Pria yang mengaku bernama David, membantu Hana bangkit dari lantai. Pria itu tersenyum, menyebabkan dua cekungan tampak di kedua pipinya. Menambah manis senyuman pria itu.“Terima kasih.” Hana berucap sambil mengibaskan tangan kanan di pakaiannya, berharap debu yang menempel di pakaiannya ketika dia terjatuh di lantai segera hilang.“Sama-sama,” sahut David. Dia lalu mengulurkan tangannya pada Hana seraya berucap, “Kenalkan, namaku David.”Hana menoleh dan tersenyum seraya menerima uluran tangan David. “Hana.”“Hm, sebuah nama yang bagus. Sama seperti wajahnya,” puji David yang untuk ke sekian kalinya tersenyum pada Hana. “Kamu sepertinya bukan dari negara ini. Dari aksen bicara kamu, sepertinya kamu dari Indonesia, benar?”Hana mengulum senyuman dan menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Benar, saya kemari hendak mengikuti audisi di lantai lima.”“Oh, begitu rupanya. Apa kamu di Indonesia juga seorang model?” tanya David serius.“Iya, saya seorang model pendatang baru di Indonesia.
Hana memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di depan gedung tempat dia melakukan audisi. Dia segera menyebutkan alamat yang akan dituju, yaitu pusat perbelanjaan tempat dia diantar oleh suaminya tadi pagi.Setibanya di depan pusat perbelanjaan itu, Hana bergegas turun dan melesat masuk ke dalam gedung lalu mulai berbelanja. Ponselnya berdering kala dia sedang mencoba high heels berwarna coklat susu.“Pas banget Mas Dhika telepon di saat aku sudah ada di sini,” gumam Hana, yang langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Mas,” sapa Hana ceria.“Halo, Han. Kamu masih ada di sana?” sahut Andhika.“Masih dong, Mas. Aku masih betah pilih-pilih sepatu,” sahut Hana beralasan. Dia lalu melirik high heels yang kini melekat di kakinya.“Ok, nanti aku jemput dan kita makan siang bareng kayak biasa. Aku tutup dulu teleponnya,” kata Andhika, yang lantas menutup sambungan teleponnya.Hana menarik napas lega ketika sambungan teleponnya telah berakhir. Dia kembali mematut di depan cermi
Hana akhirnya membuka juga kedua bibirnya, dan pasrah saat Andhika menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dia tak peduli kalau saat ini ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Saat ini Hana hanya ingin menikmati perhatian yang Andhika berikan. Mumpung pria itu belum berubah sikap yang membuat Hana sebal.“Nah, habis juga kan makannya, Han.” Andhika mengulum senyuman ketika dilihatnya Hana tersipu.“Iya, malu juga tahu, Mas. Aku lirik ke kiri dan kanan, mereka pada menonton kita. Si Bagus juga ikutan menonton sambil senyam senyum sendiri. Kamu sih pakai acara suapi segala,” sahut Hana pura-pura merajuk. Padahal itu hanya akal-akalan Hana saja untuk menutupi rasa gugupnya.“Biar saja mereka menonton. Mereka pasti iri melihat kita. Kalau yang perempuan, pasti iri karena nggak disuapi oleh suaminya. Nah kalau yang lelaki, iri juga dengan sikapku yang gerak cepat perhatian sama kamu, sedangkan mereka nggak bisa melakukan itu pada istri mereka. Terus kalau si Bagus, dia pa
Andhika melepaskan tangan Hana dari genggamannya, ketika punggung tangan istrinya itu sudah dilapisi salep dengan sempurna. Setelahnya, dia menatap tajam wajah Hana.“Kamu ini memang keras kepala! Disuruh menurut sama suami saja susah.” Andhika lalu menyerahkan benda mungil yang dia pegang pada Hana, kemudian melangkah ke arah balkon kamar hotel dan duduk di sana.“Ck, ngambek lagi deh. Tukang ngambek juga ternyata. Menyuruh aku menurut, tapi statusku hanya satu tahun saja jadi istrinya. Dasar lelaki egois,” gerutu Hana.Hana melangkah ke arah nakas dan meletakkan salep di sana. Kemudian dia melangkah ke balkon, menyusul sang suami dan duduk di sebelahnya.“Mas, maaf kalau kata-kataku tadi bikin kamu marah. Tapi, seharusnya kamu paham dong. Aku sudah menjadi seorang fotomodel ketika kita bertemu. Profesiku itu juga yang menyebabkan kita ini menikah, walaupun hanya satu tahun saja. Jadi jangan paksa aku untuk meninggalkan pekerjaanku itu. Mas kan tahu kalau aku ini tulang punggung kelu
