"Apa kau kubayar hanya untuk berdiri dan menonton semua ini, hah?" Hardik Kania pada pria yang berdiri dibelakangnya."Maaf Bu."Jawab pria bertubuh kekar itu lalu mengangguk, lalu melangkah maju beberapa langkah, matanya kini menatapku nyalang. Angin dingin kembali berhembus, membuat tubuhku tiba tiba kaku. Tinggal beberapa langkah lagi ia akan sampai padaku. Masih bisa kurasakan pandangan mata Kania yang kembali melirik tajam padaku. Tatapan sinis sertai dengan seringai jahat di wajahnya. Untuk beberapa saat aku gugup, membayangkan apa yang bisa pria itu lakukan padaku.Aku masih berdiri terpaku, aku diam dengan jantung yang berdegup kencang, aliran darahku seakan berhenti mengalir, Aku yakin wajahku kini mulai pucat. Entah mengapa wajah Diyara kini melintas dibenakku.***Wajah pria itu nampak sinis melirik padaku. Kukepal erat tanganku demi mencoba menyembunyikan rasa gugup ini. Aku melihat Mbak Lisa yang tampak tenang seakan menyambut kedatangan pria itu, membuatku semakin cemas
Pandangan mata Kania kini beralih tajam memandang Mbak Lisa, sebelum bibirnya mengeluarkan kata kata, kakak iparku itu mendahuluinya bicara."Jangan pernah melakukan hal itu lagi karena kau tak pantas menyentuh wajah Alina." Ancam Mbak Lisa sambil membalas tatapan Kania. Ia langsung berdecih dan memalingkan wajahnya. Tak lama, Kania berdiri dan merapikan beberapa bagian baju dan tubuhnya yang terkena tanah sambil terus mendelik tajam pada kami.***Angin dingin kembali berhembus kencang, menggoyangkan di dedaunan. Beberapa saat kemudian, Kania membalikkan badan, menyeret kakinya beberapa langkah menjauhi kami. Membuatku seketika berpikir apakah ada sesuatu yang direncanakannya sekarang?Entahlah. Yang kutahu aku tidak boleh lengah. Setidaknya, sekarang aku mengerti mengapa Mas Adi mengizinkan istrinya datang kesini demi untuk membantu dan menemaniku mencari Mas Bayu. Mbak Lisa, kakak iparku itu menguasai bela diri taekwondo, keberadaannya di sisiku bisa mencegah hal buruk yang ingin
"Tidakkah kau berpikir jika kehadiranmu hanya bisa membuatnya menderita saja. Kau pikir siapa dirimu, jangan karena kau istrinya lantas kau berhak mempermainkan perasaannya. Pergi meninggalkannya lalu tiba tiba kembali seakan tanpa dosa?""Apa kau masih tak mengerti juga, Alina. Kau hanyalah pelampiasan saja. Bagi Mas Bayu kau hanyalah amanah dan sebuah tanggung jawab."Ucapan Kania akhirnya tak pelak membuatku melepas cengkraman tanganku lalu menampar wajahnya untuk yang kedua kalinya.***Plak!Tanganku terasa panas dan memerah sebab dari kerasnya mengayunkan tamparan ke wajah Kania. Ingin rasanya membuka mulut dan juga menarik lidahnya, entah mengapa ucapan Kania benar-benar menyakitiku. Wanita ini semakin lama semakin manipulatif, seakan dirinya adalah satu satunya korban disini. Tuhan, rasanya aku ingin tertawa, lalu mencekik dan membunuhnya. Hasratku ini mungkin terdengar terlalu kejam. Aku ingin melihatnya mati dihadapanku sekarang juga, entah mengapa aku merasa hukuman itu se
Bab 83Tangan Mas Reyhan mengepal kuat. Rasa amarah yang selama bertahun-tahun terpendam kini seakan melesak keluar. Entah mungkin, mencari alasan ataupun pembenaran atas kasus kecelakaan Jeni, tetap saja, menurutku keluarga Jeni berhak mendapat penjelasan dari Kania, karena ia adalah orang terakhir yang ditemuinya sebelum kecelakaan maut itu terjadi."Kau ingin tahu?""Baiklah, akan kukatakan. Kesalahan adikmu itu adalah karena ia memiliki semua hal yang tidak kumiliki. Hidup adikmu itu terlalu sempurna untukku, apa alasan itu sudah cukup membuatmu puas, Mas?" Jawab Kania enteng dengan mata membulat besar.***Apa yang baru saja Kania katakan? Hidup Jeni terlihat sempurna baginya? "Sungguh, aku hampir tak ingin mempercayai dengan apa yang baru saja kudengar. Benarkah itu? Jika itu benar alasannya, berarti selama itu Kania menyimpan rasa iri dan dengkinya terhadap Jeni? Apakah karena merasa kehidupan Jeni jauh lebih baik darinya, hingga ia bisa bertindak sejahat itu? Bagiku hal ini s
Dok ... Dok ...!Terdengar seperti suara pintu diketuk, untuk beberapa saat aku dan Mbak Lisa akhirnya tahu, suara itu seperti seseorang mengetuk di salah satu kamar. Tak lama kudengar suara samar seseorang memanggil namaku."Alina."Aku dan Mbak Lisa saling menatap satu sama lain. Tanpa banyak bertanya segera saja kubalikkan badan. Mencari asal suara tersebut."Alina, apa itu kau?"***Langkah kakiku terdengar berdetap, dengan pandangan fokus kedepan, tak lama suara ketukan pintu terdengar kembali, disusul dengan suara seseorang yang memanggil namaku.Suara itu terdengar kembali berulang kali, aku menajamkan telingaku, Suara itu masih terdengar samar, persis seperti suara Mas Bayu, mungkinkah ia berada di kamar itu?Aku kembali menoleh menatap Mbak Lisa yang mengiring dibelakangku, seakan meminta jawabannya untuk lebih meyakinkan diri jika suara yang tadi terdengar adalah benar suara Mas Bayu, suamiku.Mata Mbak Lisa mengedip, seakan mengerti jika aku sedang meminta pendapatnya saat
"Siapa kau, kania?"kania melempar senyum sinis padaku, membuatku mendelik tajam padanya. tak kusangka wanita ini masih berani memanggil mas bayu bahkan dihadapanku. tak lama kulihat ia nekat melepas pegangan tangan mas bayu lalu menarik lengannya."kau tidak akan pergi kemanapun, mas. lagipula mau pergi kemana kau? bukankah semalam kau sudah berjanji akan menikah denganku." ucap kania dengan wajah memerah.***"A-apa yang baru saja kau katakan, Kania?""Kau bilang, Mas Bayu berjanji akan menikahimu?"Dadaku kembali bergemuruh mendengar ucapan kania. menikah? rasanya, aku tak salah dengar. aku yakin ia baru saja mengucapkan kata itu.Benarkah mas bayu berjanji menikahinya? aku yakin kania tidak mungkin salah bicara hanya untuk membuatku kesal. seketika aku menoleh dan memandang mas bayu dengan penuh tanya. melihat raut wajahku yang tak bersahabat, mas bayu mencoba menjelaskan semuanya padaku. "ini tak seperti kau bayangkan. jangan percaya apa yang dikatakannya, alina!" usai mengatak
"Apa maksud ucapan Kania?" Batinku mulai gelisah.Perkataan Kania sontak membuatku refleks melepaskan genggaman tangan Mas Bayu. Aku memandang Mas Bayu tajam. Kepercayaanku padanya yang tadi begitu sempurna entah mengapa mendadak menguap. Beberapa pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku. Mungkinkah semalam mereka berdua sudah menghabiskan waktu bersama? "Jelaskan padaku sekarang, mas. Apa maksud perkataan Kania tadi?"****"Alina!"Panggilan Mas Bayu sontak membuatku membuang muka, kebohongan apa lagi yang ingin disampaikannya sekarang. "Alina, kumohon jangan dengarkan semua ucapan Kania, itu tidak benar, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu apalagi berjanji akan menikahinya," Mas Bayu berusaha menjelaskan padaku. matanya menatapku dalam, seakan memohon padaku."Entahlah, mas. Aku tak tahu apakah saat ini kau sedang bicara jujur atau berbohong padaku," keluhku."Percayalah, aku tak akan mungkin mengkhianati kepercayaanmu." Ucapan Mas Bayu membuatku menunduk. Pikiran dan hati
"Apa yang baru saja kau katakan, Kania. Apa serendah itu dirimu, hingga bertindak seperti seorang pelacur murahan!" Nada suara Bu Delia terdengar bergetar.Kania diam, ia masih meringis sambil memegang pipinya yang memerah. Mata itu mendelik tajam pada Bu Delia. Seakan tak bisa menerima perkataan ibunya."Jawab mama, Kania! Mengapa sampai kau berbuat nekat seperti ini. Apa kau sadar bahwa ini semua salah?"****Bu Delia memandang murka pada putrinya, kemarahannya sangat jelas terlihat begitu juga dengan kekecewaan. Aku merasa mungkin ia tak menyangka jika putri kebanggaannya bisa melakukan hal serendah itu.Kania bungkam, ia masih meringis menahan perih sambil memegang pipinya yang memerah. Mata itu mendelik tajam pada Bu Delia. Seakan tak bisa menerima tudingan ibunya.Aku, Mas Bayu, Mbak Lisa, dan Mas Reyhan masih terlihat memusatkan perhatian pada ibu dan anak itu. Sepertinya tak ada seorang pun dari kami yang akan menyela pembicaraan mereka berdua karena itu diluar kewenangan.Waj