Pandangan Lola mulai kabur. Hingar bingar kemeriahan diskotik malam itu terdengar menjauh. Berkali-kali dia mengerjapkan mata, menjaga agar kesadarannya tetap terjaga. Tanpa terasa gelas minumannya terlepas dari genggamannya dan pecah berkeping-keping.
"Aduh! Sakit sekali!" keluh Lola seraya memejamkan mata."Lola, apa yang terjadi? Kamu tidak apa-apa?"Suara seorang wanita yang dia kenal baik mengalun di telinganya. Namun tak bisa menghalau pening yang menderanya saat ini."Pusing sekali! Kepalaku rasanya juga sangat sakit!" rintih Lola tak kuat menahan sakit."Mungkin kamu terlalu banyak minum. Tunggulah sebentar lagi ya. Temanku masih dalam perjalanan. Kamu coba sandarkan diri di sofa saja," bujuk Virginia, teman wanita Lola itu.Lola akhirnya menuruti keinginan Virginia. Dia merayap dan menyandarkan kepalanya di sofa. Berharap semuanya akan kembali normal seperti sedia kala sembari menunggu teman Virginia datang.Jika saja bukan karena bujukan Virginia yang meminta ditemani bertemu dengan teman kencan butanya, Lola tidak akan pernah mau menginjakan kaki di diskotik itu. Bau alkohol membuatnya bertambah mual. Belum lagi pakaian minim yang harus dikenakannya, membuat Lola sangat merasa tidak nyaman."Kau sudah lama menunggu?"Kali ini Lola bisa mendengar suara dalam seorang pria yang menyapa mereka. Pria itu diduga berusia jauh lebih tua dari mereka. Lola merasakan permukaan sofa di sebelahnya bergerak. Sepertinya pria itu duduk persis di sebelahnya."Ah, tidak Tuan. Kami juga baru saja sampai." Virginia menanggapi dengan santai.Terdengar suara blitz kamera, disusul dengan teguran dari pria tadi."Untuk apa kau memotretku? Bukankah sebelumnya kau sudah menyepakati jika pertemuan kita ini adalah rahasia?""Maafkan aku. Tenang saja, sudah kuhapus semuanya."Lola kini membuka mata. Dia berusaha melihat siapakah pria yang duduk di sebelahnya. Walaupun penglihatannya masih sangat kabur, tapi dia bisa menduga jika pria itu bukan pria biasa. Pakaiannya begitu formal, dengan stelan jas yang rapi. Usianya sekitaran 40 tahun."Jadi penawarannya satu juta dolar ya? Ini cek untukmu." Pria itu menyerahkan selembar cek yang langsung diterima oleh Virginia.Virginia terlihat sangat senang sampai berkali-kali memeriksa keaslian cek itu sendiri. Sementara Lola masih menerka-nerka transaksi apa yang sebenarnya sedang berlangsung di antara mereka.'Bukankah Virginia bilang jika dia akan berkencan buta hari ini? Kenapa sekarang jadi ada transaksi mencurigakan?' batin Lola bingung.Lola sangat terkejut saat pria asing tersebut terlihat mendekatinya dan memperhatikan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki."Oke, Sudah sangat sesuai dengan permintaanku. Tapi apakah benar jika gadis ini masih suci?" tanya pria itu yang sontak langsung membuat Lola terbelalak."Tentu, Tuan. Dia masih sangat suci dan awam dalam berhubungan. Anda tidak akan menyesal membeli dia!" terang Virginia dengan penuh semangat."Tunggu! Suci? Membeli? Maksud kalian ini apa?" sergah Lola yang mulai sadar jika ada sesuatu yang tidak beres. "Kamu sudah menjualku pada pria ini, Virginia?"Virginia hanya tertawa menanggapi pertanyaan Lola. Hati Lola berdenyut nyeri, tak habis pikir dengan perlakuan Virginia terhadap dirinya. Virginia sampai hati menipunya dan pada akhirnya menjual keperawanannya pada seorang pria asing."Jangan sentuh aku!" teriak Lola.Dengan sekuat tenaga, Lola melayangkan tamparannya pada pria yang telah membelinya, membuat pria itu sejenak bergeming. Walaupun tamparannya tidak sebegitu sakit, namun cukup tak disangka olehnya. Kini Lola dicengkeram keras oleh sang pria. Tubuh Lola terlalu lemah untuk memberontak, sehingga akhirnya dia kehabisan tenaga.Dengan mudah, pria itu mengangkat tubuh Lola dan menggendongnya meninggalkan tempat itu. Yang terlihat pada penglihatan terakhir Lola adalah Virginia memberikan lambaian tangan padanya dengan wajah penuh seringai menjijikan.***Luther berhasil mendapatkan gadis yang sesuai dengan kriterianya. Dia merasa sangat senang membawa pulang Lola, seorang wanita muda berusia 23 tahun yang masih perawan tingting.Luther membaringkan Lola di kursi belakang. Gadis yang sebelumnya sempat memberontak, kini tertidur dengan damai tanpa perlawanan."Bagus, tidurlah yang nyenyak dan jangan melawan! Tuan Noah pasti akan senang dengan hadiahnya!" ucapnya puas.Luther langsung melajukan mobilnya menerjang malam menuju ke Hotel Fairmont San Francisco. Di mana dia sudah ada janji untuk bertemu dengan seorang koleganya bernama Noah Wilson. Luther akan mempersembahkan gadis ini sebagai hadiah karena Noah sudah membantunya untuk melancarkan pelaksanaan mega proyek yang sedang direncanakannya.Luther sudah sampai di Hotel Fairmont. Dia segera turun dan menggendong kembali Lola menuju ke kamar hotel yang sudah dia pesan untuk malam ini. Saat itu, Noah Wilson sang kolega sudah menunggu di kamar hotelnya. Noah sangat senang mendapati Luther datang membawakan wanita muda untuk menemani malamnya hari itu."Tuan Quinn, terima kasih banyak untuk jamuan dan hadiahnya. Aku sangat menyukainya!" ucap Noah antusias. "Langsung baringkan saja gadis itu. Gadisnya cantik sesuai seleraku."Luther langsung membaringkan Lola yang masih tak sadarkan diri. Luther segera undur diri ketika tugasnya sudah selesai. Dia biarkan tamu pentingnya untuk menikmati hadiah spesial darinya. Noah kini dipenuhi oleh hasrat. Alkohol yang kuat sudah mengambil alih pikiran dan kesadarannya.Dia sangat penasaran bagaimana rasa dari tubuh seorang gadis muda yang ada di hadapannya sekarang. Matanya menelisik setiap lekuk tubuh milik Lola dari bajunya yang telah tersingkap. Lola sangat menawan dan menggairahkan walaupun dalam kondisi tak sadar."Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini." Noah sangat bergairah sekarang. Dia juga mencoba melucuti pakaiannya.Noah pun mulai naik ke atas tempat tidurnya. Inchi demi inchi, dia berhasil menjamah tubuh cantik itu hanya untuk dirinya. Kulit berwarna eksotis yang kini mulai berkeringat menambah nilai keseksian Lola di mata pria itu. Noah benar-benar gila karena gadis satu ini.Lola mengernyit sedikit. Sentuhan asing berhasil mengaktifkan kembali seluruh indranya yang sempat tertidur. Lola perlahan membuka mata. Dia terkejut saat mendapati seorang pria tengah menggerayangi tubuhnya tanpa izin."Aaaaaarghhh!!! Lepaskan aku!" teriak Lola sekuat tenaga.Tubuh Lola bergetar. Matanya melotot melihat sosok yang ada di atas tubuhnya. Dia tak menyangka bisa bertemu lagi dengan pria kotor itu. Lola tak ingin berakhir seperti dirinya beberapa tahun yang lalu.Noah ternyata terkejut dengan terbangunnya Lola yang sangat mendadak. Tapi dia tetap menahan Lola agar tidak bisa memberontak di bawah tubuhnya."Lepaskan aku, pria bejat! Aku tak sudi disentuh olehmu!" teriak Lola lagi. Dia mencoba lebih keras melepaskan dirinya dari jegalan pria itu.Matanya mulai mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melawan diri. Pupil matanya menangkap sebuah ketel listrik yang ada di nakas bagian kiri. Dengan bersusah payah, diraihnya ketel itu. Lalu Lola menghantamkannya ke kepala Noah dengan sekuat tenaga."Gadis sial!" rutuk Noah emosi.Lola tetap tak gentar. Dia berkali-kali memukul kepala Noah sampai pada akhirnya Noah berhasil ditumbangkan oleh Lola. Masih dengan langkah terseok dan tubuh yang tremor, dia langsung mencari barang miliknya sebelum akhirnya kabur dari sana.Lola berjalan terpincang-pincang di lorong hotel. Dia terlalu khawatir ada orang suruhan Noah yang akan mengejarnya, sehingga kakinya terkilir saat dia mencoba berlari. Lola masih mengatur napasnya dan bergegas menuju lift untuk turun ke lantai satu."Hampir saja aku mengalami kejadian buruk," gumamnya. "Kenapa harus pria itu lagi?"Lola berusaha merapikan diri agar dia tidak dicurigai oleh para pegawai hotel. Walau wajahnya masih pucat, tapi Lola sudah merasa lebih baik. Sementara itu, Luther ternyata masih duduk merenung di sofa lounge hotel. Entah mengapa sejak dia menyerahkan gadis itu pada Noah, ada perasaan menyesal di dalam hatinya. Dia merasa gadis itu terlalu baik untuk dipersembahkan pada Noah, lelaki tua bejat yang sering main wanita.Ada rasa tak rela yang menggelayut di hati. Itulah yang menyebabkan sedari tadi Luther tak beranjak dari hotel. Pikirannya bercabang menjadi dua kubu; antara meninggalkan gadis yang baru dibelinya untuk Noah, atau membawa gadis itu ke mansionn
"Boleh aku masuk sekarang?" tanya Lola yang merasa pegal sudah berdiri dalam waktu yang cukup lama."Yeah, tentu. Masuklah." Nada bicara Max entah mengapa terlihat kurang meyakinkan.Lola tidak banyak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk memperhatikan sekelilingnya, sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di kamar itu. Max langsung membereskan sofa yang terlihat agak berantakan, kemudian mempersilahkan Lola untuk duduk."Mau jus, teh, atau kopi?" tanya Max kemudian.Lola mengernyit bingung. "Bukankah kamu sudah tahu biasanya aku meminum apa?"Max kali ini tertawa kikuk. "Ya ampun. Aku bertanya karena kupikir kamu ingin memilih minuman yang lainnya. Baiklah, aku buatkan dulu cappucino untukmu."Max menghilang menuju ke dapurnya untuk menyiapkan minuman. Hal ini dimanfaatkan Lola untuk berkeliling lagi mencari bukti kecurigaannya. Kali ini, Lola menemukan adanya tas selempang kecil milik wanita tersimpan di dekat sisi tempat tidur Max.'Tas siapa ini? Aku tahu ini bukanlah tas
Lola perlahan membuka matanya. Dia merasa kebingungan mendapati tempatnya berada bukan lagi di dalam apartmentnya. Tapi dia berada di tempat lain yang masih asing. "Di mana aku?" Matanya tertuju di satu titik saat Luther sedang menatapnya dengan tatapan tajam, memperhatikan melalui meja kerjanya. Lola terperanjat kaget."Kamu! Kenapa aku ada di sini?" Lola panik bukan main. Luther tak beranjak sedikit pun dari mejanya."Aku masih ada urusan yang belum selesai denganmu!" sergah Luther marah. Tatapannya sangat menusuk, seakan bisa langsung mencabik gadis itu saat itu juga.Tubuh gadis itu mendadak gemetar. Hawa mencekam mulai melingkupinya. Situasi ini sangat menyulitkan untuk Lola. Dia merasa keselamatannya terancam saat ini. Apalagi Lola sempat melarikan diri sebelumnya."Urusan apa? Aku sudah tidak ada urusan denganmu!" tampiknya cepat.Segurat seringai jahat terukir di bibir Luther. Dia kemudian mulai bangkit dari tempatnya. Langkahnya perlahan, namun sangat membuat Lola bertamba
Perkataan Luther membuat Lola melongo. Dia sampai terus berpikir apa yang salah pada dirinya sehingga membuat Luther muak. Setelah kepergian Luther, kedua wanita lain masih mendiamkannya. Namun di antara mereka, Lilian lah yang lebih banyak bicara."Lihat, berkat sikapmu yang tidak berpendidikan membuat Tuan Luther marah," gerutu Lilian. "Aku heran. Apa sih yang Tuan Luther lihat darimu sehingga mau membawamu ke mansion ini?"Lola tidak mempedulikan ucapan Lilian. Dia terlalu malas menimpalinya. Mata Lola beralih menatap Barbara yang masih tenang menghabiskan makanannya. Dia menyadari jika Barbara adalah mantan aktris dan bintang iklan televisi pada tahun 2000-an. Lilian terlihat kesal karena Lola tidak menggubrisnya. Dia langsung berdiri dari tempatnya dan menggebrak meja di dekat Lola."Kau kurang ajar! Kau tidak menghormati aku yang lebih senior darimu? Aku ini Lilian, wanita yang memiliki peluang lebih besar untuk menjadi nyonya di mansion ini!" bentaknya. "Aku wanita yang dijodo
