"Apa yang akan didapatkan wanita bodoh itu dengan melaporkan Hanna?" ucap Aldo yang tanpa sadar mengingat kembali senyum yang begitu menakutkan di wajah Hanna semalam.***Awan mendung masih menggelayut di langit, begitu juga dengan angin yang mulai berhembus kencang, menerpa dedaunan dan menggoyangkan ranting pohon seperti tubuh seorang penari yang meliuk.Entah mengapa cuaca seperti begitu cepat berubah. Padahal tadi pagi matahari masih begitu garang memperlihat keperkasaannya. Seolah meyakinkan diri jika tetesan air tak akan mungkin bisa jatuh ke tanah.Hanna memandang halaman rumahnya dengan tatapan sayu dari teras, niatnya untuk pergi ke suatu tempat, terpaksa ditunda, karena cuaca yang tidak mendukung, ia yakin tak akan lama lagi hujan akan turun.Ditengah pikirannya yang seakan ingin mempermainkannya, sebuah motor matic berhenti tepat di depan rumahnya. Melihat siapa gerangan yang datang bertamu, sebuah senyuman kini terlukis indah wajahnya."Dina, tumben main ke rumahku?" Han
"Terserah kau saja, tapi jika kau butuh bantuan pengacara, Jangan sungkan menelponku." Ujar Dina khawatir.Hanna menggangguk."Tentu saja.""Aku pasti akan meminta bantuan padamu sebab kantor polisi adalah langkah terakhir bagiku, sebelum itu aku ingin melihat wajah pucat lelaki itu karena telah kehilangan segala hal yang dibanggakannya selama ini. Aku ingin melihat rasa penyesalan yang tulus di wajahnya, dan yang terpenting aku ingin melihatnya hancur di depan mataku sendiri.""Kau memiliki bukti KDRT yang dilakukan Aldo padamu Hanna.""Aku tahu, tapi melaporkannya ke kantor polisi tidak semudah yang dibayangkan, akan banyak waktu dan materi yang dibutuhkan dan aku tidak punya waktu untuk itu, lagipula melaporkannya juga tidak menyelesaikan masalah. Tuduhan KDRT dan perzinahan bisa menahannya berapa lama? Tiga bulan, satu tahun, tiga tahun? Tuduhan itu tidak akan membuatnya membusuk selamanya dipenjara, lalu begitu lelaki itu keluar nanti, adakah jaminan Jika dia tidak mencariku lagi
Aldo memandang foto Hanna yang sedang tersenyum manis di sudut kiri meja kerjanya dengan sorot mata yang dingin. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga setelah beberapa saat, foto itu di lepas dari piguranya dan di robek beberapa bagian hingga berakhir dalam kotak sampah.Dengan punggung yang menyandar di kursi, Aldo membuang nafas kasar. Pertengkarannya dengan Hanna dua malam lalu kini berkelebat di benaknya. Sungguh, selama satu setengah tahun mereka menikah, baru malam itu ia bisa lepas kendali dan memukul istrinya dengan begitu kasar.Aldo memandang kedua telapak tangannya sesaat, lalu mengusapnya ke wajah sambil menatap ke langit-langit ruang kerjanya. Rasa penyesalan sedikit terbetik dalam hatinya, karena sebelumnya tak pernah sekalipun ia memperlakukan Hanna sekasar itu."Mengapa Hanna?""Kau membuat tanganku menyakitimu. Jika memang kau sudah bosan padaku, mengapa tidak mengatakannya terus terang saja, kita bisa berpisah secara baik-baik." Gumam Aldo.Sebuah laci di sisi k
"Keterlaluan kau Hanna," geram Siska sambil mengepalkan tangannya.***Siska mengigit bibirnya cukup kuat hingga lidahnya dapat merasakan sesuatu yang kental dan amis di sana. Kerongkongannya tercekat seakan tak mampu untuk menelan sesuatu. Ancaman Hanna benar-benar menguasai pikirannya saat ini. Ia tak menyangka jika wanita g!l4 itu bisa berpikir sampai sejauh itu untuk membalasnya.Amarah begitu menyeruak di dadanya saat ini, segera ia tinggalkan area kafe menuju meja kasir karena ada sedikit tempat tertutup disana yang sering digunakan para karyawan untuk melepas penat sesaat.Ting.Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Tanpa perlu melihat Siska yakin bahwa itu pesan dari Hanna untuknya. Entah mengapa, jemarinya begitu enggan untuk menyentuh kembali benda pipih yang telah dimasukkan kembali ke dalam saku belakang celana jeans-nya."Kau sengaja melakukannya kan, Hanna?" Bisik Siska geram.Seorang pengunjung melambaikan tangan untuk memanggilnya. Untuk sesaat Siska mengabaikan pesan di po
"Jika kau masih ingin bekerja di sini, lebih baik kau bereskan meja-meja di sana, Siska," perintah Kanaya, sang manager cafe ini. Ketika memergoki Siska yang masih duduk di belakang meja kasir dengan kaki menekuk.***Melihat nada suara managernya yang tidak bersahabat, Siska pun berdiri, meski kedua lututnya masih terasa lemah untuk menopang berat tubuhnya."Mbak, bisakah aku izin pulang, perutku tiba tiba kram," pinta Siska memelas."Izin pulang?" ekor mata Kanaya mendelik tajam."iya Mbak.""Aku bosan mendengarmu selalu meminta izin, Siska. Asal kau tahu, bulan ini saja sudah tiga kali kau minta izin pulang cepat, dengan banyak alasan, aku bahkan tidak enak dengan pegawai lain karena selalu memberimu izin." Tolak Kanaya tegas dengan kedua tangan yang bersidekap di depan dada."Sekali ini saja, mbak." Kembali Siska memohon.Kanaya menggeleng cepat."Tidak! Maaf kau terus saja membuang waktu, jika kau masih ingin bekerja maka layani pelanggan kita di sana, jika kau merasa keberatan d
Beberapa jam setelah sebelumnya.Hanna masih diam di depan meja riasnya, tampak dari pantulan cermin, wajahnya kini sudah terpoles rapi dengan make-up sederhana, namun tidak mengurangi kecantikannya.Pikirannya kini melayang ketika laporan demi laporan beberapa teman yang mengetahui perselingkuhan suaminya. Bahkan demi membuktikan kabar tersebut, Hanna beberapa kali datang ke kantor suaminya demi mengetahui rekam jejak lelaki itu.Seorang wanita datang menyapa dan berbicara padanya ketika tidak sengaja bertemu dengannya di area parkir kantor tempat Aldo bekerja. Mengetahui jika wanita itu adalah rekan kerja suaminya, Hanna memohon sebuah pertolongan kecil padanya. "Aku hanyalah staf biasa, tapi ... baiklah, aku akan membantu, jika hanya memberitahu jadwal absensinya kurasa itu tidak masalah. Aku bisa mengirim pesan padamu kapan ia datang dan pulang," ujar wanita itu."Aku pasti akan mentraktirmu makan siang, terima kasih banyak," Hanna berucap senang.Beberapa orang di kantor tempat
Sebuah ketukan di kaca jendela mobilnya membuyarkan lamunannya. Tampak disana seorang gadis berusia belasan tahun tengah memandang lurus padanya.Hanna kembali menghela nafas panjang, lalu melepas kacamata hitam yang di pakainya untuk menyetir tadi. Lalu memeriksa barang yang ada didalam tas jinjing kecilnya. Setelah di rasa semua lengkap barulah ia membuka pintu mobilnya dan keluar."Ah, benar ini Mbak Hanna." Ujar gadis itu riang dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya."Iya, apa kabarmu Sari?" Balas Hanna menyapa."Wah, Mbak Hanna ya, yang anaknya Pak dokter Harun?" Tanya seorang lelaki tua bertopi caping padanya."Iya, saya Hanna. Putrinya dokter Harun," jawab Hanna ramah."Ah, rasanya waktu begitu cepat berlalu, seingat bapak dulu pindah dari sini masih remaja.""Iya, itu benar," Hanna mengangguk."Sayang pak dokter umurnya tidak panjang, padahal beliau adalah orang yang baik. Saya saja pernah diobati gratis oleh beliau," ujar Pak tua itu lirih."Bapak mau ke sawah?" Tanya Han
Suara statis jaringan terdengar, karena lawan bicaranya tak menjawab apapun. Suara desah angin yang seakan menyapu tanah menambah kesan keheningan diantara mereka.Hanna sengaja membiarkan Siska diam disana, seolah hendak memberi sedikit waktu untuk wanita itu berpikir sebelum mengambil keputusan, meskipun mereka berseteru saat ini, Namun dalam hatinya, Hanna masih berharap Siska dapat berpikir bijaksana dan tidak salah mengambil keputusan.Hanna mendongak ke atas langit, tampak di sana rombongan burung Pipit sedang terbang mengikuti arah angin bertiup, suara kicau burung-burung itu tak terdengar karena tertelan oleh suara lonceng -lonceng kecil yang dipasang para petani untuk mengusir hama meresahkan itu."Mbak Hanna, ayo masuk dulu, ibu sudah siapkan makan untuk kita," ajak Sari dari depan pintu rumah."Sebentar lagi, ya." Jawab Hanna dengan ekor mata yang melirik ke arah ponsel di telinganya."Baiklah," Sari menyahut lalu mengganggukkan kepala.Suara jaringan statis masih terdengar
Bab Ekstra 2Sementara itu di tempat lain."Darimana saja kau Siska?" Ketus seorang pria padanya "Aku keluar sebentar, mas," Jawab Siska gugup."Aku tahu kau keluar, yang kutanyakan darimana?""A-aku ke minimarket depan, mas. Beli beberapa perlengkapan mandiku yang sudah habis," jawab Siska menunduk."Mana?""Hah?""Aku tanya mana perlengkapan mandi yang kau beli itu? Aku tak melihatnya?" "Itu, a-ada ..." Ucap Siska gugup, karena ia tahu mengapa pria itu bertanya padanya seperti ini.Plak!Sebuah tamparan keras diberikan pria itu di wajah Siska, belum puas, pria itu lantas menjambak rambutnya dengan kasar."Kau pikir aku tidak tahu, kau baru saja menemui istriku, bukan?""Sial," umpat Siska dalam hati."Kau benar benar lacur! Apa semua yang kuberikan padamu belum cukup hingga kau membuat onar di rumahku, Hah!" "Mas, istrimu yang lebih dulu menghinaku. Lagipula, kau sudah berjanji akan menceraikan istrimu setelah menikahiku!" Siska meraung."Kau benar-benar lancang!" Hardik pria itu
Bab Extra 1Aldo termangu memandangi Andira, putri semata wayangnya dengan Siska, dengan tatapan sayu. Hatinya menjerit melihat anak perempuannya itu tumbuh tanpa sosok ibu di sampingnya.Balita berusia dua tahun itu tampak sedang berpegangan tangan pada ujung meja, sedang asyik belajar berjalan, sesekali tampak ia terjatuh.Dipandanginya wajah putrinya, wajah yang persis sama dengan Siska. Lelaki itu berharap jika putrinya tidak mengikuti jejak ibunya, bahkan demi bisa fokus merawat dan mengasuh Andira, Aldo terpaksa keluar dari pekerjaannya.Membuka sebuah warung bengkel kecil di depan rumah, itulah pekerjaannya yang ditekuni Aldo sekarang untuk menafkahi putrinya. Sesekali ia menerima pekerjaan sampingan sebagai sales freelance. Untung saja ia tak perlu mengeluarkan uang untuk tempat tinggal, karena Ridwan mengizinkan dirinya dan putrinya untuk tinggal bersamanya. Sudah dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Roy, sang ayah biologisnya. Sesekali beliau menelpon, sekedar
Dua tahun kemudian."Aku tak menyangka jika kau akan membeli keripik kentang sebanyak itu," keluh Hanna sambil melirik beberapa jenis merk keripik kentang yang ada dalam troli."Aku hanya membeli untuk jatah satu minggu," jawab Reza santai.Hanna menggeleng melihat kelakuan dokter tampan itu, lalu kembali memandang deretan produk pencuci wajah yang ada di hadapannya.Awalnya Hanna hanya berdua saja dengan mbok Yem, asisten rumah tangganya, belanja dan mendorong troli supermarket ini, tapi di tengah perjalanan ke supermarket tadi, Reza mendadak meneleponnya, dan entah bagaimana caranya tiba tiba lelaki itu bisa ada di supermarket tersebut dan akhirnya ikut berbelanja."Apa masih ada yang ingin dibeli, mbok?" Tanya Hanna pada Mbok Yem ketika meletakan sebuah sabun pencuci wajah kedalam troli belanjanya."Nggak ada, semuanya sudah ada dalam troli," jawab mbok Yem."Baguslah, berati kita langsung saja ke kasir," sahut Hanna lalu menoleh pada lelaki yang berdiri di sebelahnya."Aku juga su
Hanna melirik arloji di tangannya, ketika tangan Dina menyenggol lengannya. Hanna mengerti apa yang ingin disampaikan Dina, wajahnya tampak mengangguk perlahan, lalu berpaling melirik ke sekelilingnya.Ridwan dan Roy terlihat sedang menyandarkan punggung mereka sementara Aldo menjambak rambutnya. Kemarahan masih terlihat jelas di matanya. Hanna bisa mengerti, mantan suaminya itu membutuhkan waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini."Hanna, ayo kita pulang," bisik Dina di telinga Hanna."Baiklah." sahut Hanna. Hanna dan Dina terlihat meraih tas mereka, lalu melirik Ridwan yang masih diam, segera saja mereka mengutarakan niatnya untuk pamit pulang dan segera pergi dari sini."Amanah ibu Marina sudah saya sampaikan, mohon maaf saya dan Dina pamit pulang, pak," ucap Hanna pada Ridwan."Oh ya, terima kasih banyak atas bantuannya, Hanna. Tunggu sebentar," ujarnya lalu bangkit dan berjalan tergesa masuk ke salah satu ruangan di dalam rumahnya.Hanna hanya bisa menunggunya, untung saja
"Tenangkan dirimu, nak. Bapak tahu, sulit bagimu menerima kebenaran ini, tolong jangan biarkan kemarahanmu yang berbicara karena itu tidak baik. Karena bagaimanapun dia adalah ibumu, seseorang yang harus kau hormati."Hanna melirik Roy yang tampak diam dengan kepala tertunduk. Ada luka dan kesedihan di wajah lelaki paruh baya itu. Sesekali mata tua itu melirik putranya yang masih belum bisa menerima dirinya dan kenyataan tersebut.Sentuhan tangan Dina membuat Hanna menoleh, mata Dina mengisyaratkan jika mereka harus pamit pulang, segera Hanna melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, seakan meminta waktu sebentar lagi."Baiklah, tapi sebentar saja ya," bisik Dina."Iya." Bisik Hanna pelan."Sejak kapan bapak tahu semua ini dan tahu bahwa aku bukan anak kandung bapak?" Tanya Aldo dengan suara parau, sungguh, wajah lelaki itu kini tampak begitu muram."Satu bulan sebelum ibumu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah," ujar Ridwan sambil terus memandang Aldo." ... Saat itu?" Kenin
"Pe-pemeriksaan apa ini, apakah ini adalah pemeriksaan identifikasi DNA milikku? Siapa itu Mario Darmawan? Apakah itu nama asli dari lelaki bernama Roy ini?" Lanjut Aldo sambil memandang fokus pada Ridwan, ayahnya.Ridwan tak menjawabnya, manik mata lelaki itu memandang lurus pada Aldo dengan tatapan teduh dan sikap yang begitu tenang, tak tampak kegelisahan dan rasa takut di wajahnya. Di lihatnya tangan Aldo yang gemetar, ia tahu suatu saat, hari ini pasti akan tiba, hari di mana lelaki itu mengetahui jati dirinya. Hari di mana sebuah rahasia yang disimpan bertahun-tahun akan terbongkar.Suasana hening sesaat, baik Hanna maupun Dina memilih diam, tak bersuara. Tak terkecuali Roy, lelaki berusia lima puluh tahunan itu juga memilih bungkam."Apa maksud semua ini pak? Tes DNA?" Kembali Aldo bertanya lirih."A-pa pemeriksaan ini benar?" Mendengar pertanyaan Aldo, Ridwan hanya mengangguk. Di lihatnya wajah Aldo yang tampak begitu terluka. Sungguh, ia tak berharap melukai perasaan Aldo,
Ekor mata Aldo melirik lelaki yang duduk di sebelah ayahnya dengan begitu tajam. Suasana hatinya mendadak buruk. Ia tak menyangka jika ayahnya bisa mengundang lelaki itu untuk bergabung bersama mereka di sini.Tangannya mengepal kuat, melihat wajah lelaki itu, telapak tangannya terasa gatal untuk memukul atau pun mengajak lelaki itu bertengkar.Sesekali tampak lelaki itu melirik pada Aldo, sekilas ia melihat beberapa bagian dari wajah Marina yang terpahat di sana. Mata mereka begitu mirip. Begitu juga dengan bentuk dagunya yang persis sama dengan Marina, ibunya."Untuk apa mengundangnya kemari, Pak? aku tak suka melihatnya ada di sini," ujar Aldo setengah berbisik pada Ridwan ayahnya."Bapak mengundangnya karena kehadirannya berhubungan dengan isi amplop itu, nak," jawab Ridwan."Tapi ..." Ujar Aldo yang masih tampak begitu keberatan.Yah, Aldo mengetahui persis siapa lelaki itu. Lelaki yang menjadi penyebab rumah tangga kedua orang tuanya berakhir di pengadilan. Lelaki itu pula yang
"Maaf membuatmu menunggu. Aku memintamu datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari ibumu," ujar Hanna sambil meletakkan sebuah amplop putih yang masih bersegel di atas meja.Aldo tampak mengernyitkan dahi, tatapan matanya lurus pada amplop putih yang baru saja diletakkan Hanna di meja, ada gurat kebingungan di wajahnya, wajar saja karena di matanya Hanna seakan ingin bermain teka-teki dengannya.Amplop itu tampak rapi dengan logo sebuah rumah sakit di salah satu sudutnya. Sebuah amplop yang berisi rahasia kelahiran Aldo.Menyadari kemana arah pandangan Aldo, Hanna terlihat menuduk sesat, lalu berbicara pelan."Sebelumnya aku minta maaf padamu, mas. Karena menahan amanah ini cukup lama. Aku tahu aku sangat egois dan salah, karena tidak langsung menyampaikannya padamu.""Sebenarnya, ibu memintaku untuk segera memberikan amplop ini padamu setelah ia meninggal, namun, saat itu kau sangat gencar menuduhku berselingkuh, hal itu membuatku geram dan sakit hati hingga ..." Hanna menje
Sementara itu di tempat lain."Kita tunggu Hanna datang, karena dia yang memegang amanah ibumu," Sahut Ridwan yang langsung di balas dengan kerutan di kening Aldo."Hanna? Amanah ibu? Apa sebenarnya maksud semua ini, pak?""Tunggulah sebentar, bapak yakin tak lama lagi Hanna akan tiba.""Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini," ungkap Aldo dengan wajah kebingungan.Untuk beberapa saat mereka saling diam, tak lama, terdengar Ridwan berdehem cukup keras."Bapak ke belakang sebentar membuatkan teh hangat untukmu. Sementara itu, buatlah dirimu senyaman mungkin disini. Lagipula, sudah lama kau tidak pulang ke rumah," Selesai mengucapkan kalimat itu, Ridwan pun berlalu meninggalkan Aldo sendiri.Aldo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, mengikuti saran sang ayah untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Sesekali terlihat ia memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di sana.Rumah ini adalah tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Selepas menyelesaikan pendidikan das