"Iya, mbok. Aku bisa mengerti. Wanita memang begitu, mereka akan membenci wanita lain yang berada disisi lelaki yang dicintainya. Aku mungkin juga akan bersikap seperti itu jika melihat Mas Reyhan bersama wanita lain. Mulutku pasti juga akan memaki dan membenci wanita pasangannya tersebut." Terangku pelan pada Mbok Sum."Hanya saja aku seakan masih tak percaya jika dia yang melakukan semua teror itu padaku," kembali aku bicara, berharap ada seseorang yang bisa menjelaskan semua ini. ***Aku kembali memandang Erika yang kini duduk terpaku, matanya menerawang jauh seolah jiwanya terbang tak berada ditempat ini. Sesekali terdengar gumaman lirih dari mulutnya, seakan sedang berbicara dengan seseorang.Kulirik Tante Nur yang memandang Erika dengan tatapan bosan. Keangkuhan masih terlihat dari bahasa tubuhnya. Berbanding terbalik dengan Erika yang terduduk dengan punggung yang melengkung.Beberapa saat berlalu, kebungkaman Erika akhirnya membuat Tante Nur mulai kehilangan kesabaran tampak
"Aku tahu, aku hanya ingin kau mengetahuinya. Setidaknya, itu membuatku lega. Aku menyerah, mas. Maafkan aku atas semua hal buruk yang telah kulakukan padamu. Sungguh, yang kuinginkan saat ini hanyalah hidup tenang dengan seseorang yang tulus mencintaiku." Ucapan Erika membuat Mas Reyhan refleks menepuk pundaknya."Suatu saat nanti, kau pasti akan menemukannya, Erika." Mata Erika mengedip begitu mendengarnya.***Erika mendongak menatap dalam wajah Mas Reyhan, tatapan mata yang masih terlihat mendamba, namun, tak membuat rasa cemburu lagi di hatiku, karena aku tahu, lelakiku tak akan pernah memberikan celah kecil di hatinya untuk wanita lain."Terima kasih, mas. Setidaknya, sekarang aku merasa sedikit lebih baik," balasnya."Semoga suatu saat aku bisa mendapatkan pria baik seperti dirimu," lanjutnya tersenyum."Kau akan mendapatkannya."Untuk sesaat, Erika kembali menunduk, isakan pelan terdengar dari bibirnya. "Dasar anak bodoh, kau kuliah di luar negeri namun tak bisa menggunakan
Bab 146"Halah, kau tak tahu rasanya hidup serba pas-pasan seperti itu. Harusnya kau bersyukur, bisa sekolah dan kuliah ditempat yang bagus, bisa membeli barang apapun yang kauinginkan, dan sekarang kau menyalahkanku setelah semua kenikmatan dan kemewahan itu kau nikmati? Anak bodoh!""Setidaknya ayahku menyayangiku," tegas Erika membela ayah kandungnya."Terserah kau saja, mama sudah tak peduli lagi. Lagipula, ayahmu itu sudah mati, tak ada perlunya lagi untuk dibahas," ketus Tante Nur sambil membuang muka.***Mendengar kalimat yang diucapkan Tante Nur, spontan Erika mendelik tajam pada ibunya, ada rasa tak terima dalam hatinya, membuat tangannya tanpa sadar mengepal.Suasana mendadak kembali hening. Tampak Tante Nur yang masih berdiri angkuh dan memalingkan wajah dari putrinya, seakan menghindari tatapan mata yang dihujamkan Erika padanya, atmosfir ruangan ini masih panas, membuat siapapun yang berada dalam ruangan ini merasa gerah. Kedua pria bertubuh besar yang berada di dekat
"Tuan dan Mbak Aisyah adalah orang baik, entah mengapa mereka bisa mengenal wanita seperti nyonya," lanjut mbok Sum bicara.Aku hanya diam dan memilih tak merespon ucapan mbok Sum. Rasa keterkejutanku masih membuatku belum bisa berpikir jernih."Mengapa?" "Mengapa kau menyalahkan Aisyah untuk perbuatan yang kaulakukan, Tante?" Suara Mas Reyhan terdengar berat, membuatku refleks menoleh padanya.***Ekor mata Tante Nur berpaling menatap Mas Reyhan dengan sorot mata yang sinis. Bibirnya masih tampak seperti menggerutu panjang, entah apa yang diucapkannya.Kulihat Erika yang masih duduk di anak tangga dengan kedua kaki yang menekuk, isakan pelan masih terdengar dari bibirnya, rasa kehilangan masih menyelimutinya.Aku bersandar di sofa, mencoba mencari sedikit ketenangan. Kulirik Mbok Sum yang di sebelahku pun terlihat menatap Erika dengan iba."Mengapa kau menyalahkan Aisyah, tante?" Terdengar Mas Reyhan kembali mengulang pertanyaannya."Aku tidak harus menjawabnya," tolak Tante Nur.Me
