Hari ini up hanya 1 bab ya, besok aku up 2 bab lagi. makasih untuk yg masih baca ♡♡
PLAAAKK!!! Bella terhuyung dan hampir saja jatuh tersungkur ke atas lantai, ketika mendapatkan tamparan keras dari Chelsea. Untung saja ada Renata dan Axel yang segera menahan tubuhnya. "Sekali jalang tetaplah jalang!" Bentak wanita paruh baya itu dengan menatap Bella nyalang. Wajahnya dipenuhi rasa geram dan benci yang memuncak kepada satu orang yang ia pandangi dengan tatapan penuh permusuhan. "Hentikan, Chelsea!" Renata menahan tangan ibunya yang kembali hendak melayang menampar Bella untuk yang kedua kalinya. "Jangan lampiaskan semuanya kepada Arabella, karena ini bukan salahnya!" Chelsea melepaskan cengkeraman Renata dengan gusar. "Bukan salahnya, kau bilang?!" Sergahnya kasar. "Regan menjadi koma gara-gara dia, Renata! Kenapa kau begitu buta, hah?! Apa jalang ini juga sudah mencuci otakmu seperti yang dia lakukan kepada Regan?!" Bella menggigit bibirnya keras-keras, berusaha memindahkan rasa nyeri yang mengiris hatinya ke bibirnya yang tergigit dan mulai menetes
"Jangan bergerak, kalau tidak mau pisau ini menusukmu!" Bella pun terhenyak ketika suara serak dan napas berbau tembakau menghembus di samping wajahnya, berpadu dengan sesuatu yang tajam terasa sedikit menusuk pinggangnya. Hujan telah turun dengan perlahan sejak sepuluh menit yang lalu, membuat Bella terpaksa harus berteduh di sebuah halte yang sepi. Pikirannya yang kusut sedang mengembara tak tentu arah saat tiba-tiba tiga orang lelaki berjalan menembus hujan yang mulai deras dan mengepungnya. "Kaa-kalian mau apa? Saya tidak punya uang!" Bella berucap lirih dengan wajah yang memucat karena ketakutan. Pandangannya menyapu suasana sekitar, dan meringis saat tidak melihat siapa pun untuk dimintai tolong. Hujan sepertinya membuat semua orang mencari tempat berteduh, dan sialnya halte dimana Bella berada justru sangat sepi. "Ikut kami. Dan jangan pernah mencoba untuk berteriak atau melarikan diri kalau kamu masih sayang nyawa!" Gertak lelaki bernapas tembakau yang masih memak
"Aku adalah George Bradwell. Regan dan Renata adalah putra dan putriku." 'George Bradwell?' Kedua manik coklat Bella pun semakin membelalak sempurna. Tenggorokannya terasa tercekat seperti tersumbat. Tak ada yang bisa ia ucapkan untuk menyahut perkenalan diri lelaki paruh baya itu. "Ha-halo, Tuan George," akhirnya Bella pun bersuara meski gugup. Tak pernah terbayangkan sedetik pun dalam hidupnya jika ia telah diselamatkan oleh orang yang juga merupakan ayah kandung Regan. George tersenyum sangat tipis hingga hampir tak kentara, jika saja Bella tidak memperhatikan sudut-sudut bibirnya yang hanya sedikit saja melekuk ke atas. Aura misterius yang terpancar kuat dari dirinya mengingatkan Bella pada saat pertama kali ia bertemu dengan Regan. Betapa miripnya ayah dan putranya itu, hingga Bella seakan-akan merasa bahwa saat ini Regan-lah yang sedang berdiri di hadapannya. "Sepertinya kamu masih membutuhkan istirahat. Aku akan kembali lagi nanti." "Tu-tunggu, Tuan." Bella memanggil
Chelsea melangkah tergesa menuju ruang rawat VVIP dimana Regan dirawat, namun ia kesulitan untuk bertemu dengan putranya itu, karena ruangannya dipenuhi oleh dokter dan petugas medis yang sedang memeriksa kesehatannya. Renata datang dan menarik tangan ibunya dan mengajak ibunya untuk duduk di kursi di depan kamar rawat. "Regan belum bisa ditemui sekarang, karena dokter sedang memeriksany secara intensif," bisik putrinya itu kepada Chelsea. Akhirnya kedua wanita itu pun memutuskan untuk keluar dari ruangan. "Apa dia bisa berbicara?? Apa yang dia katakan ketika sadar??" Chelsea bertanya dengan tidak sabar. Renata menatap ibunya itu sejenak. "Saat Regan sadar, ada aku dan Patricia ysng sedang berada di dalam ruangan," sahut Renata membuka cerita. "Regan tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke atas seperti sedang menggapai sesuatu entah apa. Aku pun langsung memanggil dokter saat itu juga. Namun sebelum dokter datang, Regan ternyata telah membuka mata." "Lalu??" tukas Chelsea tak
Regan sudah sadar? Tubuh Bella membeku sejenak setelah mendengar berita yang disampaikan oleh George. Regan, orang yang setiap malam sebelum ia tidur selalu menjadi salah satu nama yang turut terucap dalam doanya... telah sadar dari koma? Jika saja saat ini Bella sedang berdiri alih-alih duduk di sofa, mungkin ia tidak akan sanggup untuk menopang tubuhnya yang mendadak lunglai tak bertenaga. Ia bahagia. Sungguh. Untuk saat ini tak ada yang paling ia inginkan selain kesembuhan yang sempurna untuk lelaki itu. Meskipun akan selalu ada perih yang terasa menusuk jiwa Bella, karena dirinya yang ingin sekali dapat mendampingi Regan di masa-masa penyembuhan seperti apa yang dulu lelaki itu lakukan padanya, saat Bella berusaha untuk berlatih berjalan. "Jadi apa keputusanmu, Bella? Apa kamu mau bertemu dengan Regan? Ataukah melupakannya saja, dan melanjutkan kehidupan barumu di sini?" Ulang George lagi. Bella menelan ludahnya sebelum menjawab. Ia memang baru saja menata hidupnya di Singa
**FLASHBACK DUA HARI SEBELUMNYA** "George, kurasa... aku... aku tidak akan kembali kepada Regan," tukas Bella seraya mengepalkan kedua tangannya untuk menguatkan diri. "Begitukah?" Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk pelan untuk sesaat. "Boleh kutahu apa alasannya?" "Terlalu banyak alasannya, hingga aku tak tahu lagi harus dari mana untuk menjelaskannya." Secarik senyum sedih menghiasi bibir merah muda alami tanpa perona itu. Bella merasa cukup tahu diri dengan keadaannya. Bukan cuma Regan masih terikat pernikahan dengan Patricia, dan Chelsea yang sangat membencinya, kini bertambah satu lagi penghalang antara cinta mereka. Ada seseorang yang menginginkan kematian Bella, dan pada akhirnya hal itu malah berakibat fatal untuk Regan yang terbaring koma, gara-gara ingin melindungi dirinya. Bella tidak akan pernah membuat Regan berada dalam bahaya lagi. Ia harus menjauh dari pria itu, meskipun hatinya seolah menjerit ingin bertemu. "Bagaimana jika aku memberikan informasi yang m
"Halo juga, George." Chelsea kini saling berdiri berhadapan dan beradu pandang dengan lelaki yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati. Bahkan dulu harga dirinya pun rela ia singkirkan, demi untuk mendapatkan cinta dari seorang George Bradwell, meskipun ternyata cinta itu tak jua datang untuknya. "Syukurlah kamu terlihat sehat," ucap George tersenyum, seraya mengamati wanita di depannya lamat-lamat. Wanita itu pun menghela napas pelan. Bertemu dengan lelaki yang dulu menjadi suaminya benar-benar sebuah kejutan yang tidak ingin ia dapatkan hari ini. Atau hari-hari lain juga, jujur saja. "After all these years, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Chelsea sembari mengerutkan kening. "Aku mendengar kabar kalau Regan kecelakaan. Aku hanya ingin mengetahui bagaimana keadaan putraku," sahut George santai. "Sekaligus juga menemui Renata untuk melepas rindu." Wanita bersurai pirang berpotongan bob itu pun memicingkan netra biru safirnya. "Kau sudah berjanji untuk tidak akan perna
Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber