Aku menggeleng pelan, mendengar alasan Tante Nur. Bagaimana pun juga uang lah yang membuat wanita paruh baya itu bertahan dan uang juga yang membuat matanya tertutup kenikmatan dunia yang terkadang menyesatkan."Lalu kau meracuninya?""Ya, kupikir akan lebih baik ia mati saja dengan begitu aku tidak perlu lagi merasakan sakit hati karena sikapnya, apa aku salah jika mengharapkan kematiannya? Aku mencintainya tapi aku juga membencinya," ujar Tante Nur dengan mata yang tampak berkaca-kaca, sambil menaikkan salah satu sudut bibirnya.***Erika memiringkan kepalanya, memandang ibunya dengan dengan pandangan yang seakan tak percaya. Sungguh, bukan hanya dirinya, tapi aku juga merasa kepalaku terlalu sulit untuk kuajak berpikir.Ucapan Tante Nur yang entah mengapa mengingatkan aku pada Kania, wanita itu juga pernah mengatakan hal yang hampir sama. Mengingat Kania membuat suasana hatiku tiba tiba memburuk.Terkadang mencintai seseorang memang sesakit itu, aku pernah mengalaminya ketika bagai
"Aku sangat mengetahui perasaan seperti itu, Tante. Karena aku juga mengalaminya. Sebelum bertemu Alina, aku bahkan tidak bisa melihat wanita lain selain Aisyah.""Hanya saja yang tidak kumengerti adalah mengapa kau tega menghabisi nyawa Aisyah, apa kesalahannya? Jika karena wajahnya yang membuatmu merasa diejek oleh Sofia, ibunya, haruskah sampai melenyapkannya? Apa belum cukup kau memberikan kesengsaraan selama hidupnya?"Pertanyaan Mas Reyhan seketika membuatku melempar pandangan pada Tante Nur.****Tante Nur nampak menunduk. Wajahnya muram ketika mendengar pernyataan Mas Reyhan. Hanya ada keheningan yang terjadi sekarang di antara mereka.Erika masih berada didekat ibunya, matanya masih tampak basah. Aku tahu ia berusaha kuat untuk bisa mendengar semua hal yang menyakitkan ini.Beberapa detik berlalu dalam diam. Sama seperti diriku, Mbok Sum yang juga tampak begitu intens memandang mantan majikannya itu dengan tatapan nanar, seakan menyesalkan semua yang sudah terjadi."Mengapa k
"Karena itu kau memilih untuk melenyapkan dirinya, bukan begitu Tante?" Tuding Mas Reyhan yang disambut anggukan kepala oleh Fikri, temannya Mas Reyhan yang sedari tadi berdiri di dekatnya."Andai gadis itu tidak memberontak dan mengancam akan memberitahu pengacaranya dan membawa polisi, mungkin aku tidak berpikir untuk melenyapkankan nyawanya," sesal Tante Nur dengan mata yang tampak berkaca-kaca."Apa mungkin ia menyesal?" Bisikku pelan.***Wajah Tante Nur tampak muram, membuat keriput di dahinya semakin terlihat, sesekali tampak ekor matanya melirik putrinya dengan tatapan sayu.Semua orang dalam ruangan ini kini terlihat menunggunya bicara. "Apa sekarang kau ingin mengakui semuanya, tante?" Suara Mas Reyhan terdengar memecahkan kebungkamanTante Nur kembali luruh dan terduduk di lantai. Kepalanya menoleh dan memandang nanar pada Erika, putrinya."Hari itu, Aisyah mencariku dan bilang jika ia mengetahui semuanya." Ucapan Tante Nur terhenti sejenak, tampak ia seakan sedang mengat
Rasa pusing di tambah mual yang semakin lama semakin terasa akhirnya membuat kakiku terasa sulit untuk berdiri sekedar menopang tubuh ini. Sesaat aku merasa ruangan ini seakan berputar putar, lalu entah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa begitu lemah dan tak bertenaga."Mbak Alina, apa kau sakit?" "Mas Reyhan tolong!" Entah siapa itu yang sedang berteriak karena kedua kelopak mataku sudah terasa berat untuk kubuka, tak lama kudengar suara langkah kaki yang tergesa mendekat, dan hal terakhir yang bisa kuingat hanyalah aroma parfum Mas Reyhan yang sangat kusukai.***PoV ReyhanAku mendengar suara teriakan minta tolong dari arah sofa, segera saja aku menoleh, tampak disana Mbok Sum sedang memangku kepala Alina, spontan kutinggalkan saja pembicaraanku dan Fikri, bergegas ke tempat dimana Alina berada."Alina!""Apa yang terjadi padanya, Mbok?" Aku langsung bertanya sambil melirik Mbok Sum."Entahlah, Mbak Alina tiba-tiba lemas dan pingsan, mas," jawab Mbok Sum cemas.Aku duduk berlutut di
"Ada apa Erika?" Tanyaku yang mulai tidak nyaman dengan caranya menatapku."Mas, bolehkah aku minta satu hal padamu?" "Katakan, apa yang ingin kau minta padaku?" "Bisakah kau memelukku. Sebentar saja, mas. Setidaknya aku ingin merasakan berada dalam pelukanmu sekali saja," pinta Erika begitu mengiba.****PoV. Reyhan Tubuh Erika tampak gemetar, sorot mata sayu yang tampak begitu mengharap. Pandangan matanya lurus padaku, seperti seorang anak kecil yang sedang memohon.Bibir tampak sedikit terbuka, untuk sesaat lidahku kelu untuk mengeluarkan kata kata, suasana canggung seperti ini sungguh tidak begitu kusukai.Rasa iba menggantung disudut hatiku, melihat tubuhnya yang kaku menunggu jawaban atas pernyataannya. Aku tahu ia sangat terguncang dan terluka karena semua yang telah terjadi hari ini, Namun, memeluknya, haruskah ...?"Mas, setelah ini aku berjanji tak akan mengganggu hidupmu lagi. Kumohon tolong peluk aku sekali saja, itu sudah cukup bagiku," rintihnya memohon.Aku menunduk
Ah, iya. Hati hati di jalan." Ucapku.Aku memegang bahu Alina dan memapahnya keluar, wajahnya yang masih terlihat pucat, sungguh membuatku khawatir."Kita langsung kerumah sakit saja ya, aku benar benar khawatir padamu," pintaku yang langsung di sambut dengan wajah masam Alina.****Mobil yang kutumpangi tak bisa melaju kencang karena jalanan yang begitu ramai dan padat. Beberapa kali kami terjebak di lampu merah, membuat rasa mual dan pusing yang kurasakan kini semakin terasa.Tubuhku lemas, dan akhirnya memilih bersandar sambil sesekali memejamkan mata. Melihat wajah Mas Reyhan yang begitu tegang, aku tahu ia sangat khawatir padaku.Mas Reyhan memutuskan untuk mengantar Mbok Sum terlebih dahulu ke rumah saudaranya, sesuai dengan keinginan wanita paruh baya itu. Yang kebetulan searah dengan rumah sakit yang akan kami tuju.Kuambil beberapa tisu yang berada di dashboard mobil, untuk menutup hidungku, entah mengapa aroma pengharum mobil ini membuatku bertambah mual dan tak nyaman."Ada
Bukan tanpa alasan aku takut. Peristiwa Kania waktu itu masih membekas di hatiku, meskipun telah bertahun-tahun berlalu, tetap saja meninggalkan trauma yang mendalam.Entah mengapa aku bisa mengingat Kania malam ini. Mungkin saja karena aku terlalu lelah. Semoga saja itu hanya pikiranku saja karena sudah mengalami begitu banyak hal buruk beberapa hari ini. Batinku mencoba menghibur diri.***Senyum manis Diyara menyambut kedatanganku pulang ke rumah siang ini, gadis kecilku berlari riang sambil memegang boneka kesayangannya, membuat rasa rinduku langsung menguap.Tiga hari aku dirawat di ruang di rumah sakit. Kehamilan ini membuat tubuhku begitu lemas dan lelah.Bu Maryam, ibu mertuaku langsung memelukku erat, wajahnya tampak gembira sekaligus khawatir. Melihat sikapnya yang begitu hati hati padaku, membuatku yakin jika Mas Reyhan sudah memberikan kabar tentang kehamilanku padanya.Tangan keriputnya segera membawaku ke kamar. Aku tak menolaknya karena memang kepalaku terasa pusing di
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Baiklah, kau bisa ikut, nanti aku akan minta Pak Budi mengantar kita berdua, setelah mengantarku, akan kuminta Pak Budi untuk menemanimu, bagaimana?" Ucap Mas Reyhan menyerah."Tapi sebenarnya kau mau pergi kemana?" Pertanyaan Mas Reyhan membuatku seketika menelan ludah, haruskah aku mengatakan bahwa aku ingin tahu keberadaan Erika sekarang?***"Emm itu sebenarnya," ah, sial mengapa tiba-tiba mendadak tubuhku gemetar dan gugup. "Alina?!" Entah mengapa kali ini suara Mas Reyhan yang terdengar menakutkan."A-aku ingin memastikan keadaan Tante Nur," Jawabku gugup.Mata Mas Reyhan menyipit ketika mendengarnya, aku tahu rasanya perkataanku tadi mungkin terdengar konyol dan tidak masuk akal, tapi aku penasaran ingin tahu keberadaan Erika sekarang?Astaga, apakah aku cemburu?Entahlah, aku tak ingin mengakuinya, kurasa mungkin ini karena hormon kehamilanku, ah ... anggap saja begitu."Untuk apa, bukankah kemarin kita sudah melihatnya, ia nampak sehat dan baik baik saja," sahut Mas Reyhan g
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R