"Siapa pria ini?" Tanya Tante Nur."Jangan berpura pura bodoh, tante. Kau begitu sangat mengenal pria ini karena kau yang membayarnya untuk menabrak Aisyah hingga tewas."Ucapan Mas Reyhan membuat tubuhku menggigil dan membeku. Tuhan, apa yang baru saja kudengar ini? Menabrak hingga tewas, jadi Aisyah tidak meninggal karena Kecelakaan seperti yang pernah diceritakan Mas Reyhan padaku?****Tubuhku mematung diam karena tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar, bibirku pun kelu untuk sekedar mengucapkan sebuah kalimat. Kenyataan yang baru saja ku dengar ini membuatku semakin enggan mengasihani adik tiri papa itu.Bukan hanya aku yang merasa kejutan ini terlalu menyakitkan, tapi juga Mbok Sum yang sedari tadi duduk bersama denganku disofa ini juga merasakan hal yang sama . Tak lama, isakan pelan terdengar dari bibirnya yang tertutup rapat oleh kedua tangannya.Nafasku terasa sesak. Pernyataan Mas Reyhan yang menuduh Tante Nur cukup sulit untuk kuterima, Meski rasanya tak ingin me
Bab 149Dengan gugup pria itu mengangguk pelan. Nampak tubuhnya juga gemetar. "Iya, saya mengenalnya," jawabnya perlahan."Dialah wanita yang membayarku untuk menabrak seseorang."Perkataan pria bernama Amran itu membuat Tante Nur melempar tatapan yang begitu tajam padanya.****"Benarkah?" Aku menyipit memandang Tante Nur yang terlihat begitu geram."Tidak, itu tidak benar, pria ini berbohong, aku bahkan tidak mengenalnya, bagaimana mungkin bisa menyuruhnya menabrak Aisyah," Teriak Tante Nur menyanggahnya."Benarkah? Kau yakin tidak sedang berbohong, Tante?" Tanya Mas Reyhan sambil memiringkan kepalanya."Tentu saja tidak!""Bodoh, jika mempercayai ucapan pria itu, tuduhannya sama sekali tidak berdasar. Semua yang dikatakannya adalah bohong," lanjut Tante Nur membela diri.Aku melirik Mbok Sum yang memperhatikan pria itu dengan begitu seksama. Pria bertubuh tinggi, sedikit kurus dengan bola mata yang cekung dan lingkar mata yang agak menghitam itu nampak gugup dan berkeringat dingin
"Apa yang kau katakan? Bukankah Aisyah memang tertabrak?" Suara Tante Nur tampak gugup, meski demikian ia masih saja mempertahankannya kebohongannya.Pertanyaan yang di lontarkan Tante Nur, membuat Mas Reyhan tertawa."Menarik sekali, entah mengapa bicara denganmu membuatku bersemangat, Tante," ujar Mas Reyhan "Baiklah, karena kau yang meminta, maka aku akan membawanya kesini padamu," ucap Mas Reyhan lalu memanggil salah seorang pria berbadan besar yang ada berdiri didekatnya.****"Bang, coba lihat kedepan, apakah ada seorang wanita dan pria sudah menunggu disana.""Terakhir aku menelpon mereka, katanya sedang dalam perjalanan kemari. Kurasa sebentar lagi mereka akan tiba," pinta Mas Reyhan sambil melirik arloji ditangannya."Beres bos. Begitu mereka tiba, akan segera kubawa kesini." Sahut Bang Togar, pria bertubuh besar itu, lalu berbalik meninggalkan ruangan menuju ke halaman depan.Kulihat rahang Mas Reyhan sedikit mengeras. Sanggahan Tante Nur yang menolak mengakui bahwa dirinya
Hentakan ujung sepatu terdengar ramai dan mendekat padanya. Setidaknya ada lebih dari dua orang sedang melangkah kemari, membuat perasaan tak nyaman yang kurasakan sedikit menghilang. Tak lama, Togar dan dua orang yang tidak kukenal masuk kedalam. Semua pandangan kini terfokus pada mereka, kulihat wajah Tante Nur semakin muram. Entahlah. Karena saat ini kulihat tangannya mengepal kuat hingga buku buku-buku jarinya sampai memutih."Terima kasih bang," ujar Mas Reyhan pada pria bertubuh besar dan tegap itu. Beberapa saat kemudian."Siapa mereka?" Aku berbisik pelan. ***Tampak disana berdiri dua orang yang tidak kukenal, seorang pria berbadan tegap berpakaian formal sedang berbicara dengan Mas Reyhan, sedang satunya lagi adalah seorang wanita berpostur sedikit mungil dengan rambut coklat yang di curly.Mataku menyipit mencoba mengingat. Namun, tetap saja aku tak mampu mengingat apapun. Kurasa memang sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan mereka berdua.Aku mengalihkan pandanganku