Dahlia tercekat, ia berusaha mencerna baik-baik apa yang sedang dikatakan oleh mama mertuanya. Butuh beberapa detik bagi Dahlia untuk meyakini bahwa ia tidak salah mendengar atau mendefinisikan makna pernyataan itu. Dahlia menatap Mama Bima yang mundur dan tersenyum sinis padanya. Bibir Dahlia terasa kelu, tak bisa memberikan jawaban. Dahlia ingin memanggil Bima, tapi tatapan mama mertuanya berhasil membuat dirinya membeku. "Bim, Mama pamit dulu, ya," Mama Bima mendaratkan ciuman hangat di pipi Bima. "Terimakasih, Ma," ucap Bima. Di hadapan Bima, mamanya berubah menjadi lembut dan malaikat yang cantik. Dahlia menelan salivanya dengan susah payah, ia tidak menyangka kalau mama mertuanya belum berubah. Wanita paruh baya itu masih membencinya dan menganggapnya musuh yang telah merebut anak kesayangannya. Bima menutup pintu setelah orang tuanya meninggalkan ruangan itu. Sementara Dahlia masih diam, ia ingin menangis, tetapi rasanya ia sudah terlalu lelah untuk menangis. 'Katanya seo
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya ibu. "Operasi sudah selesai dilaksanakan. Kita akan memantau perkembangan kondisi bapak anda dalam beberapa hari ini. Bapak akan dipindahkan ke ruang ICU supaya kami dapat memantau setiap waktu kondisi dan perkembangannya," jawab dokter itu. Untuk sementara Dahlia, ibu, dan Bima bisa menarik nafas lega. Mereka berharap operasi ini akan memberikan hasil yang baik. "Sayang, kita kembali ke kamarmu, ya," kata Bima. "Tapi aku mau melihat bapak, Mas," ucap Dahlia. "Nanti saja, ya. Saat ini bapak belum bisa ditemui. Pasti dokter dan perawat sedang melakukan observasi," bujuk Bima. "Iya, Nak. Ayo ibu temani ke kamarmu!" kata ibu. Dahlia menuruti perkataan Bima. Bima mendorong kursi roda Dahlia menuju ke kamar. Bima kembali menggendong Dahlia dan memindahkannya ke tempat tidur. Bima menyelimuti Dahlia dan mencium keningnya. "Sayang, aku ke kantor sebentar, ya. Hanya ada sedikit urusan pekerjaan. Setelah semuanya selesai, aku akan segera kemba
Bima tidak beranjak dari sisi Dahlia, ia menggenggam tangannya sampai istrinya itu tidur dengan lelap. Ibu juga kembali ke kamar dan tidur di sofa. Wajah Dahlia dan ibu menyiratkan rasa lelah dan cemas. Sekitar pukul dua dini hari, seorang perawat mengetuk pintu kamar itu. Bima yang masih terjaga segera membuka pintu. "Ada apa, Sus?" tanya Bima. "Mas, kami mau menginformasikan kalau bapak anda saat ini sedang dalam kondisi kritis. Kami sedang berusaha menyelamatkan nyawa pasien. Kami mohon pihak keluarga dapat mendukung dalam doa," jawab perawat itu. Untuk sesaat Bima merasa limbung. Ia segera duduk di kursi yang tersedia di depan ruangan itu. Ia menunduk dan memegang kepalanya. 'Bagaimana aku bisa menyampaikan ini pada ibu dan Dahlia?' pikir Bima. Bima segera beranjak dan masuk ke dalam ruangan. Bima melihat Dahlia yang baru saja terlelap. Jejak air mata masih terlihat di wajah istrinya itu. Bima memutuskan untuk memberi tahu ibu terlebih dahulu. Bima berlutut di samping sofa,
Suasana rumah sudah ramai ketika mereka tiba di rumah. Beberapa tetangga dan saudara sudah berkumpul. Mereka dengan suka rela membantu persiapan acara pemakaman bapak. "Sayang, aku pulang sebentar untuk mengambil pakaian ganti untuk kita, ya," kata Bima. "Iya, Mas," jawab Annisa lirih. Bima mencium kening Annisa sebelum meninggalkannya.Annisa dan ibu duduk berdampingan dan berpegangan tangan. Mereka memandang dan menyentuh wajah bapak untuk terakhir kalinya. Beberapa teman bapak dan ibu mulai berdatangan. Mereka mengungkapkan rasa dukacita yang mendalam atas kepergian bapak yang sangat mendadak. Bima kembali dan membawa pakaian ganti untuk Annisa. Bima mengajak Annisa untuk masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian.Di dalam kamar, Bima memeluk Dahlia dengan erat. "Sayang, kamu harus kuat dan tegar. Aku tahu ini sangat berat bagimu," kata Bima. "Iya, Mas. Aku sadar, kita harus menjadi penopang untuk ibu. Perasaan ibu saat ini pasti sangat sedih dan hancur. Kita harus kuat demi
"Mas, aku harus menjawab apa kalau ibumu menanyakan tentang kehamilanku?" tanya Ratih. "Jawab saja program kehamilan masih berjalan," jawab Aditya lesu. "Sampai kapan kita bisa menutupi semua ini dari ibu, Mas? Suatu saat ibu pasti akan mengetahuinya," ucap Ratih. "Aku belum siap mengatakan kebenarannya pada ibu. Pasti ibu akan merasa sangat kecewa padaku," Aditya memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Tapi aku juga tidak mau disalahkan terus menerus oleh ibu, Mas. Aku tidak mau disebut mandul seperti mantan istrimu itu," keluh Ratih. "Ah, aku tidak tahu, Ratih. Kita coba saja, bertahan selama mungkin dan menutupi semua ini dari ibu," kata Aditya menerawang. Sebenarnya Ratih juga memikirkan orang tuanya. Mereka pasti juga mendambakan hadirnya cucu di tengah keluarga Ratih dan Aditya. Namun Ratih belum punya keberanian untuk mengungkapkan semuanya pada orang tuanya. Ratih masih berharap ada keajaiban bagi rumah tangganya. Akhir pekan itu Ibu Aditya mengunjungi rumah Aditya dan
Beberapa hari setelah bapak dimakamkan, Bima dan Dahlia kembali beraktivitas seperti biasanya. Kondisi Dahlia mulai membaik, meskipun tidak bisa terlalu lelah. Perut yang semakin besar membuatnya cepat merasa lelah dan terbatas melakukan aktivitasnya. "Sayang, aku ke kantor dulu, ya," kata Bima pagi itu. "Iya, Mas. Selamat bekerja," Dahlia mencium tangan Bima. "Jangan terlalu lelah ya, Sayang. Aku mencintaimu," Bima mencium kening Dahlia. "Dan juga kamu, anakku tersayang," ucap Bima sambil membungkuk dan mencium perut Dahlia. Dahlia tersenyum dan membelai rambut Bima."Hati-hati di jalan, Mas," pesan Dahlia. Dahlia duduk di kursi kasir di salonnya. Ia tidak banyak melayani konsumen, karena kondisi perutnya yang mulai membesar. Jika ada konsumen yang meminta pelayanan dari Dahlia, barulah ia turun tangan."Mbak, kapan perkiraan lahirnya?" tanya Nina. "Sekitar bulan depan, Nin," jawab Dahlia. "Wah, sebentar lagi kami punya keponakan. Senangnya," kata Nina. "Iya, doakan supaya l
"Sayang, rumah ini sudah jadi. Kapan saja kita bisa pindah kemari. Bagaimana kalau minggu depan kita pindah?" tanya Bima saat dalam perjalanan pulang ke rumah. "Kalau dua minggu lagi bagaimana, Mas? Ada beberapa barang yang harus kita pindahkan ke rumah yang baru, aku harus membereskan dan mempersiapkannya dulu. Sekalian nanti kita membuat acara keluarga untuk rumah baru kita," jawab Dahlia. "Iya, Sayang. Terserah kamu saja bagaimana baiknya," kata Bima. "Mas, ada yang ingin aku tanyakan padamu," "Ada apa, Sayang?" Bima melirik Dahlia. "Mas, rumah kita yang baru cukup besar, dan ada empat kamar tidur. Apakah boleh aku mengajak ibu untuk tinggal bersama kita?" tanya Dahlia. "Tentu boleh, Sayang," jawab Bima. Dahlia tersenyum senang, ia menyandarkan kepalanya di bahu Bima. Bima mengusap rambut Dahlia dengan lembut dan menciumnya. Keesokan paginya, Dahlia dan Bima menemui ibu untuk mengutarakan maksud hati mereka. "Bu, ada yang mau Lia bicarakan," kata Dahlia. "Ada apa, Nak?"
Hari pertunangan Lulu akhirnya tiba. Acara itu akan diadakan di sebuah hotel berbintang sore nanti. Calon tunangan Lulu adalah anak seorang pengusaha yang cukup terkenal. Mereka sudah cukup lama menjalin hubungan. Bima dan Dahlia sedang bersiap-siap untuk berangkat. Dahlia merias wajahnya dengan riasan sederhana dan memakai gaun berwarna hijau muda. Bima melihat Dahlia cukup lama mematut dirinya di depan cermin dan belum juga merasa puas dengan penampilannya sendiri. "Kenapa, Sayang?" tanya Bima. "Perutku sudah sangat besar. Aku merasa tidak percaya diri dengan penampilanku, Mas," jawab Dahlia. Bima memutar tubuh istrinya sehingga kini mereka saling berhadapan. Bima membelai perut Dahlia yang sudah sangat besar. Sesekali Bima bisa merasakan gerakan lembut janin di dalam perut Dahlia itu. "Sayang, kamu tetap yang paling cantik," kata Bima. Dahlia tersenyum dan kembali berbalik ke cermin. "Mas ini pintar merayu, pasti Mas bilang begitu untuk menghibur aku. Bagaimana kalau Mas be
Bima tersentak, ia juga terkejut karena baru mendengar kenyataan ini. "Jadi semua ini rencana Mama dan Sandra?" tanya Bima. "Maafkan Mama, Nak," bisik Mama Bima. "Mama.. Kenapa Mama membongkar semua ini?" teriak Sandra yang sudah berdiri di pintu masuk. Sandra terlihat marah dan kesal pada mama mertuanya itu, karena membongkar rahasia itu tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Semua mata beralih menatap Sandra. Sementara Sandra menghampiri Mama Bima dan berusaha meminta penjelasan. "San, Mama merasa waktu Mama tidak akan lama lagi. Mama harus mengatakan semua ini agar Mama bisa pergi dengan tenang. Sejujurnya Mama menyesal selama beberapa tahun ini, karena Mama telah menghancurkan hidup kalian semua," kata Mama Bima. Mama Bima terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang sesak. Berbicara sejenak membuat ia sangat kelelahan. "Sekarang Mama menghancurkan hidupku. Mengapa Mama berbuat seperti itu?" tanya Sandra kesal. "Mama telah memisahkan Bima dengan Dahlia dan anaknya. Mama
Bima akhirnya harus menikahi Sandra. Namun sejak hari itu hidup Bima berubah sepenuhnya. Ia hanya memberikan status pada Sandra sebagai seorang istri, tapi tidak pernah memberikan hatinya. Sandra tinggal dengan Mama Bima, sementara Bima tetap di Semarang. Ketika Sandra mengusulkan untuk tinggal di Semarang bersamanya, Bima menolak mentah-mentah. Bima memilih tidak serumah dengan Sandra. Sandra sadar, ia tidak pernah bisa memiliki hati dan cinta Bima saat dia dalam keadaan sadar. Bima tidak pernah mau menyentuh dirinya, atau tidur bersamanya. Hal itu membuat Sandra sangat terluka, ia melampiaskan rasa kesal dan bencinya pada Bima dengan berfoya-foya, menghabiskan uang pemberian Mama Bima. Semakin lama terlihat jelas sifat dan karakter Sandra yang sebenarnya. Ia tidak lagi menghormati Mama Bima seperti dulu. Sandra sering melampiaskan rasa kesalnya pada Bima dengan menyakiti hati mama mertuanya. Sementara itu, Dahlia berusaha kembali bangkit dan menata hatinya. Dahlia menghabiskan
Sambil menangis Dahlia memasukkan semua pakaian dan barang miliknya dan Nadine ke dalam koper. Ia tidak pernah menduga mimpi buruk itu akan datang kembali dalam hidupnya. Bima selama ini selalu penuh cinta, menyayangi, dan membela Dahlia di hadapan siapapun. Namun ternyata semua hanya kepalsuan, karena Bima menyakiti Dahlia begitu dalam. Dahlia menggantikan pakaian Nadine, lalu menggendong Nadine dengan kain gendongan. Tangan kanan Dahlia menarik kopernya. "Lia, aku tidak bisa hidup tanpamu dan Nadine. Tolong maafkan aku!" Bima memegang tangan Dahlia dan berlutut di hadapannya. "Seharusnya kamu pikirkan semua akibatnya sebelum bertindak, Mas! Kamu tahu kalau aku pernah terluka, dan tidak akan berkompromi pada masalah ini. Aku benci kamu, Mas! Silakan kamu nikahi dia! Aku tidak peduli! Aku tunggu surat cerai darimu," ucap Dahlia. "Nak, kamu bisa tetap menjadi istri pertama Bima. Biarlah Sandra menjadi istri kedua Bima. Bukankah pria bisa mempunyai lebih dari satu istri?" kata Mama
Selama beberapa hari terakhir ini, Dahlia merasa suaminya banyak berubah. Bima sering melamun dan lebih pendiam. Berkali-kali Dahlia melihat raut wajah suaminya yang sendu. Dahlia mencoba bertanya apa yang sedang terjadi, tetapi Bima hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bima belum mau menceritakan masalah yang terjadi. Dahlia berpikir suaminya mungkin hanya merasa lelah, atau ada masalah dalam pekerjaannya. Bima yang biasanya ceria, selalu memeluk Dahlia dengan hangat, bermain dengan Nadine, kini mendadak murung. Seperti ada beban yang berat yang sedang dialami oleh Bima. "Mas, koq malah melamun?" tanya Dahlia. Mereka sedang di meja makan untuk makan malam bersama. Dahlia sudah mengambilkan makanan untuk suaminya dan dirinya sendiri."Oh, tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita makan!" jawab Bima. "Sebenarnya ada masalah apa, Mas? Biasanya Mas selalu menceritakan apapun padaku," kata Dahlia. "Hanya masalah pekerjaan, biasa saja koq. Kamu tenang saja, ya. Jangan cemas!" ujar Bi
Bima meminum teh manis hangat yang dihidangkan oleh Sandra. Setelah itu ia kembali menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. "San, aku pulang saja, ya. Nanti sampaikan pada mama kalau aku datang kemari," kata Bima. Bima baru saja akan bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat dan sangat mengantuk. Detik terakhir ia melihat Sandra tersenyum dan mendekatinya. Bima tak sanggup membuka matanya lagi, ia terkulai di sofa. Sandra segera menopang tubuh Bima. "Mas, kamu kenapa? Kamu lelah, ya? Ayo aku bantu kamu ke kamar," bisik Sandra. Sandra melingkarkan tangan Bima di atas bahunya, lalu memapah Bima. Sandra menghempaskan tubuh Bima ke kasur, lalu sejenak memastikan bahwa Bima sudah benar-benar lelap. Sandra tersenyum senang, rencananya berhasil. Ia harus bergerak cepat sebelum Bima bangun dan sadar. Sandra melepas pakaian Bima, lalu pakaiannya sendiri. Sandra juga mengambil ponselnya dan mengambil foto yang menunjukkan seolah dirinya dan Bima tidur bersam
"Jangan bergurau, Ma! Bima tidak akan mau mengkhianati Dahlia," kata Bima. Mama Bima hanya diam dan melemparkan pandangan ke luar jendela mobil itu. "Ma, besok Bima tidak bisa mengantar Mama ke pemakaman Mama Sandra," ucap Bima. "Kenapa, Nak? Hubungan kita sangat dekat dengan keluarga Sandra. Kita harus menghadiri acara pemakaman itu," kata Mama Bima. Bima harus bekerja, Ma. Besok ada pertemuan penting dengan klien. Kalau Mama memang mau datang, Mama naik taksi saja," ucap Bima dengan nada suara yang mulai meninggi. Mama Bima kembali bungkam, ia sadar sepertinya percuma kalau ia memaksakan kehendak pada Bima. Bima dan mamanya akhirnya sampai di rumah."Ma, Bima langsung pulang, ya," kata Bima sebelum mamanya turun dari mobil. "Hati-hati, ya,"Sepanjang jalan Bima terus memikirkan semua yang terjadi, dan perkataan mamanya. Bima tak habis pikir, mengapa mamanya bisa memberikan ide padanya untuk menikahi Sandra. 'Itu tidak mungkin terjadi! Aku sudah punya Dahlia dan Nadine. Aku s
Bima segera menuju ke rumah mamanya. Perjalanan agak tersendat karena ini adalah jam pulang kerja. Bima ingin sampai secepat mungkin ke rumah mamanya, supaya bisa pulang lebih cepat. "Ma, sudah siap? Ayo kita berangkat!" kata Bima. "Iya, Nak. Sebentar Mama ambil tas dulu," ucap Mama Bima. Lalu Bima dan mamanya naik ke mobil dan menuju ke rumah Sandra. Rumah Sandra sangat ramai dan dipadati oleh para pelayat. Jenazah Mama Sandra memang belum dimakamkan, karena menunggu Kakak Sandra yang masih dalam perjalanan dari luar negeri. Rencananya Mama Sandra akan dimakamkan besok pagi. Mama Bima segera mendekati Sandra dan memeluknya. Mama Bima memang terlihat sudah akrab dan mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Sandra. Sementara itu Bima memilih duduk agak jauh dan berbaur bersama para pelayat yang lain. Wajah Sandra terlihat pucat dan matanya sembab karena banyak menangis. Wajahnya nyaris tanpa riasan dan air mata masih membasahi wajahnya. Mama Bima mengusap lembut bahu Sandra. Sand
Mama Bima dan Sandra baru saja meninggalkan rumah Bima. Dahlia langsung masuk ke kamar dan membaringkan Nadine yang sudah terlelap. Untuk sementara tempat tidur Nadine dipindahkan ke kamar Dahlia dan Bima. Sampai nanti Nadine sudah lebih besar dan bisa tidur sendiri. Dahlia tak berbicara sepatah katapun, tak bisa dipungkiri, hatinya sakit karena perkataan Mama Bima dan tingkah laku Sandra. Dahlia membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding memunggungi Bima. Ia pura-pura memejamkan matanya dan tidur. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Dahlia, Bima mengerti perasaan istrinya itu. "Sayang, kamu sudah tidur?" tanya Bima. Dahlia tidak menjawab pertanyaan Bima itu. Ia tetap memejamkan matanya dan menahan diri sekuatnya agar tidak menangis. Bima mendekat dan memeluk Dahlia dari belakang. "Sayang, aku tahu kamu belum tidur. Sekalipun kamu diam, aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit hatimu," kata Bima. Bima menghadapkan tubuh Dahlia ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapa
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Bima dan Dahlia menikmati kebahagiaan sebagai orang tua. Mereka sangat bahagia melihat Nadine tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Pernikahan Dahlia dan Bima berjalan bahagia dan harmonis. Tanpa terasa, Nadine sudah berumur delapan bulan. Suatu hari, Mama Bima datang ke rumah bersama Sandra. Dahlia berusaha berpikiran positif dan menyambut mereka seperti tamu lainnya. Namun yang membuat Dahlia merasa tidak nyaman adalah ulah Sandra. Awalnya Sandra dan Mama Bima duduk seperti biasa di ruang tamu. "Bima mana, Lia?" tanya Mama Bima. "Oh, sebentar lagi pulang, Ma. Mungkin ini sedang di perjalanan," jawab Dahlia. Saat Dahlia mengambil minuman di dapur, ternyata Sandra masuk ke kamar Dahlia tanpa ijin dan menggendong Nadine yang sedang tidur. Sandra membawa Nadine ke ruang tamu. Dahlia terkejut dan merasa kesal, karena Nadine yang baru saja tertidur kini terbangun lagi dan rewel. Bukannya meminta maaf, Sandra malah tertawa-tawa dan menggend