Sekuat tenaga Jonathan bertahan melawan pengaruh obat. Dilihatnya Angeline berdiri waspada, menjaga jarak karena belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "Kamu tetap di sana," kata Jonathan. Angeline hanya bisa mengangguk. Dia tersentak kaget mendengar suara barang pecah. Lelaki itu memecahkan cermin. "Apa yang kamu lakukan??" Angeline menatap ngeri. "Menjaga diriku tetap waras. Mereka memasukkan obat dalam minumanku." Jonathan mengambil sepotong kaca dan menggenggamnya. "Sial ...." Angeline memandang sekeliling kamar yang tidak ada jendela sama sekali. "Bertahanlah. Nathan menunggumu di luar." Jonathan menggertakkan gigi. Rasa sakit di tangan tidak dapat menutupi pengaruh obat. "Kamu sendiri bisa bertahan?" Angeline diliputi rasa takut dan cemas. "Kuusahakan." Detik berlalu menjadi menit. Keringat telah membasahi kening Jonathan. Entah obat apa yang telah dia minum. Efeknya cukup kuat dan bertahan lama. Dia melirik Angeline. "Bagaimana
"Dia tidak akan bisa bergerak mengganggu kita lagi. Semua aset dan pengikut sudah kuambil alih, sedangkan dia kupindahkan ke villa yang lebih kecil," tutur Gabriel. "Papa yakin kakek tua itu tidak akan bisa bergerak lagi?" tanya Angeline dengan raut wajah khawatir. "Kali ini aku sudah memastikannya, Sayang. Uang memiliki kuasa lebih besar dari siapa pun di muka bumi. Pengikut yang setia saja bisa memalingkan wajah karena uang. Semua, kecuali Gerard." Angeline meraih tangan Gabriel dan berkata, "Kalau ada apa-apa beri tahu kami, oke?" "Tentu saja, Putriku Sayang. Maaf telah menyeretmu dalam masalah." Gabriel memeluk Angeline seerat mungkin. Nathan berdeham. Gabriel melirik tidak senang karena suara itu mengganggu momen ayah dan anak. Dia tetap memeluk Angeline. Melihat kedua orang di hadapannya masih berpelukan, Nathan berdeham lebih keras. "Nanti bagaimana dengan Jonathan?" Angeline melirik Nathan. "Dia bebas melakukan apa saja. Mungkin hidup ak
Tiba di penthouse Mike, Bu Yanti dan Yunita ikut naik. Tidak henti-hentinya Mike meminta Angeline menceritakan seperti apa interaksi dengan Jonathan. Nathan masuk ke kamar terlebih dahulu sedangkan Angeline bersama Mike duduk di sofa. "Pokoknya dia tidak sepenuhnya seburuk yang kamu katakan. Mungkin dia hanya melakukan pekerjaannya dengan sangat baik," ujar Angeline yang masih belum mau melepas Rafael dari gendongan. "Wow, serius? Tapi setahuku dia menjadi eksekutor bagi lawan-lawan kakek Mei. Seharusnya dia berdarah dingin." Mike mencolek-colek pipi Rafael dengan gemas. "Mungkin itu sebelum dia punya istri dan anak." Angeline memperhatikan bayi kecilnya yang sudah terlelap sejak tadi. Dia menghalau tangan Mike yang tidak berhenti mencolek pipi gembul itu. "Habisnya dia lucu sekali," ucap Mike. "Buat satu lah. Pasti ada wanita yang kamu suka?" Mike meringis, "Kakak, umurku baru dua puluh lima. Aku masih remaja loh." "Remaja apanya? Kamu sudah jadi CEO-n
"Ah ... akhirnya bisa kena udara segar." Angeline memejamkan mata menikmati hembusan angin sejuk di teras restoran tepi laut. Rafael memandangi wajah ibunya. "Nikmati waktumu, Baby Girl. Kita tidak terburu-buru." Nathan meremas tangan Angeline. "Kak, kuhabiskan lasagna-mu?" pinta Mike yang melihat makanan di piring Angeline tersisa separuh. "Silakan." Nathan tidak tahan untuk tidak berkomentar, "Sepertinya papamu tidak cukup memberi makan?" "Maklumilah Kakak Ipar. Aku masih dalam masa pertumbuhan." Tidak teralihkan dari tujuannya semula, Mike mengambil piring Angeline dan mulai makan. "Iya. Mike masih remaja," timpal Angeline dengan senyum geli di wajah. "Benar 'kan? Tuh, Kakak Ipar. Aku awet muda. Tidak mau tahu rahasia awet mudaku?" Mike menyeringai. "Dengan kata lain kau mengataiku tua?" Nathan memicingkan mata. Angeline memalingkan wajah agar tidak tertawa melihat ekspresi Nathan. "Eh, emm ... tidak begitu, Kakak Ipar. Aku hanya bercanda
Meskipun berada di tengah kesibukan pengambilan kembali aset perusahaan dan pembersihan pengikut yang tidak setia, Gabriel menyempatkan diri untuk melihat keadaan Angeline akibat cerita Mike yang kelewat bersemangat. Dia merasa putrinya akan mengalami kelelahan dengan tidak ada lagi asisten rumah tangga. Kini semua orang duduk santai di sofa ruang tamu penthouse, membuat tempat itu semakin ramai. Mike bercanda dengan Rafael sementara yang lainnya mengobrol. Gabriel membawa Gloria, wanita yang bekerja sebagai juru masak di rumahnya. Wanita itu sudah berusia enam puluh dengan wajah yang serius. Rambut kelabunya selalu diikat erat dalam sanggul ketat agar tidak mengganggu pergerakan. "Gloria bisa membantumu, Sayang. Seperti yang kamu tahu dia pandai memasak, juga punya banyak anak dan cucu sehingga keahliannya merawat bayi tidak diragukan lagi," tutur Gabriel. "Papa, kamu seperti marketing yayasan penyedia babysitter," goda Angeline. Mike mendekap mulut menahan tawa.
Suara kecipak air berpadu dengan suara tawa ceria terdengar dari bagian belakang sebuah rumah besar yang terlihat asri karena banyak tanaman hias dan rerumputan hijau di sudut-sudut tertentu. Bagi orang yang pernah berkunjung ke rumah tersebut tahu ada basement bagi dua mobil mewah dan dua motor sport. Seorang anak kecil berusia kurang lebih dua tahun yang baru saja diangkat ke pinggir kolam berlari ke arah deretan kursi malas di bawah kanopi. "Papa!" seru anak itu seraya melompat ke perut ayahnya. "Ugh, anak Papa berat sekali! Kamu sudah tambah besar!" Dengan hanya memakai celana pendek, tato yang menghiasi dada dan lengan kiri Nathan terlihat jelas. "Hei, mana? Katanya mau ikut berenang? Dasar curang!" Angeline—dengan pakaian renang two pieces berwarna hitam—menghampiri Nathan. "Oh, iya kah? Aku lupa." Nathan menyeringai. Matanya mengagumi sosok cantik Angeline yang terlihat seksi dengan rambut basah. Angeline melempar handuk ke pangkuan lelaki itu dan me
Semuanya sudah selesai makan siang dan Gabriel kembali ke rumahnya sendiri untuk mengurus masalah pekerjaan, sedangkan Nathan dan Jonathan duduk di ruang tamu. Kedua lelaki itu terlihat mengobrol dengan santai, padahal ... "Jasmine berkata dia ingin mencarimu." "Apa?" Nathan mengernyit. "Dia berkata seperti itu pada hari aku menyelesaikan urusanku. Mungkin selama ini dia sedang membayangkan menjalani hidup bahagia bersamamu." Nathan menekan pelipis, "Akan kutangani dia jika benar-benar muncul di sini." "Penggemarmu memang tidak ada yang normal. Bagaimana Angeline menyikapinya?" Jonathan melayangkan pandangan ke ruang makan, tempat Angeline dan Mike bergantian menyuapi Rafael makan. "Dia percaya padaku," ketus Nathan. "Sial. Beruntung sekali kau bisa mengenal wanita sepertinya. Terkadang aku berpikir, sayang sekali bukan aku yang terlebih dahulu menemukan Angeline." "Cari wanita lain yang masih lajang, Brengsek. Jangan sentuh, bahkan jangan berani me
"Untuk apa kau di sini?" ketus Nathan. "Aku berjaga seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, Kakak Ipar." Mike tersenyum lebar. Jelas sekali dia sudah mempersiapkan segala sesuatu agar dapat menonton dengan nyaman. Bahkan tidak lupa membawa sekantong makanan kecil. "Huh, terserah! Tapi jangan dekat-dekat!" Nathan melilit tangannya dengan sabuk tipis. "Tahu akan ada penonton aku berpakaian lebih baik," cetus Jonathan dengan senyum khasnya. Dia juga melakukan hal sama seperti Nathan. Mike meringis, "Kalau bukan karena kakak menyuruhku, aku tidak akan kemari." Nathan menoleh, "Angel tahu?" "Aduh Kakak Ipar, tadi siang kalian berdua mengobrol dengan suara normal. Tentu saja kami mendengarnya. Kakak tidak tega mencegah saja," ujar Mike. "Dia juga tidak sampai hati menonton. Wanita yang baik," ucap Jonathan. "Diam kau!" "Hei, sekarang berbicara pun tidak boleh?" "Berlaku khusus untukmu!" Mike menatap dua lelaki di hadapannya bergantian se
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu