanya. Ibu benar, tak ada wanita yang sebaik Alina."Ya tuhan tolong bantu aku, berilah petunjuk dan jalan keluar dari masalah ini."Aku kembali mencoba membuka pintu ini. Sayang, pintu ini terlalu kokoh untuk bisa kubuka paksa. Satu satunya yang bisa kulakukan adalah menunggu. Menunggu Kania datang untuk membuka pintunya, dan menunggu wanita itu menjelaskan semuanya.****"Alina ...!""Tunggu, Alina. Tolong jangan bertindak gegabah." Seru Mbak Lisa."Maaf, mbak. Aku tak bisa lagi menunggu.""Tidak, Alina. Bersabarlah sebentar lagi. Kita lihat dulu situasinya. Bukan tidak mungkin, akan banyak penjaga disini. Jangan Sampai kita celaka disini." Bujuk Mbak Lisa."Pikirkan putrimu. Jika terjadi sesuatu padamu, bagaimana dengan putrimu!" Perkataan terakhir Mbak Lisa akhirnya mem
"Alina. Kumohon kendalikan dirimu. Emosi tidak akan membuat masalahnya segera berakhir. Jangan sampai kau mencelakai dirimu sendiri, apalagi akan membuatmu berakhir dipenjara."Aku sudah tak mampu menahannya lagi, mbak. Wanita tak tahu malu ini benar benar sudah menguji kesabaranku selama ini. Sudah waktunya ular betina ini mendapat hukuman dari semua perbuatannya." ujarku sambil mengarahkan telunjukku pada Kania.***Aku sudah benar benar emosi, jika saja tangan Mbak Lisa tidak menahanku, mungkin sudah kupukul wanita licik itu dengan potongan kayu tadi. Aku memalingkan wajahku, berusaha kembali meredam amarahku.Kupejamkan mata sejenak sambil berusaha untuk menahan amarahku. Namun, sepertinya Kania memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali membalas ucapanku. "Apa kau baru saja mengejekku, Alina?" Matanya melirik tajam, seolah menghujam tajam."Dimana Mas Bayu!? Cepat katakan padaku, Kania! Dimana dia?" Bentakku keras mengulang kembali bertanya padanya."Tak perlu mencarinya. Mas Bay
"Apa kau kubayar hanya untuk berdiri dan menonton semua ini, hah?" Hardik Kania pada pria yang berdiri dibelakangnya."Maaf Bu."Jawab pria bertubuh kekar itu lalu mengangguk, lalu melangkah maju beberapa langkah, matanya kini menatapku nyalang. Angin dingin kembali berhembus, membuat tubuhku tiba tiba kaku. Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai padaku. Masih bisa kurasakan pandangan mata Kania yang kembali melirik tajam padaku. Tatapan sinis sertai dengan seringai jahat di wajahnya. Untuk beberapa saat aku gugup, membayangkan apa yang bisa pria itu lakukan padaku.Aku masih berdiri terpaku, aku diam dengan jantung yang berdegup kencang, aliran darahku seakan berhenti mengalir, Aku yakin wajahku kini mulai pucat. Entah mengapa wajah Diyara kini melintas dibenakku.***Wajah pria itu nampak sinis melirik padaku. Kukepal erat tanganku demi mencoba menyembunyikan rasa gugup ini. Aku melihat Mbak Lisa yang tampak tenang seakan menyambut kedatangan pria itu, membuatku semakin cemas
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R