Seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta Jasmine menggandeng Nathan kembali ke suite. Kebahagiaan meluap dalam hatinya karena akan menghabiskan waktu berdua dengan lelaki pujaan. Tanpa ada keraguan sedikit pun Jasmine menarik Nathan masuk. "Make love to me, Nathan." Lelaki itu mendorong Jasmine ke dinding, menahan kedua tangannya di atas kepala dan menciumnya seperti binatang kelaparan. Si wanita membalas dengan intensitas serupa. Sikap dominan Nathan membuat gairahnya melonjak pesat. Dia berusaha melepaskan kedua tangannya dari cengkeraman Nathan, tapi sia-sia. "Nathan ... lepaskan ...," lirih Jasmine. "Kau menyukainya, bukan?" Lelaki itu menyeringai jahat. