Sejurus kemudian, Bima mengambil alih situasi. Pria itu melakukan hal yang tidak disangka oleh Sinta. Bima mendorong dengan kasar tubuh Sinta sampai jatuh terduduk di sofa. Sinta berharap adegan berlanjut sesuai dengan harapannya, karena Sinta telah hanyut dalam pesona seorang Bima. Namun Bima mendekat dan menunjuk wajah Sinta. "Wanita tidak tahu malu! Kamu pikir aku akan menyukai kamu dan semudah itu tergoda padamu?" teriak Bima. "A.. Apa?!" Sinta terkejut dengan reaksi Bima."Perbuatanmu itu memalukan. Jangan pernah berani muncul di hadapan saya lagi!" Bima terlihat sangat marah. Sinta tidak percaya kalau Bima masih menolaknya setelah Sinta bersikap lebih agresif padanya seperti tadi. "Mas, kalau Mas tidak ingin melakukannya di sini, mungkin kita bisa ke tempat lain? Hotel misalnya?" tanya Sinta. "Kamu belum mengerti juga? Saya tidak akan pernah mau denganmu! Istri saya lebih cantik dan terhormat dibanding denganmu. Dan perlu kamu ingat, saya tidak akan mengorbankan pernikaha
Aditya terkejut melihat reaksi Ratih yang tidak biasa. Selama ini Ratih lebih banyak diam dan mau mengikuti semua kemauan Aditya. Namun kali ini Ratih sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Aditya spontan mundur dan menghindar, sehingga gelas yang dilempar oleh Ratih pecah berkeping-keping di lantai. "Sayang, kamu apa-apaan sih?" teriak Aditya. "Pergi! Jangan kembali lagi ke rumah ini!" Ratih berteriak dengan keras. "Ka-kamu bercanda kan? Kita bisa membicarakan ini baik-baik," Aditya berusaha membujuk Ratih. Namun Ratih sangat serius, ia mendorong tubuh Aditya dengan keras sampai ke teras rumah. Aditya tercengang dan tidak menduga sikap Ratih akan seperti itu. Ratih masuk ke dalam kamar, lalu memasukkan semua pakaian Aditya ke dalam tas ranselnya.Aditya mengangkat wajahnya dan tersenyum ketika melihat pintu kembali dibuka dan Ratih keluar. Namun ternyata Ratih keluar untuk membawa tas dan melemparkannya ke wajah Aditya. Aditya terkejut menangkap tas itu, ia mencoba menarik
Aditya merasa sangat tidak nyaman, ia tidak mempunyai harga diri, karena istrinya telah menendangnya keluar dari rumah. Sementara itu, ibunya terus mengomeli Aditya dan menyuruhnya kembali pada Sinta. "Aduh, bagaimana ini? Ratih tidak juga menelepon atau mengirim uang itu ke rekening Ibu. Ini semua gara-gara kamu!" Ibu melotot kesal pada Aditya. "Ibu ini selalu menyalahkan Adit. Jelas-jelas Ratih yang keras kepala, tidak mau menuruti ucapan suaminya sendiri," kata Aditya. "Apa susahnya kamu menuruti dia? Merayu dan membuatnya jatuh cinta? Kalau kamu berhasil mendapatkan hatinya, pasti dia akan menuruti semua keinginanmu. Begitulah wanita pada umumnya. Kamu sudah tiga kali menikah, masih saja bodoh!" kata Ibu. "Ibu ini selalu saja memanfaatkan aku, ikut campur semua urusanku, kapan aku bisa bahagia dan memutuskan jalan hidupku sendiri?" gerutu Aditya. Spontan ibunya memukul kepala Aditya dengan remot televisi yang sedang dipegangnya. "Kamu ini! Masih Ibu bantu saja kamu bodoh beg
Setelah memeriksakan diri ke dokter, ternyata Dahlia hanya sakit karena kelelahan. Dahlia mendapatkan obat dari dokter yang harus dikonsumsi setiap hari, dan harus banyak beristirahat. Tiga hari kemudian, kondisi tubuh Dahlia mulai membaik dan bisa kembali beraktivitas seperti biasanya. Rencananya pagi ini Dahlia akan mengunjungi salon yang ada di rumah ibunya. Selama sakit, Dahlia tidak datang ke salon itu. "Sayang, kamu sudah sehat?" tanya Bima sambil memakai kemejanya. "Iya, Mas. Aku mau ke rumah ibu pagi ini," jawab Dahlia. "Aku antar saja, ya. Nanti sepulang kerja aku jemput lagi," kata Bima. "Oh, iya Mas,"Dahlia menyisir rambutnya dan menyiapkan tas yang akan dibawanya. Setelah itu Dahlia dan Bima menyantap sarapan dan menuju ke rumah Ibu Dahlia. Ketika mereka sudah hampir sampai, Dahlia melihat sebuah salon baru yang baru saja dibuka. Jarak salon itu dengan rumah Dahlia hanya sekitar dua ratus meter. Dahlia belum mengenal siapa pemilik salon itu.Salon itu menempati sebu
Sore harinya, Bima datang menjemput Dahlia. Sebelum pulang, mereka makan siang bersama bapak dan ibu. Dahlia dan ibu sudah memasak menu istimewa untuk makan malam mereka bersama. Suasana malam itu sangat menyenangkan, karena sudah lama mereka tidak makan bersama. Setelah selesai, Dahlia dan Bima kembali ke rumah mereka. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Sayang?" tanya Bima. "Mas, salonku sudah dia hari sepi, karena pelanggan tertarik mencoba datang ke salon baru itu," keluh Dahlia. "Itu wajar, Sayang. Jika ada tempat baru, apalagi ada penawaran diskon dan lainnya, pasti membuat orang tertarik. Tetapi percayalah, kalau memang kualitas dan pelayananmu lebih baik, pelanggan akan kembali padamu," jawab Bima. "Iya, Mas. Tadi juga pemilik salon itu datang. Dia mengatakan bahwa salonnya akan mengalahkan salonku. Katanya pasti salonku akan segera gulung tikar," Dahlia menerawang ke depan. "Wah, benarkah? Sombong sekali sepertinya orang itu," ucap Bima. "Iya, aku sudah berusaha meneriman
"Jadi dia yang menyebarkan cerita bohong ini? Jahat sekali!" Dahlia nyaris tak percaya. "Berapa kalian dibayar untuk datang kemari dan menuntut salon ini ditutup?" Bima turut emosi. "Sa-saya tidak dibayar, Mas. Saya kemari hanya karena ikut emosi mendengar kabar itu. Saya takut suami saya tergoda dan datang kemari untuk mencari wanita lain. Maafkan saya," kata seorang wanita gemuk. "Jadi kamu yang pertama menyebarkan berita ini? Kamu dibayar oleh pemilik salon itu?" desak Bima pada wanita yang pertama mengaku disuruh oleh Salvina. Wanita yang tadinya banyak bicara itu kini hanya diam dan terlihat gemetar karena ketakutan. "Iya betul, dia yang pertama kali mengatakannya pada kami. Jadi kamu bohong? Kamu membuang waktu kami saja!" timpal yang lain. "Jadi jelas ya, Bapak dan Ibu semuanya. Berita tadi tidak benar, itu semua fitnah. Lain kali, Bapak dan Ibu jangan mudah percaya pada perkataan orang lain, apalagi tanpa bukti. Jangan mudah dihasut, terpancing amarah karena kabar yang b
Aditya dan Ratih mulai mengajukan kredit untuk modal usaha mereka. Angka yang diajukan cukup besar, dan membuat Ratih ragu dan cemas. Namun Aditya terus meyakinkan Ratih bahwa mereka bisa membayar cicilan kredit itu setiap bulan. Sore itu Ratih pulang membawa kabar mengenai keputusan bank. "Mas, tadi pihak bank sudah menghubungi aku, katanya pengajuan kredit kita sudah disetujui," kata Ratih. "Wah, bagus itu. Kapan kita bisa mendapatkan uangnya?" Aditya sangat bersemangat. "Besok kita harus ke bank dulu untuk tanda tangan, Mas," jawab Ratih. "Akhirnya, aku senang bisa memulai usaha kita, Sayang," "Mas, tolong hati-hati ya mengelola uang itu. Jangan gunakan untuk hal yang tidak perlu. Aku tidak mau kita sampai kesulitan membayarnya," Ratih berusaha mengingatkan Aditya."Tenang saja, Sayang. Kita pasti berhasil mengelola usaha dan mendapatkan keuntungan yang banyak. Nanti pasti kamu akan menikmati hasilnya juga," ucap Aditya dengan mata berbinar. Ratih hanya diam dan berdoa, semo
Tak terasa, sudah satu minggu berlalu sejak kejadian penggerebekan Salon Dahlia. Walaupun sudah diketahui dengan pasti dan diklarifikasi bahwa kabar itu hanya fitnah, tetapi pengunjung Salon Dahlia belum kembali seperti semula. Masih banyak orang yang penasaran dan mendatangi Salon Salvina. Salvina juga memberikan banyak potongan harga dan tarif yang lebih terjangkau. Dahlia berusaha mengevaluasi, apakah ia masih bisa menurunkan harga untuk pelayanan salonnya. Namun Dahlia melihat bahwa sebenarnya keuntungannya sudah sangat tipis. Harga yang dipatok oleh Dahlia tidak terlalu tinggi, juga harga obat dan peralatan Salon yang cukup mahal. Mungkin ada salon yang memakai produk biasa, yang harganya lebih murah dan memberi keuntungan yang lebih besar. Namun Dahlia memilih menggunakan produk perawatan kulit dan rambut yang berkualitas di salonnya. Dahlia memikirkan kepuasan konsumen dan hasil yang baik untuk para pelanggannya. "Banyak pelanggan yang mengatakan bahwa harga yang dipatok o
Bima tersentak, ia juga terkejut karena baru mendengar kenyataan ini. "Jadi semua ini rencana Mama dan Sandra?" tanya Bima. "Maafkan Mama, Nak," bisik Mama Bima. "Mama.. Kenapa Mama membongkar semua ini?" teriak Sandra yang sudah berdiri di pintu masuk. Sandra terlihat marah dan kesal pada mama mertuanya itu, karena membongkar rahasia itu tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Semua mata beralih menatap Sandra. Sementara Sandra menghampiri Mama Bima dan berusaha meminta penjelasan. "San, Mama merasa waktu Mama tidak akan lama lagi. Mama harus mengatakan semua ini agar Mama bisa pergi dengan tenang. Sejujurnya Mama menyesal selama beberapa tahun ini, karena Mama telah menghancurkan hidup kalian semua," kata Mama Bima. Mama Bima terdiam sejenak, ia mengatur nafasnya yang sesak. Berbicara sejenak membuat ia sangat kelelahan. "Sekarang Mama menghancurkan hidupku. Mengapa Mama berbuat seperti itu?" tanya Sandra kesal. "Mama telah memisahkan Bima dengan Dahlia dan anaknya. Mama
Bima akhirnya harus menikahi Sandra. Namun sejak hari itu hidup Bima berubah sepenuhnya. Ia hanya memberikan status pada Sandra sebagai seorang istri, tapi tidak pernah memberikan hatinya. Sandra tinggal dengan Mama Bima, sementara Bima tetap di Semarang. Ketika Sandra mengusulkan untuk tinggal di Semarang bersamanya, Bima menolak mentah-mentah. Bima memilih tidak serumah dengan Sandra. Sandra sadar, ia tidak pernah bisa memiliki hati dan cinta Bima saat dia dalam keadaan sadar. Bima tidak pernah mau menyentuh dirinya, atau tidur bersamanya. Hal itu membuat Sandra sangat terluka, ia melampiaskan rasa kesal dan bencinya pada Bima dengan berfoya-foya, menghabiskan uang pemberian Mama Bima. Semakin lama terlihat jelas sifat dan karakter Sandra yang sebenarnya. Ia tidak lagi menghormati Mama Bima seperti dulu. Sandra sering melampiaskan rasa kesalnya pada Bima dengan menyakiti hati mama mertuanya. Sementara itu, Dahlia berusaha kembali bangkit dan menata hatinya. Dahlia menghabiskan
Sambil menangis Dahlia memasukkan semua pakaian dan barang miliknya dan Nadine ke dalam koper. Ia tidak pernah menduga mimpi buruk itu akan datang kembali dalam hidupnya. Bima selama ini selalu penuh cinta, menyayangi, dan membela Dahlia di hadapan siapapun. Namun ternyata semua hanya kepalsuan, karena Bima menyakiti Dahlia begitu dalam. Dahlia menggantikan pakaian Nadine, lalu menggendong Nadine dengan kain gendongan. Tangan kanan Dahlia menarik kopernya. "Lia, aku tidak bisa hidup tanpamu dan Nadine. Tolong maafkan aku!" Bima memegang tangan Dahlia dan berlutut di hadapannya. "Seharusnya kamu pikirkan semua akibatnya sebelum bertindak, Mas! Kamu tahu kalau aku pernah terluka, dan tidak akan berkompromi pada masalah ini. Aku benci kamu, Mas! Silakan kamu nikahi dia! Aku tidak peduli! Aku tunggu surat cerai darimu," ucap Dahlia. "Nak, kamu bisa tetap menjadi istri pertama Bima. Biarlah Sandra menjadi istri kedua Bima. Bukankah pria bisa mempunyai lebih dari satu istri?" kata Mama
Selama beberapa hari terakhir ini, Dahlia merasa suaminya banyak berubah. Bima sering melamun dan lebih pendiam. Berkali-kali Dahlia melihat raut wajah suaminya yang sendu. Dahlia mencoba bertanya apa yang sedang terjadi, tetapi Bima hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Bima belum mau menceritakan masalah yang terjadi. Dahlia berpikir suaminya mungkin hanya merasa lelah, atau ada masalah dalam pekerjaannya. Bima yang biasanya ceria, selalu memeluk Dahlia dengan hangat, bermain dengan Nadine, kini mendadak murung. Seperti ada beban yang berat yang sedang dialami oleh Bima. "Mas, koq malah melamun?" tanya Dahlia. Mereka sedang di meja makan untuk makan malam bersama. Dahlia sudah mengambilkan makanan untuk suaminya dan dirinya sendiri."Oh, tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita makan!" jawab Bima. "Sebenarnya ada masalah apa, Mas? Biasanya Mas selalu menceritakan apapun padaku," kata Dahlia. "Hanya masalah pekerjaan, biasa saja koq. Kamu tenang saja, ya. Jangan cemas!" ujar Bi
Bima meminum teh manis hangat yang dihidangkan oleh Sandra. Setelah itu ia kembali menghubungi mamanya, tetapi tidak ada jawaban. "San, aku pulang saja, ya. Nanti sampaikan pada mama kalau aku datang kemari," kata Bima. Bima baru saja akan bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat berat dan sangat mengantuk. Detik terakhir ia melihat Sandra tersenyum dan mendekatinya. Bima tak sanggup membuka matanya lagi, ia terkulai di sofa. Sandra segera menopang tubuh Bima. "Mas, kamu kenapa? Kamu lelah, ya? Ayo aku bantu kamu ke kamar," bisik Sandra. Sandra melingkarkan tangan Bima di atas bahunya, lalu memapah Bima. Sandra menghempaskan tubuh Bima ke kasur, lalu sejenak memastikan bahwa Bima sudah benar-benar lelap. Sandra tersenyum senang, rencananya berhasil. Ia harus bergerak cepat sebelum Bima bangun dan sadar. Sandra melepas pakaian Bima, lalu pakaiannya sendiri. Sandra juga mengambil ponselnya dan mengambil foto yang menunjukkan seolah dirinya dan Bima tidur bersam
"Jangan bergurau, Ma! Bima tidak akan mau mengkhianati Dahlia," kata Bima. Mama Bima hanya diam dan melemparkan pandangan ke luar jendela mobil itu. "Ma, besok Bima tidak bisa mengantar Mama ke pemakaman Mama Sandra," ucap Bima. "Kenapa, Nak? Hubungan kita sangat dekat dengan keluarga Sandra. Kita harus menghadiri acara pemakaman itu," kata Mama Bima. Bima harus bekerja, Ma. Besok ada pertemuan penting dengan klien. Kalau Mama memang mau datang, Mama naik taksi saja," ucap Bima dengan nada suara yang mulai meninggi. Mama Bima kembali bungkam, ia sadar sepertinya percuma kalau ia memaksakan kehendak pada Bima. Bima dan mamanya akhirnya sampai di rumah."Ma, Bima langsung pulang, ya," kata Bima sebelum mamanya turun dari mobil. "Hati-hati, ya,"Sepanjang jalan Bima terus memikirkan semua yang terjadi, dan perkataan mamanya. Bima tak habis pikir, mengapa mamanya bisa memberikan ide padanya untuk menikahi Sandra. 'Itu tidak mungkin terjadi! Aku sudah punya Dahlia dan Nadine. Aku s
Bima segera menuju ke rumah mamanya. Perjalanan agak tersendat karena ini adalah jam pulang kerja. Bima ingin sampai secepat mungkin ke rumah mamanya, supaya bisa pulang lebih cepat. "Ma, sudah siap? Ayo kita berangkat!" kata Bima. "Iya, Nak. Sebentar Mama ambil tas dulu," ucap Mama Bima. Lalu Bima dan mamanya naik ke mobil dan menuju ke rumah Sandra. Rumah Sandra sangat ramai dan dipadati oleh para pelayat. Jenazah Mama Sandra memang belum dimakamkan, karena menunggu Kakak Sandra yang masih dalam perjalanan dari luar negeri. Rencananya Mama Sandra akan dimakamkan besok pagi. Mama Bima segera mendekati Sandra dan memeluknya. Mama Bima memang terlihat sudah akrab dan mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Sandra. Sementara itu Bima memilih duduk agak jauh dan berbaur bersama para pelayat yang lain. Wajah Sandra terlihat pucat dan matanya sembab karena banyak menangis. Wajahnya nyaris tanpa riasan dan air mata masih membasahi wajahnya. Mama Bima mengusap lembut bahu Sandra. Sand
Mama Bima dan Sandra baru saja meninggalkan rumah Bima. Dahlia langsung masuk ke kamar dan membaringkan Nadine yang sudah terlelap. Untuk sementara tempat tidur Nadine dipindahkan ke kamar Dahlia dan Bima. Sampai nanti Nadine sudah lebih besar dan bisa tidur sendiri. Dahlia tak berbicara sepatah katapun, tak bisa dipungkiri, hatinya sakit karena perkataan Mama Bima dan tingkah laku Sandra. Dahlia membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding memunggungi Bima. Ia pura-pura memejamkan matanya dan tidur. Hanya dengan melihat ekspresi wajah Dahlia, Bima mengerti perasaan istrinya itu. "Sayang, kamu sudah tidur?" tanya Bima. Dahlia tidak menjawab pertanyaan Bima itu. Ia tetap memejamkan matanya dan menahan diri sekuatnya agar tidak menangis. Bima mendekat dan memeluk Dahlia dari belakang. "Sayang, aku tahu kamu belum tidur. Sekalipun kamu diam, aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit hatimu," kata Bima. Bima menghadapkan tubuh Dahlia ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapa
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Bima dan Dahlia menikmati kebahagiaan sebagai orang tua. Mereka sangat bahagia melihat Nadine tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Pernikahan Dahlia dan Bima berjalan bahagia dan harmonis. Tanpa terasa, Nadine sudah berumur delapan bulan. Suatu hari, Mama Bima datang ke rumah bersama Sandra. Dahlia berusaha berpikiran positif dan menyambut mereka seperti tamu lainnya. Namun yang membuat Dahlia merasa tidak nyaman adalah ulah Sandra. Awalnya Sandra dan Mama Bima duduk seperti biasa di ruang tamu. "Bima mana, Lia?" tanya Mama Bima. "Oh, sebentar lagi pulang, Ma. Mungkin ini sedang di perjalanan," jawab Dahlia. Saat Dahlia mengambil minuman di dapur, ternyata Sandra masuk ke kamar Dahlia tanpa ijin dan menggendong Nadine yang sedang tidur. Sandra membawa Nadine ke ruang tamu. Dahlia terkejut dan merasa kesal, karena Nadine yang baru saja tertidur kini terbangun lagi dan rewel. Bukannya meminta maaf, Sandra malah tertawa-tawa dan menggend