"Aku heran kenapa kalian ikut," ketus Nathan yang sedang menyetir. Dia tidak henti-hentinya melihat kaca spion untuk mengawasi dua penumpang yang duduk belakang. "Kakak Ipar, aku berguna untuk membantu menjaga Rafa." Demikian pembelaan Mike. Jonathan hanya tersenyum—yang dalam pandangan Nathan terlihat mengesalkan. "Seharusnya kita ajak papa sekalian biar makin seru." Angeline menekan pelipis. Untung Rafael yang duduk di pangkuannya asyik memperhatikan jalan jadi tidak menambah keramaian. "Ya, kenapa tidak? Aku bisa mengobrol lebih santai dengannya daripada harus melihat wajah Nathan yang tidak enak dipandang," cetus Jonathan. Nathan menatap dari kaca spion, "Satu kata lagi kuturunkan kau di sini." "Tidak masalah. Aku selalu bisa menemukan jalan kembali ke rumahmu." "Persis anjing pelacak," ejek Nathan. Dering handphone membuyarkan percakapan yang telah mengarah kepada perdebatan. Sedikit susah payah Angeline mengeluarkan handphone dari tas selempan
Ombak kecil menyapu pantai dengan lembut. Jonathan memperhatikan Nathan dan Rafael yang bermain air. Sorot matanya mengandung kerinduan sekaligus rasa sakit yang dalam. Jerit tawa Rafael membangkitkan kenangannya akan masa lalu. Aneh memang, dahulu dia berpikir dengan membalas dendam hatinya akan merasa damai. Ternyata tidak. Duka itu tidak serta-merta lenyap. Perlahan matanya terpejam. Aroma laut dan suara-suara anak kecil menghidupkan kenangan akan istri dan anaknya yang telah tiada. Bagi orang sepertinya yang meniti jalan kegelapan memang tidak mudah membiarkan siapa pun mendekat. Namun, saat hatinya telah terbuka bagi seseorang, akan sangat sulit untuk melupakan. "Mau kembali atau tinggal?" tanya Nathan. Jonathan membuka mata, "Kalian kembalilah. Aku akan tinggal sebentar." "Bye, Uncle." Rafael melambaikan tangan. Jonathan membalas lambaian anak kecil itu. Kemudian tanpa berkata apa pun Nathan membawa Rafael kembali ke cafe. Anak kecil itu tidak lagi ra
Lama Angeline duduk diam setelah Nathan menceritakan semua tentang masa lalunya yang kelam. Rumah besar ini ramai oleh tawa dan celoteh Rafael yang bermain dengan Gloria, tapi semua itu seolah berada di dimensi lain pendengaran Angeline. Nathan pun duduk tak bersuara di sebelah istrinya sambil berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. "Sudah malam. Aku tidurkan Rafa dulu." Angeline beranjak dari sofa. Nathan menangkap tangan si wanita dan berucap, "Baby Girl, beri tahu aku apa yang kamu pikirkan." Angeline menatap asing, "Setelah menidurkan Rafa." Tidak dapat mencegah lagi, Nathan melepas Angeline. Pandangannya mengikuti sosok wanita itu berjalan ke arah Rafael dan Gloria. Seperti dugaan Nathan, mengungkapkan masa lalu tidaklah sulit. Hal yang tersulit adalah menghadapi reaksi Angeline. Lelaki itu pun bersandar pasrah di sofa, berpikir seandainya dia bisa mengubur masa lalu itu selamanya. Namun, di satu sisi dia menyadari, relasi antara dirinya da
Emosi menguasai Jasmine sehingga jari-jarinya gemetar saat mencari nomor handphone Nathan. Dia menekan tombol hijau dan dengan penuh harap menanti kekasihnya menjawab panggilan tersebut. Keresahan mewarnai wajah Jasmine karena nada tunggu berakhir tanpa hasil. Tidak menyerah, wanita itu kembali menelepon. Satu kali, dua kali, sampai belasan kali. Suara high heels beradu dengan lantai marmer menjadi musik pengiring kegelisahannya. Jasmine berjalan mondar-mandir di lobby gedung Wayne Group, memutuskan untuk menunggu sampai Nathan kembali dari meeting. Kehadirannya menjadi daya tarik bagi lawan jenis terutama karena pakaian yang seksi. Jasmine mengabaikan semua tatapan itu. Hatinya setia kepada sang kekasih. "Come on ... where are you, Nathan ...?" desis Jasmine ketika nada tunggu berikutnya berakhir. Hampir menjelang siang ketika wanita itu melihat sosok yang didambakan berjalan masuk dari pintu utama. Matanya menyorotkan kekaguman melihat semua orang bersikap hormat ter
Ingatan akan peristiwa dua tahun yang lalu membuat Angeline melangkah mundur. Menjaga jarak aman adalah hal terbaik yang dapat dilakukan jika menghadapi lawan seimbang. Setidaknya dapat mengulur sedikit waktu sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Jasmine memang tampak berbahaya dengan pakaian serba hitam yang membalut ketat tubuhnya. "Jasmine." Angeline menatap tajam. "Aku tersanjung kamu masih mengingatku. Walaupun sebenarnya secara hirarki kamu harus memanggilku bibi." Bibir merah itu tersenyum dengan cara yang sedikit tidak normal. "Aku yang tersanjung karena kamu menempuh perjalanan begitu jauh untuk mencariku," balas Angeline. "Jarak bukanlah penghalang, Sayang, karena aku datang untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Kekasihku." Sekejap tatapan Jasmine menjadi tidak fokus, kemudian kembali normal. "Aku tidak merasa berhutang padamu. Bahkan aku tidak mau berurusan denganmu. Keluarga Mei membuatku muak," ketus Angeline. Jasmine tertawa m
"Lain kali jangan biarkan aku mengeluarkan ide aneh." Alardo bersandar di pangkuan Sonya dengan Anita duduk di perutnya. "Sekali-sekali tidak apa, Sayang. Aku jadi tahu kamu suami yang kuat." Sonya tersenyum manis. Tangannya membelai rambut Alardo dengan lembut. Nathan dan Angeline mengamati pasangan itu dari kursi sebelah sambil bergunjing. "Lihat ... temanmu manja sekali ... Dia pikir tidak ada orang lain di sini ya," bisik Angeline. "Perilakunya memang seperti itu, Baby ... Untung dia menikah dengan wanita pujaannya, jadi semua perilaku ajaib itu tersalurkan dengan baik," bisik Nathan. Rafael yang duduk di pangkuan Nathan menatap aneh. Mungkin dia heran kenapa orangtuanya harus bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar. Iseng anak kecil itu menarik kerah kaos Nathan untuk melihat tato di tubuh sang ayah. "Kamu juga kadang-kadang manja ...." Angeline mencubit lengan suaminya. "Tapi aku tidak melakukannya di depan umum, 'kan?" kilah Nathan. "Ti
"Aku bukan khayalan, Jasmine. Bagaimana kalau kucarikan psikiater yang bagus untukmu?" Nathan mengernyit. "Sejak awal aku sudah tahu kamu bukan khayalan, Sayang. Kamu selalu kembali kepadaku. Aku tidak butuh psikiater atau apa pun, asal aku mendapatkan hatimu kembali." Jasmine melangkah maju. "Wanita keras kepala. Sadar, Jasmine, semua itu hanya dalam duniamu sendiri." Nathan mendorong wanita itu mundur. "Salah. Dunia kita berdua." Wanita itu tersenyum licik. Nathan mengernyit. Nalurinya mengatakan ada yang tidak beres, ditambah lagi jantungnya berdebar abnormal. Barulah dia sadar bahwa aroma parfum yang dipakai Jasmine mengandung obat bius. "Berani sekali kau, mencoba membiusku?" Nathan menggertakkan gigi. "Oh, kamu menyadarinya? Sedikit terlambat, bukan? Kamu tidak akan bisa melawannya, Nathan. Ini terlalu kuat untukmu. Bahkan Jonathan pun kesulitan mengatasinya." Wajah Jasmine berbinar. Lelaki itu mencengkeram tangan Jasmine yang hendak menyentuhnya.
"Bad idea, Angel. Really-really bad idea." Nathan menekan pelipis. Baru kali ini gagasan Angeline tidak berkenan di hatinya. "Pikirkan dulu, Nath. Kalau dia sudah sembuh, atau minimal lebih baik, dia pasti tidak akan mengganggu kita lagi. Yang penting 'kan bagaimana supaya dia mau menerima penanganan psikiater," bujuk Angeline. Nathan menghela nafas, "Kita bicarakan lagi nanti. Tubuhku masih terasa tidak nyaman dan kepalaku sakit." "Perlu ke dokter?" "Sepertinya tidak perlu. Sepengetahuanku efeknya akan hilang sendiri. Sial sekali aku terjebak oleh wanita brengsek itu." Angeline mengernyit, "Mungkin seperti yang dulu terjadi pada Jonathan." "Hmm ... ya, bisa jadi." "Apa perlu bicara dengannya?" "Tidak perlu, Baby Girl. Aku istirahat sebentar, setelah itu kita pulang." Nathan kembali rebah, menarik serta Angeline bersamanya. Wanita itu kehilangan keseimbangan dan membentur dada Nathan. "Aduh, pelan-pelan, Nath," keluh Angeline. "Sorry," ucap
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu