Setelah makan malam, Barbara mulai menjalankan rencananya diam-diam. Sejujurnya dirinya tak pernah lagi masuk ke dalam kamar Luther, entah Luther akan mengizinkan dia masuk atau tidak. Akan tetapi Barbara berniat untuk menjebak Luther yang diduga sedang mabuk.Barbara membuka pintu perlahan, berusaha untuk mengendap-endap mendekati Luther. Pada saat itu, pria itu tengah duduk membelakanginya dengan kondisi kamar yang berantakan oleh pecahan botol wine dan isinya yang sudah mengotori karpet di kamar itu.'Apakah dia menyadari kedatanganku?' batin Barbara.Wanita itu tetap berhati-hati dalam melangkah, takut juga dia menginjak pecahan botol. Begitu sampai di belakang Luther, tanpa ragu dia mengalungkan lengannya ke leher Luther. Mendekap pria itu dari belakang.Tubuh Luther terasa membeku di tempatnya. Tanpa Barbara duga, Luther lalu melepaskan tangannya dan berbalik menatap wanita itu."Kau! Apa yang kau lakukan di kamarku, Barbara? Aku tidak mengizinkan siapa pun sekarang untuk masuk
Jhonatan terkejut ketika dia mendengar ada suara pintu yang tertutup kencang malam itu ketika dia sedang ada di dalam kamar. Hatinya tergerak untuk segera mengecek ke luar dan dirinya melihat ada siluet orang meninggalkan halaman rumah mereka."Siapa itu? Apakah itu perampok?" Jhonatan mulai bersikap waspada di tempatnya. Dia langsung berkeliling memeriksa setiap jengkal dari rumahnya. Sempat dia memeriksa keluar namun jejak sang perampok tak dia temukan. "Ke mana perampoknya pergi?"Karena tak juga mendapatkan hasil, akhirnya Jhonatan pun masuk kembali ke dalam rumah. Pada saat itu, dia mendengar handphone yang dia simpan di kamar berbunyi. Cepat-cepat Jhonatan memeriksanya dan menemukan pesan dari Noah.[Jhonatan, aku merasa sepertinya aku harus segera meninggalkan Wichita. Tapi aku tak mau pergi sebelum bertemu dengan Anneliese. Jadi, tanpa kau izinkan sekali pun ... aku akan tetap menemuinya. SEKARANG. LALU SELAMAT TINGGAL!]Mata laki-laki itu terbelalak tak percaya. Rasa panik
Jhonatan menatap khawatir pada Lola melalui kaca spion mobilnya. Lola masih bergeming dengan tubuh yang gemetar hebat. Air mata tak hentinya mengalir dari mata gadis itu."Lola, katakan padaku. Apakah dia yang menjadi alasanmu untuk pergi dari rumah?"Perlahan Lola menganggukkan kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya. Kali ini tangisnya pecah pada saat itu juga. Lola sudah berusaha untuk mencoba kuat, namun tak bisa. Dirinya merasa sangat kotor karena kembali mengalami pelecehan yang dilakukan oleh ayah tirinya.Jhonatan juga ikut gemetar karena amarah yang kembali menguasainya. Dia masih tak habis pikir mengapa setega itu Noah sampai hati menodai anak tirinya sendiri."Kapan ... dia melakukan itu padamu? Bisakah kau ceritakan semuanya padaku?"Sepertinya Lola masih tak kuasa untuk menceritakan segala hal yang dialaminya. Hanya air mata yang menjadi saksi betapa getir dan menyakitkan hidup yang telah dia jalani. Jhonatan kini merasa sedih. Dia tak lagi meminta Lola untuk bercerita.
Jhonatan kembali ke rumah sakit tanpa banyak bicara. Dirinya lalu memberikan beberapa perlengkapan untuk Lola. Joyce menghampiri Jhonatan dengan khawatir."Bagaimana, Tuan Muda? Keadaan sudah aman?""Aku tidak tahu, Joyce. Ketika aku pulang ... kondisi kamar itu sudah kosong. Ayah tak ada di mana pun." Jhonatan menjelaskan.Joyce terdiam cukup lama, antara dia percaya Noah sudah pergi atau mungkin berpura-pura pergi seperti sebelumnya."Tuan Muda, untuk sementara lebih baik selama beberapa hari ini kita semua tinggal di rumah sakit saja. Saya rasa, tempat teraman pada saat ini adalah rumah sakit.""Kau benar." Jhonatan menyetujui. "Aku juga berpikir seperti itu. Dan mungkin .... ""Mungkin apa, Tuan Muda?" Joyce bingung.Jhonatan menyadari jika dirinya terlalu banyak bicara. "Ah ... tidak."Jhonatan hanya dapat memendam isi pikirannya untuk memulangkan Lola seorang diri. Dia tak mau Lola mengetahui rencananya yang sudah dia setujui di dalam hati.Tanpa terasa mereka bersama telah berj
Jhonatan memasang badannya untuk Lola. Dia kini membalas sikap tak bersahabat Luther dengan senyumnya."Kita masih ada urusan. Aku ingin mengembalikan Lola ke mansion ini."Luther terlihat terkejut mendengar ucapan Jhonatan tadi. Tatapannya justru seperti terkesan sinis padanya."Wah-wah. Ada angin apa? Laki-laki yang mengatakan dengan percaya diri bahwa dia mencintai Lola dan bisa melindunginya apa sekarang sudah menyerah?"Jhonatan sempat terdiam, merasa tertohok dengan sindiran Luther tadi. Tapi dia sudah membulatkan tekad untuk mengembalikan Lola sehingga dia memberanikan diri untuk menghadapi Luther."Aku akui jika kata-kataku kemarin merupakan sebuah kesalahan. Aku berbohong padamu. Lola sama sekali tidak mencintaiku. Aku mengatakan hal itu hanya untuk membuat kau menyerah mengajaknya pulang dan membiarkannya tinggal bersama ibu kami di Wichita."Luther kini menaikkan sebelah alisnya. Meragukan ucapan dari Jhonatan."Jadi ... semua itu hanya kebohongan yang kau rekayasa? Lalu ken
Luther kembali menghampiri Lola. Cepat-cepat dirinya menyangga tubuh Lola yang terasa lemas tak bertenaga."Lola! Tenangkan dirimu."Wajah Lola begitu pucat. Dengan hati-hati Luther menggiringnya untuk duduk di sofa. Dia memberikan Lola segelas air agar gadis itu bisa tenang."Aku tahu, ini adalah kenyataan pahit yang tak mudah di terima. Makanya aku baru mengatakannya padamu sekarang karena aku tahu kau tak akan siap mengetahuinya," lanjut Luther perlahan.Lola hanya bisa diam di tempatnya. Luther mengambil posisi berlutut di hadapan Lola. Dia menggenggam kedua tangan gadis itu yang sudah sangat dingin dan berkeringat."Lola, apakah ... terjadi sesuatu kemarin di rumahmu? Bisa kau beritahukan padaku?"Lola awalnya tak bisa menceritakan. Tangisnya mendadak pecah begitu saja tatkala mengingat kebejatan sang ayah tiri pada dirinya, namun dengan lembut Luther berusaha menenangkannya."Ayah ... dia mengetahui jika aku adalah wanita yang dia temui di hotel itu. Aku adalah ... wanita yang ka
Daniel menaikkan sebelah alisnya. Dia kemudian tersenyum dan mulai menuang kembali anggur yang dengan cepat disambar lagi oleh Barbara sampai habis."Tuang lagi!" perintah Barbara cepat.Daniel menuruti keinginan Barbara. Dia terus menuang anggur di gelas kosong itu. Kali ini Barbara tidak langsung meminumnya."Kenapa Luther malah mementingkan gadis itu? Apa dia benar-benar jatuh cinta? Kupikir dia sudah tak dapat jatuh cinta lagi setelah peristiwa itu."Daniel tetap diam di tempatnya masih mendengarkan racauan dari Barbara. Kemudian dia mulai mendapatkan ide untuk rencananya, memanfaatkan momen saat Barbara sedang mabuk."Menurutku ... bukankah semua yang sudah terjadi itu adalah hal yang mesti dikubur saja? Jalan kita masih panjang. Luther juga butuh pendamping yang benar-benar dicintainya dan dapat mengisi kekosongan hatinya."Barbara melotot pada Daniel. Dia tak setuju dengan apa yang baru saja diungkapkan oleh laki-laki itu."Apa? Maksudmu, Luther tidak mencintaiku dan malah memi
"Lepaskan aku! Kau gila!" bentak Barbara. "Sudah kubilang, aku tidak mau berurusan denganmu lagi! Aku akan hidup bahagia menjadi satu-satunya wanita yang mendampingi Luther!"Daniel terlihat amat sangat terluka. Dia akhirnya melepaskan Barbara dan membiarkan wanita itu pergi. Sebelum pergi, Barbara terlihat berdecih pada Daniel. Daniel pun tertawa getir."Jadi ... ini benar-benar pertemuan terakhir kita?"Barbara menghentakkan kakinya keras menunju ke arah parkir mobil. Dia masih tak terima ditipu seperti itu oleh Daniel yang jelas-jelas memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan."Sialan, laki-laki itu!"Barbara memacu mobilnya kencang keluar dari area penthouse. Pikirannya kacau dan campur aduk karena masalah ini. Dirinya bahkan tak peduli pulang dalam kondisi berantakan di waktu pagi. Dia sampai di mansion tepat pada waktu sarapan.Barbara sedikit merapikan penampilannya melalui kaca spion. Dia juga berdandan sedikit sebelum masuk ke dalam mansion. Setelah menghela napas panjang, B
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka