Luther tidak langsung menjawab ucapan Noah. Dia masih terlihat ragu dan menimbang-nimbang segala sesuatunya. Noah masih menunggu jawaban dari Luther."Bagaimana Tuan Luther? Dalam proyek ini, bukan hanya Anda yang mengeluarkan modal. Tapi aku juga." Noah mengungkapkan kesulitannya."Baiklah. Aku akan menuliskan cek untukmu. Untuk membantu operasional pelaksanaan mega proyek ini. Kuharap dalam tahun ini, gedung pencakar langit ini bisa selesai dan tidak terhambat lagi." Luther pada akhirnya mencoba untuk mempercayai ucapan dari Noah.Mata Noah terlihat berbinar pada saat itu. Dia tak sabar untuk bisa menarik uang pemberian dari Luther untuk dia persembahkan pada wanita kesayangannya yaitu Virginia.Luther pun memanggil kembali Cassandra untuk membawakan buku cek yang ada di laci meja kerja Luther. Cassandra datang membawakan buku cek itu beserta dengan penanya."Baiklah. Satu juta dollar, 'kan? Aku akan menulis ceknya untukmu." Luther beranjak menggoreskan nominal pada lembaran cek yan
"Apa?" Luther mulai tak nyaman begitu mendengar pengakuan dari Cassandra. Ada rasa was-was di dalam hatinya. Khawatir Noah akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Cassandra."Apa yang harus ... kulakukan?" Cassandra terlihat kebingungan di tempatnya. Sejujurnya dirinya tidak nyaman didekati oleh Noah. Begitu dulu menjalin bisnis dengan Noah pun, dia sebenarnya ogah-ogahan.Luther tertegun di tempatnya. Alisnya berkerut, terlihat jelas jika dia sedang berpikir keras. Jeremy menghampiri dengan khawatir."Bos .... "Luther kini menatap Jeremy serius. "Jeremy, aku pikir perilaku Noah tak dapat kita biarkan lagi. Coba kau hubungi informan langganan kita untuk menyelidiki semua berkaitan proyek yang tertunda ini. Aku benar-benar curiga ada udang di balik batu.""Baik, Bos." Jeremy bergerak cepat untuk menghubungi informan langganan Luther.Sekarang Luther beralih menatap Cassandra begitu lekat. "Untukmu, kau harus berhati-hati. Aku dan Jeremy akan mengantarmu sampai ke rumah nanti."Ca
Lola merasa tubuhnya semakin lemah dan kepalanya sangat berat pada saat itu. Padahal sebelum memutuskan untuk tidur siang, dia sudah beberapa kali muntah."Apa mungkin aku sedang sakit? Apakah aku masih terkena jetlag sehingga merasa seperti ini? Lebih baik aku makan dulu."Lola memaksakan diri keluar dari kamar dan menuju ke ruang makan untuk mencari makanan pengganjal perutnya. Dia begitu bahagia menemukan beberapa potong roti yang tersimpan di bufet. Dengan segera, dia memakan roti itu."Aku masih sangat lapar. Apakah pelayan di sini sudah memasak untuk makan siang?"Lola menjelajah wilayah dapur yang luas itu. Dia menemukan masih ada makanan yang tersaji di atas meja. Kemungkinan itu jatah lauk makan siang miliknya. Karena sudah teramat lapar, Lola segera mengambil seporsi makan siang dalam jumlah besar untuknya."Wah, sepertinya Nona sedang lapar sekali ya? Tumben sekali lauk yang diambil sebanyak itu." Seseorang mengomentarinya, ternyata itu adalah Joyce.Lola tak peduli. Dia se
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang karena takut kondisi Lola bertambah parah dan membuat jelek citra restoran itu. Jhonatan tak peduli dengan uang yang terbuang percuma. Dia hanya mempedulikan kondisi Lola."Lola, kau kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku," tanya Jhonatan secara bertubi.Lola tentu tak menjawabnya. Dia terus membisu sampai akhirnya mereka tiba di rumah. Jhonatan tak mampu bertanya banyak. Dia membiarkan Lola beristirahat di kamar."Istirahatlah, semoga kondisimu cepat membaik."Lola mengangguk kecil. "Maafkan aku, Jho."Lola berjalan pelan menuju ke kamar. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang. Dirinya sama sekali tak menyangka jika rencana yang sudah dia susun mendadak berantakan."Tuan Muda, sebentar. Aku akan mengantar Nyonya ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kubicarakan padamu," bisik Joyce.Jhonatan hanya dapat mengangguk. Dia terlampau khawatir dan frustasi dengan keadaan. Sampai akhirnya Joyce benar-benar menghampirinya dan duduk bersama
"Lantas, apa yang akan Bos lakukan selanjutnya?" Jeremy kembali menanyakan pendapat sang bos."Informan kita sudah mengabari soal skandal Noah dengan para wanita? Lalu untuk kasus yang dibekukan beberapa tahun lalu apakah bisa diproses kembali?" Tiba-tiba Luther menanyakan hal lain pada Jeremy."Dia bilang, dia sudah mendapatkan beberapa wanita yang bersedia jadi saksi mata. Hanya saja, kita belum mendapatkan bukti rekaman video pelecehan yang dilakukan oleh Noah," jawab Jeremy. "Untuk kasus yang ditutup ... sebenarnya ada detektif yang berniat membuka kasusnya kembali. Tapi ... bagaimana jika ada orang dalam?""Maksudmu?" Luther mengerutkan keningnya, tak paham dengan ucapan Jeremy.Jeremy menghela napas panjang sebelum menjawab. "Informan kita menduga jika ada campur tangan orang dalam pada kasus kematian Tuan Harris. Hanya saja belum ada bukti, karena saat itu tak ada tanda-tanda kekerasan atau hal yang mencurigakan. Sehingga pihak rumah sakit dan kepolisian menganggap itu kasus ke
"Sayang, aku sudah berhasil mendapatkan uangnya! Orang itu sudah membeli salah satu dari rancangan proyek milik Luther!"Virginia begitu antusias menceritakan segalanya pada Noah. Terlebih karena rencananya telah berhasil."Apa? Kau sungguh-sungguh menjualnya? Berapa harga yang kau tawarkan?" Nada suara Noah benar-benar terkejut di ujung telepon itu.Virginia terkekeh. "Lima juta dollar per rancangan, Sayang. Bagaimana? Bagus bukan?""Be ... benarkah? Wow! Kupikir kau tidak sungguh-sungguh melakukan itu! Memangnya siapa orang yang sudah membeli rancangan itu?" Noah begitu antusias mendengar nilai yang cukup fantastis dari rancangan proyek yang terjual itu.Virginia sebenarnya ragu, apakah dirinya harus menjawab pertanyaan Noah atau tidak. Masalahnya, dia tidak bisa menebak bagaimana reaksi Noah jika putranya sendiri yang membeli rancangan itu."Sayang? Siapa yang membelinya?"Dengan nada bicara yang penuh keraguan, Virginia akhirnya menjawab. "Jhonatan.""Apa? Bagaimana bisa? Jadi ter
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka