Buk! Hamzah mendorong pintu itu dengan keras seiring rasa kekhawatiran yang memuncak di dadanya. Namun, perasaan itu perlahan meredup setelah melihat apa yang terjadi di dalam sana.Sang ibu sedang bermunajat seraya menengadahkan tangannya ke atas dengan busana mukenah yang berwarna putih.Terdengar helaan nafas lega dari Syifa dan Hamzah berbarengan.“Wah! Tumben ibu lagi tobat kayanya,” ucap Syifa dalam hati.“Mungkin besok nggak akan ada keributan di dalam rumah ini,” lanjutnya masih di dalam hati.“Aamiin,” gumam Syifa lirih membuat pandangan Hamzah sekejap beralih kepadanya. Sontak Syifa menyunggingkan senyuman.“Ibu lagi sholat tahajjud Mas, mungkin beliau lagi do’a khusyuk,” ujar Syifa lirih.Hamzah menganggukan kepalanya pelan, sejurus kemudian ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati, mendekat untuk memastikan keadaan sang ibu baik-baik saja.“Hamzah, tolong bantu ibu memenuhi kehidupan sehari-hari,” ungkap Bu Santi yang menoleh kepada anak laki-lakinya dengan air mata yang
Selang beberapa waktu kemudian ...Pak Guntur, orang kaya dari usahanya sebagai rentenir tapi berkedok peminjaman itu menghitung uang bernilai dari sepuluh ribu hingga lima puluhan ribu itu dengan teliti, sesekali ia menempelkan ujung telunjuk di lidah sebagai perekat untuk menghitung uang kertas yang di genggamannya.“Gimana? Pas ‘kan? Aku ini nggak akan pernah mendustaimu, Guntur! Jadi jangan macam-macam sama aku!” sergah Bu Santi sembari berkacak pinggang.“Bentar, ini lagi aku hitung, Bu Santi!” sahut Pak Guntur seraya melototkan matanya sekilas, sebagai isyarat untuk tidak mengganggu konsentrasinya barang sebentar.“Aku orangnya amanah, nggak pernah meleset, kalau udah janji pasti di tepati. Lihat! Ini Hamzah anak laki-lakiku, dia bekerja keras buat menghidupi orang tua satu-satunya.” Bu Santi menyanjung sang anak seraya menepuk lengan Hamzah yang duduk menemani Bu Santi di sampingnya. Ia berusaha meninggikan derajat keluarganya di hadapan sang rentenir itu.“Ibu, nggak perlu se
“Kita masih bisa berbakti dengan beliau kok, dalam sehari Mas wajib menengok keadaan ibu dan aku tetap membolehkan Mas untuk menjatah uang ke ibu. Tujuanku dengan kita hidup mandiri setidaknya kita bisa berfikir sendiri mau di bawa kemana kehidupan rumah tangga kita ini, kalau sekarang ... maaf, ya, Mas kita ‘kan masih apa-apa di awasi orang tua, di atur, di suruh ini-itu. Bahasa kasarnya kita masih di setir orang tua,” lanjut Syifa dengan hati-hati, sejujurnya ia takut menyinggung hati sang suami.Walau bagaimanapun perilaku buruk sang ibu, pasti anaknya tidak akan terima jika orang tuanya di katakan yang tidak enak di telinga.Hamzah masih bungkam, membuat Syifa menelan ludah dengan perasaan gusar.“Maaf, ya, Mas kalau perkataanku tadi membuat Mas nggak berkenan.” Ia beringsut untuk kembali bersiap ke sekolah.“Lalu biaya kontrakannya dari mana, Dek?” ujar Hamzah tiba-tiba, sontak Syifa kembali menoleh dengan bernafas lega.“Insyaallah gaji adek masih cukup untuk bayar kontrakan kec
“Sementara pakai sarung mas aja, ya, Dek! Buat alas tidurnya. Terus bantalnya pake tas aja.” Tanpa menunggu jawaban, Hamzah segera menyusun tempat untuk istirahat sang istri. Syifa menyunggingkan senyum, hatinya begitu miris. Namun, di sisi lain ia merasakan besarnya perjuangan dalam hidup dan itu semua membangun mental hatinya untuk lebih tangguh menghadapi segala situasi yang akan terjadi kedepannya.Kehidupan bagai roda berputar, suatu saat ia akan melewati masa-masa senang, susah atau bahkan lebih sulit dari pada sekarang.“Ya udah nggak papa, Mas.” Syifa menerima permintaan sang suami untuk tidur di atas selembar kain sarung berdua dengannya.********Keesokan harinya Syifa terbangun dengan tubuh yang terasa remuk.Ia menggeser tubuhnya perlahan sembari mengangkat tangan Hamzah yang melingkar di perutnya.Istirahat semalaman ternyata tidak mempan membuat rasa lelahnya hilang. Dengan rasa sakit dan pegal di sekujur badan, Syifa berusaha bangkit dan beranjak menuju kamar mandi.T
“Ibu butuh bantuan, cepat pulang!” perintah sang ibu terdengar ketika Hamzah berpaling dari istri beserta dua temannya itu.“Gila! Super power banget, ya, mertuamu, Syif,” ceplos Imah bola matanya melirik suami sahabatnya yang tengah menepi tak jauh dari tempatnya ketiganya berdiri.“Hust! Kalau ngomong jangan asal! Tapi, emang kaya gitu sih,” timpal Rahel menyunggingkan senyumnya kepada Syifa yang berdiri dengan gusar.Ia merasa gelisah menghadapi kedua sahabatnya itu.“Jujur aja Syif, kamu ada apa? Cerita aja! Kita ini sahabatmu! Bila perlu pasti kita bantu,” cetus Rahel di sambung dengan anggukan kepala Imah yang setuju.Merasa terpojok dan tak punya alasan untuk berkilah, akhirnya Syifa menceritakan keadaannya sekarang yang tinggal berdua bersama sang suami.“Tapi, aku merasa sangat tertantang dengan kehidupan baruku yang sekarang, kalian nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja,” lanjut Syifa menjelaskan.“Oke, Syif. Aku ikut senang kalau kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang,”
Setelah terlepas dari pelukan sang suami, Syifa bergegas melakukan rutinitas tugasnya sebagai istri di pagi hari.Syifa sibuk menyiapkan sarapan di atas sebuah karpet yang sempat ia beli bersama dengan perabot lainnya. Ia dan sang suami ternyata memiliki selera yang sama yaitu makan lesehan di bawah, lebih terasa nikmat kata sang suami kepadanya.Bunyi dering ponsel di atas kasur mengalihkan perhatian keduanya terhadap hidangan yang telah Syifa siapkan.Syifa beranjak mengambil benda pipih milik sang suami.“Ibu Mas.” Ia menyodorkan ponsel itu dengan firasat yang buruk, entah kenapa setiap ada panggilan sang ibu membuat Syifa yakin akan ada perkara yang terjadi.Hamzah berdecak, gelisah melihat raut wajah sang istri yang terlihat masam saat menyodorkan panggilan dari sang ibu.“Hamzah! Cepetan ke rumah! Pasangin gas, ibu mau masak buat makan!” sergah sang ibu saat baru saja menekan tombol menerima panggilan.Syifa mendesah kesal sembari menyaringkan bunyi sendok dengan piring yang di
“Ada tamu jauh siapa, Sayang?” tanya Hamzah dengan heran.Syifa diam membisu seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun, setelah di perhatikan Hamzah mengenal tas itu milik Syifa sendiri.Ia segera menyusul langkah sang istri.“Sayang, kamu mau pergi kemana?” seru Hamzah, akan tetapi Syifa diam tak menghiraukannya.“Sayang, ayo dong jangan begini! Mas pusing kalau Adek sedih, ngambek kaya gini,” ungkap Hamzah resah sembari menarik rambutnya. Syifa tetap bungkam, beringsut ia membaringkan tubuhnya di atas kasur lalu memejamkan mata dengan segera.Hamzah berdiri tepat di sampingnya seraya menatap lekat wajah sang istri.“Dek, mas ini capek! Baru pulang tiba-tiba Adek ngediemin mas. Bikin mas tambah pusing tau!” ungkap Hamzah yang mulai terbawa emosi karena sang istri tak kunjung membuka mulut untuk berbicara.“Biar Mas nggak capek bolak-balik terus, besok aku mau pergi ke rumah paman dan bibi aja. Mas bisa fokus ngurus ibu, lagian Adek bosen di rumah sendiri, apalagi udah mulai
Ia membanting secarik kertas ke lantai, makanan yang awalnya mengunggah selera itu kini tak membuatnya terbuai untuk menikmati.Tanpa berlama-lama lagi sebelum seluruh barang dalam ruangan sepetak ini hancur karena ulahnya yang semakin naik pitam, Hamzah segera menancap gas untuk pergi ke rumah sang ibu.“Tumben kamu pagi-pagi makan disini, biasanya Syifa membuatkan sarapan telor balado kesukaanmu,” ujar Bu Santi sembari menyuguhi sarapan berupa nasi goreng dan telor dadar.Hamzah bergeming, tatapannya kosong menatap dinding tanpa berkedip sedikitpun.“Hamzah!” Sang ibu mengguncang bahunya membuat Hamzah terbangun dari lamunan panjang yang tak bertepi itu.“Oh iya, Bu,” sahut Hamzah sekenanya. Sang ibu menatapnya tajam dari ujung kepala hingga kaki membuat dirinya tak nyaman, seketika itu juga Hamzah berusaha mengontrol diri agar terlihat normal walaupun hatinya tengah hancur berantakan. Bagaimana kalau Syifa mengadu semua hal yang terjadi dengan saudaranya di sana? Apa dia akan tet
“Eh bentar! Ini dia nelpon mulu! Mau aku blokir dulu nomornya.” Rahel menepikan motornya di trotoar jalan.Sialnya mereka berdua berhenti tepat di samping genangan air. Sehingga mereka basah kuyup saat sebuah mobil putih melewati jalan itu.“Ya salam!” Syifa berkeluh sembari menatap mobil yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Perlahan mobil itu mundur hingga sejajar dengan tubuhnya.“Maaf Kak saya nggak sengaja!” Wanita berkaca mata hitam itu menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil.“Lain kali liat-liat Mba kalau nyetir,” tutur Rahel kesal sembari mengibaskan bajunya yang telah basah.“Iya Kak nggak papa,” sahut Syifa mengulas senyum sekilas. Wanita itu membalas senyumnya, sesaat kemudian mobil itu berjalan kembali seiring rasa yang mengganjal di hati Syifa.“Kaya pernah liat orang itu dimana, ya?” “Siapa? Yang nyetir? Apa ibu-ibu di sampingnya?” ujar Rahel bola matanya menatap mobil yang beranjak meninggalkan mereka.Syifa mengangkat bahunya. “Nggak tau, aku nggak be
“Kamu serius mau cari jodoh lewat aplikasi?” tanya Syifa tak percaya.Sesaat kemudian keduanya keluar saat lift berhenti di lantai tiga tempat food court.“Coba-coba. Dia usia 20 tahun, selain mahasiswa merangkap jadi dkm masjid,” jawab Rahel dengan santai seraya berkutat dengan layar ponselnya, seketika langkah Syifa terhenti.Ia diam terpaku menatap sahabatnya dengan mata membola.“Kenapa? Kamu nggak kemasukan jin ‘kan?” Rahel melambaikan tangannya di depan wajah Syifa yang masih melongo.Sekilas Syifa menggelengkan kepalanya.“Ya salam Rahel, kamu nggak salah? Usia dia dibawah kamu, masih mahasiswa juga?” ulang Syifa memastikan lagi.Rahel manggut-manggut mengiyakan.“Beberapa laki-laki yang di tawarkan abahmu sebelumnya lebih menjanjikan kali dari pada yang ini kamu belum kenal, terus masih muda juga,” cetus Syifa masih tak percaya.“Namanya juga coba-coba, lagian yang kemarin nggak cocok. Mereka terlalu dewasa,” tutur Rahel.Dering benda pipih dalam genggaman tangannya berbunyi,
Perlahan hati Syifa luluh, semarah apapun dirinya jika sudah di sebutkan kekuasaan Allah Yang Maha Besar dan tak terukur itu jiwanya seakan meleleh, mengingat kesulitan hidup di dunia ini tidak ada apa-apanya, di banding kesusahan nanti di akhirat.Syifa menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.“Ayo Mas anterin Adek berangkat,” tukasnya dengan lemah lembut.Sontak Hamzah bangkit dan menatap wajah sang istri yang terukir senyum manis di sudut bibirnya.Cup!Hamzah mengecup bibir Syifa sekilas, sejurus kemudian ia bangkit mengambil jaket dan kunci.“Ayo Sayang berangkat!” Hamzah memberikan tangannya untuk di rangkul Syifa dengan menyunggingkan senyuman.Seketika Syifa bangkit, lalu memasukkan tangannya di antara tangan Hamzah yang terbuka.Alhamdulillah, hati Hamzah tak berhenti bersyukur mendapat anugerah seorang istri sang sangat luar biasa. Sholehah, pendiam, penyabar dan tidak pendendam.******Syifa berjalan memasuki ruangan kantor dengan senyum simpul y
Beberapa saat kemudian telor balado dan krupuk siap tersaji di atas meja makan. Syifa juga telah selesai mengerjakan pekerjaan lainnya.“Wah istri mas rajin sekali, mas jadi tambah sayang deh.” Hamzah memeluk tubuh Syifa dari belakang saat sang istri tengah mencuci piring di depan wastafel.“Mas udah bangun? Jam berapa ini?” tanya Syifa terlontar sembari terus melanjutkan pekerjaannya selagi sang ibu mertua belum terjaga.“Jam setengah tujuh,” balas Hamzah dengan kepalanya yang melendot di bahu Syifa.“Ehem!” Bu Santi berdehem ketika melihat penampakan anak laki-lakinya sedang bermanja-manja dengan sang istri.“Masih mending Jamilah dari pada Syifa, Hamzah! Ngapain kamu tergila-gila sama wanita kampung itu,” cibir Bu Santi dalam hati.Wajah masam tergambar saat melihat aksi mesra anaknya itu, seketika ia terduduk di depan meja makan dan mengalihkan netranya dari pandangan yang membuat hatinya kesal.Baginya Syifa hanya pembawa sial dan kesengsaraan dalam hidupnya yang menjadikan jatah
Hamzah tersenyum simpul menatap sang istri yang dengan cerdas membantunya memberi edukasi kepada sang ibu.“Ah sudahlah ibu mau istirahat!” Bu Santi membanting kipas kain yang digunakannya di atas kursi seraya berdiri.“Ohya enak banget, ya, sekarang. Pergi sendiri, pulang di jemput kaya tuan putri. Pakai mobil lagi. Hamzah emang terlalu baik orangnya,” pungkasnya sembari berlalu masuk ke dalam.“Ibu!” sergah Hamzah dengan segera, ia berusaha menghentikan ucapan sang ibu yang bisa melukai hati sang istri, apalagi mengingatkannya dengan kejadian buruk yang pernah terjadi.Bu Santi terus melajukan kakinya masuk ke dalam kamar.Krep! Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang nyaring.Syifa mengempaskan nafasnya kasar untuk menetralisir perasaannya yang kacau.Hubungan kekeluargaan apa ini? Bisa-bisanya anak, menantu dan mertua saling sindir dan mencibir berdebat satu sama lain.Di tambah ucapan Bu Santi benar-benar menyudutkan keluarganya yang berprofesi sebagai petani, seolah-s
Hamzah fokus menatap jalan karena pada dasarnya ia masih belum begitu mahir mengendarai mobil, hanya bermodalkan latihan berkendara selama beberapa pekan dan SIM A yang berhasil di kantongi, Hamzah memberanikan diri untuk menyetir.Tentu semua biaya itu gratis, alias Jamilah yang telah menanggungnya.“Ibu pasti senang, ya, Mas?” cetus Syifa dengan bola matanya yang masih menatap kedepan. Entah, sejak Hamzah mengungkapkan kondisinya sekarang, pikiran Syifa terus berputar mengingat kata demi kata yang Hamzah ucapkan dan berujung mengaitkan kebahagiaan sang ibu mertua dengan kondisi Hamzah sekarang.“Iya Sayang.” Hamzah tersenyum sekilas sembari melirik ke arah sang istri, sesaat kemudian dalam benaknya kembali di hinggapi rasa khawatir atas sikap sang ibu yang bersikap sedikit berlebihan mengenai kebaikan Jamilah.Hamzah agak khawatir jika sang ibu lama-lama mendekatkan dirinya dengan janda itu. Seketika Hamzah menggelengkan kepala pelan untuk menepis pikirannya yang melayang jauh.“O
Sang bibi berjalan mendekat saat Lala sudah keluar dari kamarnya.Syifa meneguhkan tubuhnya dengan pikiran yang di penuhi tanda tanya.“Kamu jaga diri baik-baik, ya, disana!” Sejurus kemudian sang bibi memeluk tubuhnya erat.“Kalau ada apa-apa cerita sama paman dan bibi. Kami ini keluargamu, orang tuamu,” lanjutnya dengan suara terisak. Ia teringat ucapan dari sang suami yang menceritakan bahwa keponakannya telah menyiapkan teh hangat serta pisang goreng untuk berkumpul dengan keluarga, tapi semua itu tidak terlaksana karena dirinya, sang suami dan Lala sibuk bercanda di kamar hingga terlelap bersama saat lusa.“Insyaallah Bi, do’akan Syifa selalu.” Tenggorokan Syifa tercekat karena terbawa suasana.“He’em! Sudah selesai salam perpisahannya?” Paman Aris berdehem di depan pintu yang membuat kedua wanita yang tengah berpelukan itu tersentak kaget sembari melepas pelukan, sesekali keduanya mengusap air mata yang tak terasa menetes begitu saja.“Lihat Hamzah! Istrimu kaya anak mau di kir
“Hey! Kenapa? Kok ngomong sendiri?” sergah Paman Aris tiba-tiba, membuat tubuh Syifa tersentak dan ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja terjatuh.“Astaghfirullahal adzim Paklik, ngagetin aku aja,” balas Syifa dengan ekspresi terkejut.“Hehehe, loh ini ada pisang goreng sama teh manis! Hmmm ... tapi udah dingin,” ucapnya setelah mencicipi teh yang telah dingin sedari tadi.“Hmmm ... ini udah dari tadi, Paklik. Niatnya mau ngeteh sama makan pisang goreng bareng, tapi Paman sama Bibi kayanya lagi sibuk, jadi ini nganggur deh,” ungkap Syifa seraya menunjuk teh dan pisang goreng yang tergeletak itu.“Oh, itu Bibi sama Lala mau tidur. Maaf, ya, kamu jadi repot begini tapi malah nggak sesuai harapan,” ujar Paman Aris dengan sungkan.“Nggak papa Paman,” balas Syifa tersenyum simpul.“Ya udah paman makan aja, udah dingin juga nggak papa.” Paman Aris mengambil satu pisang goreng, lalu memakannya.Kemudian Syifa ikut duduk bersamanya dengan melakukan hal yang sama.“Kalau di makan kaya g
Selang beberapa waktu kemudian ...Syifa menatap jam di pergelangan tangannya dengan gusar, sudah lewat tiga puluh menit tapi mereka tak kunjung keluar. Beringsut ia melangkahkan kaki dengan perlahan. Syifa mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, akan tetapi ia kembali menarik diri. Bimbang, ragu dan tak enak hati jika kehadirannya mengganggu kebersamaan mereka.Syifa menghembuskan nafasnya pasrah.Ia sadar tak selamanya sang paman akan selalu di sampingnya, ia sudah memiliki keluarga dan kehidupan baru yang ia punya. Dirinya hanya seorang keponakan yang menumpang hidup sejak kecil hingga sekarang. Sesaat Syifa melirik ke arah jendela, terlihat rintik-rintik hujan itu telah berhenti. Langkahnya mendekat, lalu menatap di luar sana yang terbentang pemandangan sawah yang hijau.Dulu ia sering bermimpi ingin memanen padi di sawah bersama suami dan anak-anaknya, dalam pikiran yang terbatas ia berkhayal sekonyol itu.Tanpa sadar ia terkekeh sendiri mengingat impiannya dulu. Namun, s