Lola membenci kehidupannya saat ini. Menjadi tawanan Luther, berarti harus menyerahkan segala hal tentang dirinya kepada Luther. Termasuk hak untuk berpakaian. "Omong kosong apa ini?" Lola yang frustasi itu langsung mengacak rambutnya.Kemudian dia terdiam. Hatinya diliputi oleh keraguan. Apakah kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya? Ataukah kehidupannya akan menjadi semakin rumit dan penuh bahaya jika dia masih tertawan di istana itu?"Ibu, aku sangat merindukanmu," isaknya. "Andai saat itu aku bisa memberikan salam perpisahan. Andai aku bisa berkeluh kesah kepadamu. Sesungguhnya aku begitu ingin bertemu."Entah mana yang terburuk. Kehidupan beberapa tahun silam ataukah saat ini? Bagi Lola semuanya sama-sama neraka dunia. Dia mengecek handphonenya. Walaupun sudah putus hubungan dengan sahabat maupun kekasih, namun Lola masih diam-diam memata-matai media sosial milik mereka."Lihatlah orang lain, begitu bahagia setelah mencampakkanku," gumamnya miris. "Virginia selalu berfoya-f
Bayangan seorang pria bertubuh tinggi perlahan masuk ke dalam kamar Lola. Pria itu mendekat sedikit demi sedikit tanpa suara, seolah tak ingin jika keberadaannya diketahui oleh Lola. Sekaligus dia juga tak ingin Lola sampai terganggu tidurnya.Seketika langkahnya mendadak berhenti. Dia tersentak saat Lola tiba-tiba berbalik posisi. Ketika dia yakin Lola masih tertidur pulas, baru dia berjalan lagi cukup dekat dengan sosok gadis yang sedang tertidur nyenyak itu."Syukurlah dia tidak terbangun. Kulihat hari ini tidurnya tenang. Tidak seperti kemarin. Kemarin dia sangat gelisah," gumam pria itu hampir berbisik. Matanya beralih memperhatikan pakaian tidur Lola. Rupanya Lola membenci baju tidur baru yang dia belikan. Gadis itu memilih tidur dengan pakaian yang sudah dia kenakan hampir seharian."Apakah seleraku tidak ada yang cocok dengannya? Mungkin aku harus bertanya pada Barbara atau Lilian mengenai selera berbusana mereka," gumamnya lagi.Pria itu ternyata adalah Luther yang selama ini
Luther sudah bersiap menyimpan kantung belanjaannya di kamar Lola.Dia penasaran bagaimana reaksi Lola setelah menerima hadiah baru darinya."Bagaimana respon gadis itu, ya? Apakah dia senang? Atau justru sebaliknya?"Belum sempat dirinya berganti pakaian, handphone tipisnya terdengar berdering. Dengan malas, Luther mengangkat teleponnya itu."Iya, Jer. Ada apa?""Bos, maaf mengganggu waktu istirahat Anda. Tapi saya baru saja mendapatkan kabar dari sekretaris Tuan Noah. Katanya Tuan Noah ingin segera bertemu dengan Anda,"Luther menggigit bibirnya. Entah ini pertanda baik atau justru buruk untuk dirinya. Apalagi setelah apa yang terjadi sebelumnya."Jam berapa Tuan Noah meminta bertemu denganku?""Pukul sebelas malam, di 416 South Spring Street, Downtown Los Angeles.""Baiklah. Sampaikan kepada Tuan Noah, aku akan menemuinya malam ini. Sekalian tolong siapkan hadiah pemintaan maafku untuk Tuan Noah. Antarkan hadiahnya ke mansion.""Baik, Bos."Luther berkali-kali menghela napas. Dia ti
Pria itu mengecup punggung tangan Virginia, terus menanjak maju sampai ke atas. Virginia terkekeh geli."Kita baru saja bertemu. Anda sepertinya sudah tidak sabar ya," ucapnya.Noah menghentikan aktivitasnya. Dia memberikan senyuman miringnya pada wanita itu."Aku sangat senang bertemu denganmu. Makanya aku sangat antusias. Ternyata kamu tidak mengecewakanku," ucapnya. Dia kini beralih mencium pipi sang wanita."Oh, saya juga senang bertemu dengan Pak Dewan," ucap Virginia, terkekeh sedikit begitu sentuhan Noah menggelitik indra perasanya."Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Panggil aku Noah." Noah menghujani leher jenjang Virginia dengan kecupan brutal, sedikit memberikan tanda kepemilikan di kulit bersih wanita itu."Ups, apakah saya tidak dipersilahkan untuk duduk? Jangan terburu-buru. Mungkin sedikit mengobrol dan anggur?" Virginia menawarkan. Noah tertawa. Dia merasa senang karena wanita di hadapannya sangat bisa mencairkan suasana."Ide bagus."Noah menuntunnya untuk duduk
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka