"Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Bima sambil memeluk Dahlia dari belakang. Dahlia menundukkan kepalanya dan membelai perutnya dengan lembut. "Mas, rasanya aku tidak ingin ikut ke rumah mama," jawab Dahlia. Bima memutar tubuh Dahlia dan berjalan dengannya. Ia membelai juga perut Dahlia yang kini membuncit. "Semua ini harus dijelaskan dan diselesaikan, Sayang. Aku harus menanyakan pada mama, apa alasannya melakukan hal itu," kata Bima. "Tapi, Mas. Aku saat ini sedang hamil, aku hanya ingin merasa tenang. Mungkin saja nanti mama akan marah dan terjadi keributan, dan smuanya gara-gara aku," ucap Dahlia. "Bukan karena kamu, Sayang. Aku akan melindungi dan membela kamu. Aku janji, tidak akan membiarkan siapapun menyakiti dan menghina istriku," kata Bima. "Aku bersyukur, bisa memeluk istriku lagi. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Sayang. Beberapa hari ini aku tidak enak makan, tidak bisa tidur, nyaris tidak bisa bekerja karena memikirkan hubungan kita," ujar Bima. "Maafkan aku, Mas. Tap
"Ada apa ini?" tiba-tiba Papa Bima sudah berdiri di antara mereka. Papa Bima baru saja pulang dari kantor dan mendengar keributan di rumahnya. "Papa," Mama Bima langsung berdiri dan menyambut suaminya. "Pa, Bima sudah sangat lelah dengan sikap Mama. Kalau Mama memang tidak bisa merestui kami, mohon maaf kalau kami tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi," kata Bima. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai bisa berbicara seperti itu?""Bukan maksud Bima untuk menjadi anak durhaka dan tidak tahu terimakasih, Pa. Tapi perbuatan Mama sudah keterlaluan," jawab Bima. Papa Bima beralih menatap istrinya, berusaha menemukan jawaban dari bibirnya. Namun Mama Bima diam dan duduk di sofa. "Jelaskan pada Papa sekarang!" seru Papa Bima. "Pa, Mama mencoba membuat skenario untuk memisahkan aku dengan Dahlia. Saat perjalanan dinas Bima dan Luciana kemarin, Mama dengan sengaja menjebak Bima dan menyuruh Robi untuk mengambil foto Bima dan Luciana. Mama mengirimkan foto itu
Bima dan Dahlia mencoba berpikiran positif dan mempercayai Mama Bima. Mereka menerima permintaan maaf Mama Bima. Akhirnya mereka saling berpelukan dengan damai. Mama dan Papa Bima ikut mengantar Dahlia kedokter kandungan untuk melihat cucu pertama mereka melalui USG. Bima dan papanya terlihat haru dan bahagia ketika janin itu terlihat di layar. Dokter kandungan menjelaskan kondisi bayi yang sehat, berat dan panjang tubuh bayi. Dahlia dan Bima sangat senang melihat calon buah hati mereka tumbuh sehat dan sempurna. Namun sedikit berbeda dengan Mama Bima yang hanya diam tanpa ekspresi melihat cucu pertamanya itu. Dahlia dan Bima tidak terlalu memusingkan sikap mamanya itu, karena mereka hanyut dalam suasana bahagia. Setelah diperiksa, dokter memberikan resep vitamin untuk Dahlia. Mereka keluar dari ruangan dokter dengan gembira."Bim, Papa dan Mama pamit, ya. Dahlia, kamu harus menjaga kesehatan, makan yang bergizi, dan jangan terlalu lelah," pesan Papa Bima. "Iya, terimakasih, Pa.
Setelah pertemuan tanpa disengaja dengan Dahlia dan suaminya, Ibu Aditya terus mendesak Aditya dan Ratih untuk segera mempunyai anak. Awalnya Ratih belum berpikir serius mengenai program kehamilan, karena ia masih cukup muda dan juga kondisi pekerjaan Aditya yang belum cukup mapan. Namun karena desakan dari mertuanya, akhirnya Ratih mulai berpikir untuk berusaha mempunyai keturunan. Ratih melihat cara Aditya memandang Dahlia memang berbeda. Ratih merasa Aditya masih memiliki perasaan khusus pada mantan istrinya itu. Oleh karena itu, Ratih berusaha menuruti permintaan ibu mertuanya. Ratih pergi ke dokter spesialis kandungan. Menurut dokter, kondisi rahim Ratih cukup baik. Untuk sementara dokter memberi vitamin dan menganjurkan pola hidup sehat untuk Ratih. Ratih pulang dari dokter kandungan dengan perasaan lega dan tenang, karena menurut dokter tidak ada masalah dengan dirinya. Sesampainya Ratih di rumah, Ibu Aditya menghubungi dirinya. "Halo, Ratih, bagaimana hasil pemeriksaanm
Ratih menjalani semua anjuran dokter, mulai dari minum vitamin, susu persiapan kehamilan, minum jamu, makanan sehat, dan sebagainya. Aditya juga pulang ke rumah dua kali dalam satu minggu. Ibu Aditya selalu memaksa Aditya dan Ratih untuk secepatnya mempunyai keturunan. Malam itu Aditya kembali pulang ke rumah. Tak seperti biasanya, Ratih justru terlihat lesu dan tidak bersemangat menyambut suaminya pulang ke rumah. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Aditya. "Mas, jujur aku sedikit tertekan pada sikap ibu yang terus memaksa kita untuk cepat mempunyai anak. Lihat di lemari itu, Mas!" tunjuk Ratih. "Ada apa?" Aditya menoleh ke arah lemari. "Ibu membelikan semua obat, jamu, madu, apa saja yang kata orang bisa membuatku cepat hamil," ujar Ratih. "Sabar, Sayang. Ibu sudah sangat ingin memiliki cucu. Bukankah itu bagus?" kata Aditya. "Tapi ibu mendesak kita seperti itu setelah melihat mantan istrimu hamil. Aku bosan dan mual harus meminum semua obat dan kamu itu, Mas. Aku merasa tertekan. S
Sore itu Bima dan Dahlia sedang bersantai dan menonton televisi. "Mas, sudah memikirkan nama untuk calon anak kita?" tanya Dahlia. "Belum mendapatkan yang tepat, Sayang. Lagipula kita belum tahu calon anak kita laki-laki atau perempuan," jawab Bima."Kita siapkan keduanya saja, Mas. Nama laki-laki dan perempuan," kata Dahlia. "Iya, Sayang. Nanti aku akan mencari nama yang paling indah untuk anak kita. Kamu ada ide?" tanya Bima. "Belum, Mas. Aku masih mencari di internet, nama yang bagus dan mempunyai makna yang baik untuk anak kita. Kenapa kemarin dia sembunyi, ya? Belum mau menunjukkan jenis kelaminnya," ucap Dahlia sambil membelai lembut perutnya. "Tidak apa-apa, dia mau memberi kejutan manis untuk kita. Kalau kamu ingin anak laki-laki atau perempuan?" tanya Bima. "Apa saja jenis kelaminnya tidak masalah, Mas. Yang penting dia tumbuh sehat dan sempurna," jawab Dahlia sambil tersenyum. "Benar, Sayang. Kita bersyukur saja, apapun anugerah Tuhan untuk kita," kata Bima. Bima men
Bima berdiri dan menghampiri polisi itu di pintu kamar. "Ada apa, Pak?" tanya Bima. "Pak, kami sudah berhasil menemukan mobil yang telah terlibat dengan kecelakaan bersama dengan bapak anda," kata seorang polisi. Dahlia yang mendengar itu turut berdiri dan menghampiri Bima. "Siapa yang menabrak bapak saya, Pak?" Dahlia bertanya dengan suara bergetar. Bima merangkul Dahlia supaya istrinya itu bisa mengendalikan diri. "Mari kita keluar sebentar, Pak, Bu," kata polisi itu. Di luar kamar sudah berdiri seorang pria paruh baya dan seorang pemuda yang sepertinya masih duduk di bangku sekolah. Wajah pemuda itu terlihat ketakutan, ia menundukkan kepalanya, menggigit bibirnya, dan berulangkali meremas jemari tangannya. Pria paruh baya itu menyalami Dahlia dan Bima. Sementara anak muda yang bersamanya, terlihat tidak nyaman dan tidak mempunyai keberanian sedikitpun, walau hanya untuk menatap Dahlia dan Bima. "Pak, mobil yang menabrak bapak anda adalah milik Pak Jaya. Tetapi saat itu mob
Ibu menghampiri Dahlia dengan panik. "Kenapa, Nak? Apa yang kamu rasakan?" tanya ibu. "Sakit, Bu," jawab Dahlia. Wajah Dahlia sampai pucat karena menahan rasa sakit. "Aduh, kenapa ini? Masih sangat jauh dari waktu untuk melahirkan. Sebaiknya kamu bawa Dahlia ke dokter," kata ibu. Bima mencoba menanyakan pada perawat mengenai jadwal praktik dokter kandungan. "Maaf, Pak. Jadwal praktik dokter spesialis sudah berakhir hari ini. Apa Bapak ingin mendaftar untuk jadwal besok?" tanya perawat itu. "Istri saya tiba-tiba merasa sakit perut. Kami cemas terjadi sesuatu dengan kandungannya," jawab Bima. "Oo, untuk kondisi darurat sebaiknya istri bapak diperiksa di IGD saja, Pak," usul perawat itu. "Baik, Sus. Saya pinjam kursi rodanya, Sus," ujar Bima. Bima segera membawa Dahlia ke ruang IGD. Dahlia segera diperiksa oleh dokter yang sedang bertugas. "Bagaimana, Dok?" tanya Bima dengan panik. "Ibu Dahlia mengalami kontraksi. Tentu seharusnya kontraksi ini tidak boleh terjadi saat ini, k
Bima tersentak, ia juga terkejut karena baru mendengar kenyataan ini. "Jadi semua ini rencana Mama dan Sandra?" tanya Bima. "Maafkan Mama, Nak," bisik Mama Bima. "Mama.. Kenapa Mama membongkar semua ini?" teriak Sandra yang sudah berdiri di pintu masuk. Sandra terlihat marah dan kesal pada mama mertuanya itu, karena membongkar rahasia itu tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Semua mata beralih menatap Sandra. Sementara Sandra menghampiri Mama Bima dan berusaha meminta penjelasan. "San, Mama merasa waktu Mama tidak akan lama lagi. Mama harus mengatakan semua ini agar Mama bisa pergi dengan tenang. Sejujurnya Mama menyesal selama beberapa tahun ini, karena Mama telah menghancurkan hidup kalian semua," kata Mama Bima. Mama Bima terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang sesak. Berbicara sejenak membuat ia sangat kelelahan. "Sekarang Mama menghancurkan hidupku. Mengapa Mama berbuat seperti itu?" tanya Sandra kesal. "Mama telah memisahkan Bima dengan Dahlia dan anaknya. Mama
Bima akhirnya harus menikahi Sandra. Namun sejak hari itu hidup Bima berubah sepenuhnya. Ia hanya memberikan status pada Sandra sebagai seorang istri, tapi tidak pernah memberikan hatinya. Sandra tinggal dengan Mama Bima, sementara Bima tetap di Semarang. Ketika Sandra mengusulkan untuk tinggal di Semarang bersamanya, Bima menolak mentah-mentah. Bima memilih tidak serumah dengan Sandra. Sandra sadar, ia tidak pernah bisa memiliki hati dan cinta Bima saat dia dalam keadaan sadar. Bima tidak pernah mau menyentuh dirinya, atau tidur bersamanya. Hal itu membuat Sandra sangat terluka, ia melampiaskan rasa kesal dan bencinya pada Bima dengan berfoya-foya, menghabiskan uang pemberian Mama Bima. Semakin lama terlihat jelas sifat dan karakter Sandra yang sebenarnya. Ia tidak lagi menghormati Mama Bima seperti dulu. Sandra sering melampiaskan rasa kesalnya pada Bima dengan menyakiti hati mama mertuanya. Sementara itu, Dahlia berusaha kembali bangkit dan menata hatinya. Dahlia menghabiskan
Sambil menangis Dahlia memasukkan semua pakaian dan barang miliknya dan Nadine ke dalam koper. Ia tidak pernah menduga mimpi buruk itu akan datang kembali dalam hidupnya. Bima selama ini selalu penuh cinta, menyayangi, dan membela Dahlia di hadapan siapapun. Namun ternyata semua hanya kepalsuan, karena Bima menyakiti Dahlia begitu dalam. Dahlia menggantikan pakaian Nadine, lalu menggendong Nadine dengan kain gendongan. Tangan kanan Dahlia menarik kopernya. "Lia, aku tidak bisa hidup tanpamu dan Nadine. Tolong maafkan aku!" Bima memegang tangan Dahlia dan berlutut di hadapannya. "Seharusnya kamu pikirkan semua akibatnya sebelum bertindak, Mas! Kamu tahu kalau aku pernah terluka, dan tidak akan berkompromi pada masalah ini. Aku benci kamu, Mas! Silakan kamu nikahi dia! Aku tidak peduli! Aku tunggu surat cerai darimu," ucap Dahlia. "Nak, kamu bisa tetap menjadi istri pertama Bima. Biarlah Sandra menjadi istri kedua Bima. Bukankah pria bisa mempunyai lebih dari satu istri?" kata Mama
Selama beberapa hari terakhir ini, Dahlia merasa suaminya banyak berubah. Bima sering melamun dan lebih pendiam. Berkali-kali Dahlia melihat raut wajah suaminya yang sendu. Dahlia mencoba bertanya apa yang sedang terjadi, tetapi Bima hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bima belum mau menceritakan masalah yang terjadi. Dahlia berpikir suaminya mungkin hanya merasa lelah, atau ada masalah dalam pekerjaannya. Bima yang biasanya ceria, selalu memeluk Dahlia dengan hangat, bermain dengan Nadine, kini mendadak murung. Seperti ada beban yang berat yang sedang dialami oleh Bima. "Mas, koq malah melamun?" tanya Dahlia. Mereka sedang di meja makan untuk makan malam bersama. Dahlia sudah mengambilkan makanan untuk suaminya dan dirinya sendiri."Oh, tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita makan!" jawab Bima. "Sebenarnya ada masalah apa, Mas? Biasanya Mas selalu menceritakan apapun padaku," kata Dahlia. "Hanya masalah pekerjaan, biasa saja koq. Kamu tenang saja, ya. Jangan cemas!" ujar Bi
Bima meminum teh manis hangat yang dihidangkan oleh Sandra. Setelah itu ia kembali menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. "San, aku pulang saja, ya. Nanti sampaikan pada mama kalau aku datang kemari," kata Bima. Bima baru saja akan bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat dan sangat mengantuk. Detik terakhir ia melihat Sandra tersenyum dan mendekatinya. Bima tak sanggup membuka matanya lagi, ia terkulai di sofa. Sandra segera menopang tubuh Bima. "Mas, kamu kenapa? Kamu lelah, ya? Ayo aku bantu kamu ke kamar," bisik Sandra. Sandra melingkarkan tangan Bima di atas bahunya, lalu memapah Bima. Sandra menghempaskan tubuh Bima ke kasur, lalu sejenak memastikan bahwa Bima sudah benar-benar lelap. Sandra tersenyum senang, rencananya berhasil. Ia harus bergerak cepat sebelum Bima bangun dan sadar. Sandra melepas pakaian Bima, lalu pakaiannya sendiri. Sandra juga mengambil ponselnya dan mengambil foto yang menunjukkan seolah dirinya dan Bima tidur bersam
"Jangan bergurau, Ma! Bima tidak akan mau mengkhianati Dahlia," kata Bima. Mama Bima hanya diam dan melemparkan pandangan ke luar jendela mobil itu. "Ma, besok Bima tidak bisa mengantar Mama ke pemakaman Mama Sandra," ucap Bima. "Kenapa, Nak? Hubungan kita sangat dekat dengan keluarga Sandra. Kita harus menghadiri acara pemakaman itu," kata Mama Bima. Bima harus bekerja, Ma. Besok ada pertemuan penting dengan klien. Kalau Mama memang mau datang, Mama naik taksi saja," ucap Bima dengan nada suara yang mulai meninggi. Mama Bima kembali bungkam, ia sadar sepertinya percuma kalau ia memaksakan kehendak pada Bima. Bima dan mamanya akhirnya sampai di rumah."Ma, Bima langsung pulang, ya," kata Bima sebelum mamanya turun dari mobil. "Hati-hati, ya,"Sepanjang jalan Bima terus memikirkan semua yang terjadi, dan perkataan mamanya. Bima tak habis pikir, mengapa mamanya bisa memberikan ide padanya untuk menikahi Sandra. 'Itu tidak mungkin terjadi! Aku sudah punya Dahlia dan Nadine. Aku s
