Rasa pusing di tambah mual yang semakin lama semakin terasa akhirnya membuat kakiku terasa sulit untuk berdiri sekedar menopang tubuh ini. Sesaat aku merasa ruangan ini seakan berputar putar, lalu entah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa begitu lemah dan tak bertenaga."Mbak Alina, apa kau sakit?" "Mas Reyhan tolong!" Entah siapa itu yang sedang berteriak karena kedua kelopak mataku sudah terasa berat untuk kubuka, tak lama kudengar suara langkah kaki yang tergesa mendekat, dan hal terakhir yang bisa kuingat hanyalah aroma parfum Mas Reyhan yang sangat kusukai.***PoV ReyhanAku mendengar suara teriakan minta tolong dari arah sofa, segera saja aku menoleh, tampak disana Mbok Sum sedang memangku kepala Alina, spontan kutinggalkan saja pembicaraanku dan Fikri, bergegas ke tempat dimana Alina berada."Alina!""Apa yang terjadi padanya, Mbok?" Aku langsung bertanya sambil melirik Mbok Sum."Entahlah, Mbak Alina tiba-tiba lemas dan pingsan, mas," jawab Mbok Sum cemas.Aku duduk berlutut di
"Ada apa Erika?" Tanyaku yang mulai tidak nyaman dengan caranya menatapku."Mas, bolehkah aku minta satu hal padamu?" "Katakan, apa yang ingin kau minta padaku?" "Bisakah kau memelukku. Sebentar saja, mas. Setidaknya aku ingin merasakan berada dalam pelukanmu sekali saja," pinta Erika begitu mengiba.****PoV. Reyhan Tubuh Erika tampak gemetar, sorot mata sayu yang tampak begitu mengharap. Pandangan matanya lurus padaku, seperti seorang anak kecil yang sedang memohon.Bibir tampak sedikit terbuka, untuk sesaat lidahku kelu untuk mengeluarkan kata kata, suasana canggung seperti ini sungguh tidak begitu kusukai.Rasa iba menggantung disudut hatiku, melihat tubuhnya yang kaku menunggu jawaban atas pernyataannya. Aku tahu ia sangat terguncang dan terluka karena semua yang telah terjadi hari ini, Namun, memeluknya, haruskah ...?"Mas, setelah ini aku berjanji tak akan mengganggu hidupmu lagi. Kumohon tolong peluk aku sekali saja, itu sudah cukup bagiku," rintihnya memohon.Aku menunduk
Ah, iya. Hati hati di jalan." Ucapku.Aku memegang bahu Alina dan memapahnya keluar, wajahnya yang masih terlihat pucat, sungguh membuatku khawatir."Kita langsung kerumah sakit saja ya, aku benar benar khawatir padamu," pintaku yang langsung di sambut dengan wajah masam Alina.****Mobil yang kutumpangi tak bisa melaju kencang karena jalanan yang begitu ramai dan padat. Beberapa kali kami terjebak di lampu merah, membuat rasa mual dan pusing yang kurasakan kini semakin terasa.Tubuhku lemas, dan akhirnya memilih bersandar sambil sesekali memejamkan mata. Melihat wajah Mas Reyhan yang begitu tegang, aku tahu ia sangat khawatir padaku.Mas Reyhan memutuskan untuk mengantar Mbok Sum terlebih dahulu ke rumah saudaranya, sesuai dengan keinginan wanita paruh baya itu. Yang kebetulan searah dengan rumah sakit yang akan kami tuju.Kuambil beberapa tisu yang berada di dashboard mobil, untuk menutup hidungku, entah mengapa aroma pengharum mobil ini membuatku bertambah mual dan tak nyaman."Ada
Bukan tanpa alasan aku takut. Peristiwa Kania waktu itu masih membekas di hatiku, meskipun telah bertahun-tahun berlalu, tetap saja meninggalkan trauma yang mendalam.Entah mengapa aku bisa mengingat Kania malam ini. Mungkin saja karena aku terlalu lelah. Semoga saja itu hanya pikiranku saja karena sudah mengalami begitu banyak hal buruk beberapa hari ini. Batinku mencoba menghibur diri.***Senyum manis Diyara menyambut kedatanganku pulang ke rumah siang ini, gadis kecilku berlari riang sambil memegang boneka kesayangannya, membuat rasa rinduku langsung menguap.Tiga hari aku dirawat di ruang di rumah sakit. Kehamilan ini membuat tubuhku begitu lemas dan lelah.Bu Maryam, ibu mertuaku langsung memelukku erat, wajahnya tampak gembira sekaligus khawatir. Melihat sikapnya yang begitu hati hati padaku, membuatku yakin jika Mas Reyhan sudah memberikan kabar tentang kehamilanku padanya.Tangan keriputnya segera membawaku ke kamar. Aku tak menolaknya karena memang kepalaku terasa pusing di
"Dari nomor yang sama, bicaralah dengan hati hati," pesannya.Aku mengangguk, hati hati sekali aku bangkit dan bersandar karena takut menggangu tidur Diyara. Tak lama, Mas Reyhan menyerahkan ponsel berwarna silver itu padaku."Halo!" Aku menyapanya lebih dulu, Namun, hanya suara statis jaringan yang kudengar, hingga tiga kali aku menyapa akhirnya suara seseorang terdengar membalas sapaanku dari ujung sambungan.***"Halo!?""Maaf, dengan siapa saya bicara?" Aku langsung bertanya, sambil mengaktifkan mode loudspeaker pada ponselku, agar Mas Reyhan juga ikut mendengarkan percakapan kami."Perkenalkan nama saya Merry, apakah ini nomor telepon Bu Alina, istrinya Pak Reyhan?""Iya, saya Alina, maaf ada perlu apa dengan saya, Mbak?" Tanyaku bingung sambil memandang Mas Reyhan yang terlihat penasaran."Bisakah saya bertemu dengan anda, bu? Ada sesuatu yang ingin saya beritahu pada anda. Sesuatu yang sangat penting," Dengan sopan, Ia balik bertanya.Untuk sesaat aku diam lalu memandang Mas R
Sepuluh menit kemudian akhirnya, wanita yang ku tunggu pun tiba. Aku tidak mengerti, ternyata ia sudah mengenalku lebih dulu, terbukti dengan langkahnya yang langsung menuju ke arahku, tanpa menghiraukan pengunjung cafe yang lain."Maaf, saya terlambat Bu Alina."Sapaan itu mungkin terdengar biasa, namun tidak bagiku, ucapannya telah membuktikan jika wanita ini mengenalku cukup baik."Kau mengenalku? Siapa kau?" Spontan aku bertanya padanya.**Aku menyipitkan mataku, memandangnya dengan seksama. Ku coba menggali ingatanku, sungguh, aku merasa yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya.Wanita itu mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan rok hitam dan blazer berwarna senada yang gantung di tangannya. Selain membawa sebuah tas 'Hermes Kelly' ukuran 30, ia juga membawa sebuah paper bag berwarna hitam dengan logo sebuah brand ternama.Wajahnya tersenyum ramah padaku, melihat sikap dan bahasa tubuhnya, kurasa ia datang dengan niat baik. Semoga, apa yang ku cemaskan tidak terjadi.Ah
Sekitar lima belas menit kemudian, Merry pamit, tentunya setelah saling bertukar nomor telepon terlebih dahulu. Tak lama ia pun melangkah dengan anggun keluar dari cafe ini.Melihat tubuh Merry yang telah menghilang dibalik dinding itu, Mas Reyhan yang sedari tadi duduk di meja lain kini beralih duduk di dekatku, dengan pandangan mata yang mengarah pada amplop coklat yang sudah terbuka itu.***"Amplop itu?" Tanya Mas Reyhan lalu meraih amplop coklat itu."Isinya uang dua puluh juta yang dipinjam Risa sebelum ia menghilang," Jawabku cepat."Mas mendengar semuanya kan?"Mas Reyhan menggeleng," tidak semuanya, begitu aku merasakan bahwa wanita tadi tidak akan berniat buruk padamu, aku memutuskan sambungan teleponnya." Terang Mas Reyhan lalu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya."Lalu surat ini sudah kau baca?""Surat? Ah iya, isinya hanya permintaan maaf Risa karena ia tidak bisa langsung mengembalikan uang yang dipinjamnya padaku," balasku singkat."Surat ini isinya tidak sepert
"Mana?" Mas Reyhan memalingkan wajahnya, mencari arah yang kutunjuk."Itu mas!" Mata Mas Reyhan mengikuti arah pandang yang kutunjukkan."Benar, itu memang dia." Sahut Mas Reyhan membenarkan."Tapi aneh mas, di mana Erika, lagipula lihatlah tangannya, ia hanya membeli sebungkus nasi saja," Ucapku sambil terus memandangi Tante Nur yang kini berjalan memasuki sebuah gang yang tak jauh dari warung makan tadi.***"Mungkin Erika sedang tidak ada di rumah jadi Tante Nur hanya membeli sebungkus nasi untuk dirinya sendiri," timpal Reyhan santai."Masa, rasanya aku tak percaya? Tapi ya mungkin saja."Mas Reyhan tampak tak begitu tertarik, wajahnya kini lurus memandang ke depan, menunggu lampu merah ini berubah hijau.Aku masih memandang gang itu, mengingatnya area ini dalam memori ingatanku. Kurasa tak ada masalah jika sewaktu-waktu aku ingin mengunjunginya. Entahlah, aku penasaran dengan keadaannya, apakah ia baik baik saja sekarang? Meskipun aku tahu bahwa perubahan gaya hidup pasti akan me