PoV. Bayu.
"Apakah selama ini aku telah berlaku zholim pada Alina?"Perasaan kini bercampur aduk. Ku rogoh ponsel disaku celana, mencoba menelpon Alina."Apa yang sekarang ingin kau lakukan, Bayu? Kau ingin menelepon Alina? Cih, Tak perlu, ponsel Alina sudah tak aktif lagi. Lagipula, untuk apa kau ingin mencarinya? Kau hanya akan menambah beban deritanya saja," Sinis Mbak Lisa padaku.Mas Adi tak banyak bicara, seolah apa yang ingin ia katakan sudah diwakili oleh istrinya. Untuk sesaat, aku menyadari jika Mas Adi sangat kecewa padaku.Aku menggeleng pelan, ada rasa kesal, dan amarah bercampur aduk dihatiku saat ini. Hari lamaran yang seharusnya membahagiakanku, tiba tiba berubah kelam.Alina, mengapa kau merahasiakan kehamilanmu padaku? Sejahat itu kah perlakuanku padamu, hingga membuatmu sampai kau tak ingin memberi tahu perihal kehamilanmu ini padaku?Surat dari Alina masih kugengam erat. Kini hanyalah keheningan yang menyapa kami, Raut wajah kecewPoV. BayuApakah ini yang dinamakan cinta? Entahlah, yang kutahu bahwa aku tak ingin kehilangan Kania.Penjelasan Arif tak menggoyahkan hubungan kami, saat kutanyakan kebenaran berita itu pada Kania. Ia pun jujur jika semua yang dikatakan Arif adalah benar. Kania mampu meyakinkanku jika hal yang terjadi pada hubungannya dengan Arif tak akan pernah terjadi dalam hubungan kami. Aku memilih mempercayainya, dan hubungan kami berlanjut hingga akhirnya berbilang tahun.Memasuki tahun ketiga hubunganku dengan Kania, aku mengutarakan keinginanku untuk meminangnya, Alhamdulillah semua anggota keluarga ku mendukung. Sayang, rencana hanyalah tinggal rencana, karena tiba tiba aku mendapat mutasi kerja, pindah kekantor cabang yang baru diresmikan, di Surabaya.Kepindahanku ke Surabaya membuat rencana untuk melamar Kania sementara kutunda dulu, namun, hal itu tak menjadi masalah atau membuat jarak dalam hubungan kami, entah angin apa yang datang, setahun setelah kepindahanku tiba
PoV. Bayu.Aku terdiam cukup lama setelah membaca surat ini, rasa sesak tiba tiba hadir menyeruak didada. Sedalam inikah rasa kecewa yang dirasakan Alina padaku, hingga membuatnya memilih pergi meninggalkanku?Tuhan, kumohon ampuni kesalahanku.Kuremas rambutku kasar, entah kemana aku mencari Alina? Ia tak mungkin kembali ke rumah peninggalan orang tuanya, karena rumah itu saat ini masih disewakan, lagipula, Alina tak akan berbuat sebodoh itu. Pergi ketempat yang mudah dijangkau olehku.Alina tak begitu memiliki banyak kerabat. Ibunya seorang anak tunggal, sedang ayahnya hanya punya satu orang adik perempuan yang kini menetap di Palembang. Mungkinkah Alina pergi kesana?Drrtttt .... Ditengah kalutnya pikiranku saat ini, ponselku kembali berdering, dengan memutar bola mata malas, aku melirik kearah ponselku, tertera nama Kania disana.Begitu panggilan ini tersambung, nada suara Kania yang kesal langsung terdengar ditelingaku.[Mas, aku sudah ber
"Siapa?" Teriakku dari dalam."Alina ini aku, bisakah kau buka pintunya sebentar?" Terdengar suara seseorang menyahut dari luar, membuat tubuhku seketika dingin. Mungkinkah ada yang mengetahui keberadaanku disini?****Aku masih terpaku, mencoba mengingat suara itu, namun, hal itu tak membuahkan hasil karena pikiranku sedang kalut.Tok ... tok!Kembali terdengar pintu itu diketuk, daripada terus-menerus berpikir, kuberanikan diri melangkah menuju pintu. Sosok seorang wanita berseragam hotel ini berdiri tepat di hadapanku, aku nyaris terpekik saat kulihat ia kembali menyebut namaku."Alina, matamu seperti melihat hantu saja.""Kau nyaris membuatku mati berdiri, Nisa. Astaghfirullah, aku lupa jika kau bekerja di hotel ini," ucapku sambil menepuk kepala."Dasar!"Tanpa dipersilahkan masuk, gadis berusia 26 tahun ini langsung melangkah mantap menuju ranjang, dan merebahkan diri di sana."Ah, nyamannya." Gumamnya terdengar olehku."Ak
"Ini kontrakan yang kuceritakan padamu, Alina, dan Itu rumah Bu Maryam, pemilik kontrakan ini," tunjuk Nisa pada bangunan rumah yang berjejer dan saling berhadapan ini padaku dan sebuah rumah bertingkat dua yang kira kira berjarak empat rumah dari kontrakan ini."Kalau gak salah yang paling ujung arah timur itu yang kosong," sambungnya."Rumahnya kelihatannya bersih, aku suka," Jawabku."Syukurlah jika kau suka. Alina. Kurasa lebih baik kita kerumah Bu Maryam saja. Biar kau bisa melihat bagian dalamnya." Ajak Nisa."Baiklah."Kami berdua berjalan menuju rumah bertingkat dua bergaya mediterania klasik ini, yang berjarak sekitar enam puluh meter dari tempat asal kami berdiri tadi.Sebuah pagar setinggi tiga meter seolah menyambut kedatangan kami, pagar besi berwarna hitam ini sangat kontras sekali dengan warna cat rumah yang nyaris berwarna putih.Satpam penjaga rumahnya, menyambut ramah kedatangan kami, Mendengar niat kedatangan kami, iapun mempersila