Bima segera menuju ke rumah mamanya. Perjalanan agak tersendat karena ini adalah jam pulang kerja. Bima ingin sampai secepat mungkin ke rumah mamanya, supaya bisa pulang lebih cepat. "Ma, sudah siap? Ayo kita berangkat!" kata Bima. "Iya, Nak. Sebentar Mama ambil tas dulu," ucap Mama Bima. Lalu Bima dan mamanya naik ke mobil dan menuju ke rumah Sandra. Rumah Sandra sangat ramai dan dipadati oleh para pelayat. Jenazah Mama Sandra memang belum dimakamkan, karena menunggu Kakak Sandra yang masih dalam perjalanan dari luar negeri. Rencananya Mama Sandra akan dimakamkan besok pagi. Mama Bima segera mendekati Sandra dan memeluknya. Mama Bima memang terlihat sudah akrab dan mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Sandra. Sementara itu Bima memilih duduk agak jauh dan berbaur bersama para pelayat yang lain. Wajah Sandra terlihat pucat dan matanya sembab karena banyak menangis. Wajahnya nyaris tanpa riasan dan air mata masih membasahi wajahnya. Mama Bima mengusap lembut bahu Sandra. Sand
Mama Bima dan Sandra baru saja meninggalkan rumah Bima. Dahlia langsung masuk ke kamar dan membaringkan Nadine yang sudah terlelap. Untuk sementara tempat tidur Nadine dipindahkan ke kamar Dahlia dan Bima. Sampai nanti Nadine sudah lebih besar dan bisa tidur sendiri. Dahlia tak berbicara sepatah katapun, tak bisa dipungkiri, hatinya sakit karena perkataan Mama Bima dan tingkah laku Sandra. Dahlia membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding memunggungi Bima. Ia pura-pura memejamkan matanya dan tidur. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Dahlia, Bima mengerti perasaan istrinya itu. "Sayang, kamu sudah tidur?" tanya Bima. Dahlia tidak menjawab pertanyaan Bima itu. Ia tetap memejamkan matanya dan menahan diri sekuatnya agar tidak menangis. Bima mendekat dan memeluk Dahlia dari belakang. "Sayang, aku tahu kamu belum tidur. Sekalipun kamu diam, aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit hatimu," kata Bima. Bima menghadapkan tubuh Dahlia ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapa
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Bima dan Dahlia menikmati kebahagiaan sebagai orang tua. Mereka sangat bahagia melihat Nadine tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Pernikahan Dahlia dan Bima berjalan bahagia dan harmonis. Tanpa terasa, Nadine sudah berumur delapan bulan. Suatu hari, Mama Bima datang ke rumah bersama Sandra. Dahlia berusaha berpikiran positif dan menyambut mereka seperti tamu lainnya. Namun yang membuat Dahlia merasa tidak nyaman adalah ulah Sandra. Awalnya Sandra dan Mama Bima duduk seperti biasa di ruang tamu. "Bima mana, Lia?" tanya Mama Bima. "Oh, sebentar lagi pulang, Ma. Mungkin ini sedang di perjalanan," jawab Dahlia. Saat Dahlia mengambil minuman di dapur, ternyata Sandra masuk ke kamar Dahlia tanpa ijin dan menggendong Nadine yang sedang tidur. Sandra membawa Nadine ke ruang tamu. Dahlia terkejut dan merasa kesal, karena Nadine yang baru saja tertidur kini terbangun lagi dan rewel. Bukannya meminta maaf, Sandra malah tertawa-tawa dan menggend