“Maaf, Tania. Aku hanya ingin makan malam berdua dengan istriku. Kamu tahu kan kalau kami baru saja menikah. Jadi kami ingin menikmati waktu berdua saja,” sahut Andhika tenang. Dia tetap menggenggam tangan Hana dengan cukup erat.Tania yang kecewa dengan penolakan Andhika, tak langsung putus asa dan tak ingin segera pergi dari tempat itu. Dia melirik Bagus yang berdiri tak jauh dari mereka.“Dia kayaknya ikutan ke kabin untuk makan malam, iya? Kenapa aku nggak boleh? Kalau kamu mau berdua sama istri kamu, silakan. Aku mau sama dia saja. Kalian pasti satu kabin, bukan?” ucap Tania dengan seringai licik terbit dari bibirnya.Andhika lalu menatap Bagus dengan tatapan penuh arti.“Gus, bagaimana? Kamu pesan untuk berapa orang di makan malam ini?” tanya Adhika datar.Bagus yang paham dengan tatapan mata Andhika, dan juga intonasi suara bosnya itu langsung paham kalau Andhika tak menyukai Tania ada di antara mereka. Sebagai asisten pribadinya yang sudah bekerja cukup lama dengan Andhika, me
Hana yang tak terima dirinya dibentak oleh Andhika, langsung mendekatkan wajahnya ke telinga Andhika.“Ingat perjanjian kita, Mas! Kalau kamu menyakiti hati maupun fisikku, perjanjian kita batal!” bisik Hana yang membuat Andhika tersentak, karena lupa akan isi perjanjian yang telah mereka sepakati.Andhika yang tersentak, tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian, dia tersenyum tipis ketika menatap Hana. Dia juga mendekatkan wajahnya ke telinga sang istri dan berbisik di sana.“Di perjanjian itu juga disebutkan supaya kamu harus setia padaku, walaupun hanya satu tahun. Aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu ada kenalan di sini. Apa sudah lama kenalnya? Apa kamu ada hubungan dengannya?”Hana membulatkan kedua matanya mendengar ucapan Andhika yang seolah dia sudah tak setia.“Aku dan dia hanya berteman, Mas. Nggak lebih!” desis Hana penuh penegasan.“Benar?”“Iya!”Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga akhirnya mobil
Andhika menggandeng tangan Hana ketika mereka sedang menuruni anak tangga pesawat.“Mas, aku nanti mau ke rumah ibuku, boleh kan?”“Boleh dong. Nanti sama aku ke sana. Aku juga mau silaturahmi ke rumah mertua.”Hana tersenyum mendengar penuturan suaminya yang menyejukkan hati. Dia pun menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. Tak peduli dengan kehadiran Bagus yang melangkah di belakang mereka. Semenjak penyatuan mereka tadi malam, hubungan mereka menjadi mesra. Jika awalnya Hana merasa canggung bergelayut manja di lengan kekar suaminya, kini dia tak ragu lagi melakukan semuanya itu. Bergelayut manja di lengan kekar Andhika maupun menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.Setelah selesai urusan bagasi, mereka pun melangkah ke pintu keluar bandara. Di sana sudah menunggu sopir pribadi Andhika.“Selamat pagi, Pak.” Sopir Andhika mengangguk sopan dan membuka pintu mobil penumpang belakang.“Selamat pagi, Mang Udin,” sahut Andhika ramah. Dia lalu mempersilakan Hana untuk masuk terlebih dah
Hentakan high heels milik Lestari menggema di lorong lantai enam sebuah gedung apartemen. Langkahnya terhenti ketika sudah tiba di salah satu unit apartemen. Wanita paruh baya itu menekan bel yang ada di daun pintu.Tak lama, seorang pria muda berusia di kisaran tiga puluhan muncul di ambang pintu. Pria itu pun tersenyum dan mengangguk hormat pada Lestari.“Selamat pagi, Bu Tari. Silakan masuk!” ucap pria itu. Dia lalu membuka daun pintu tersebut lebar-lebar, dan menggeser tubuhnya ke samping agar Lestari dapat masuk ke dalam unit apartemennya.“Terima kasih, Noval,” sahut Lestari. Dia lalu melangkah masuk ke dalam unit apartemen dan duduk di sofa. Lestari lalu menunjuk sofa yang ada di hadapannya, mengkode agar Noval duduk di sana.Noval pun menuruti titah Lestari. Dia duduk di sofa tersebut dan menatap lekat wajah Lestari.“Ada apa, Bu? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Noval.“Aku ingin kamu memberi pelajaran pada seorang wanita. Aku geram padanya, karena dia sudah berani menikahi A
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me