Aku baru saja melipat mukena, ketika kulihat Nisa sudah rapi dengan seragam kerjanya. Kulirik jam di dinding kamar Nisa, sudah menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit, masih sangat pagi untuk beraktivitas keluar rumah.Semalam aku memilih tidur dikamar Nisa dari pada dikamar yang telah disiapkan Nisa untukku, entah kenapa aku tak ingin tidur sendiri, aku takut akan memikirkan Mas Bayu jika tidur sendiri. Paling tidak untuk malam ini saja aku bisa sejenak melepaskan diri dari berpikir tentang dirinya.Tak semudah itu untuk melupakan cintaku pada Mas Bayu, tak cukup hanya dengan waktu sehari, seminggu atau sebulan. Aku mungkin akan butuh waktu lebih dari itu, untuk bisa lepas dari bayang-bayang Mas Bayu, karena cinta ini sudah mengakar cukup kuat dihatiku.Aku berpaling menatap Nisa, gadis dengan wajah oval dan postur tubuh tinggi bak model catwalk ini, sedang asyik mengoleskan pelembab kewajahnya."Kau mau berangkat sepagi ini, Nisa?" Tanyaku."Belum, na
PoV. Kania"Aku ingin pernikahan kita dipercepat, Mas. Jangan coba memberikan alasan untuk menolaknya, atau kau akan mendapat masalah," Jawabku langsung pada intinya.****"Kania, bisakah kau mengerti keadaanku sekarang? Alina hilang, dan aku masih belum tahu keberadaannya. Tolonglah jangan membuat masalahnya semakin runyam," kilah Mas Bayu.Aku mencebik kesal padanya, aku tahu, akan timbul penolakan darinya. Namun, aku tak ingin menunggu lagi, sudah cukup enam tahun bagiku untuk bersabar."Aku sudah bisa menduganya mas, karena itu aku ingin mempercepat tanggal pernikahan kita, aku tak mau menunggu sampai tiga bulan lagi. Aku mau pernikahan kita digelar bulan depan," desakku."Kania, kumohon tolong mengerti keadaanku sekarang," jawab Mas Bayu dengan sorot matanya yang memelas iba."Tidak mas. sudah cukup aku mengerti. Setidaknya pikirkan juga tentang diriku, jangan terus menggunakan Alina sebagai alasan. Aku tak mau mendengar alasan apapun. Sudah kup
Pagi ini tubuhku rasanya sangat segar, tidurku juga nyaman semalam. Meski lalu lalang kendaraan terdengar cukup berisik namun tak membuat tidurku terganggu.Masih kuingat percakapan kemarin dengan Mas Reyhan. Mata itu menyiratkan kesedihan dan juga kemarahan ketika aku bertanya siapa sosok itu padanya.[Seseorang Alina, seseorang yang sangat kusayangi. Dia adalah adikku. Adik perempuanku, Jenitha.]Setelah mengucapkan kalimat itu ponselnya tiba tiba berdering, untuk beberapa saat ia menjauh menerima panggilan teleponnya. Tak lama iapun pamit pada kami karena lupa jika ia mengundang seorang teman kerumahnya.Aku dan Nisa berterima kasih atas bantuannya hari ini, sebelum pergi ia berpesan agar aku tak perlu sungkan meminta bantuan padanya, sekali lagi aku berterima kasih atas kebaikan dan perhatiannya. Aku menoleh dan memandang Nisa, seolah tahu apa yang ada dalam benakku, Nisa kemudian bertanya."Aku tahu kau ingin bertanya apa yang terjadi pada Jenitha, kan
"Alina!" Aku langsung menghentikan langkah saat mendengar pekik seseorang memanggil namaku dari belakang, ketika baru saja menginjakkan kaki dilantai dua mall ini, segera saja kubalikkan badan, mencari tahu siapa gerangan.Wanita itu menatapku tajam, nafasnya masih terengah-engah dengan satu tangan diletakkan di atas dada, menandakan dirinya baru saja berlari dengan maksud mengejarku. Mata itu masih menyiratkan kebencian padaku. Sebisa mungkin aku berusaha bersikap tenang dihadapannya, meski sesungguhnya aku terkejut melihat keberadaannya disini."Kania, kau ... ada apa memanggilku?" Tanyaku."Kenapa kau tak pergi saja, sejauh mungkin dari kota ini, Alina?" Untuk sekian detik aku tertegun mendengar ucapan yang begitu lancang, siapa dia, dengan berani mengaturku?Aku menghela nafas panjang, aku tak ingin amarah yang seketika menjalar ini, akan membuatku terbakar. "Kita bicara disana, aku tak ingin menarik perhatian banyak orang disini," ajakku
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R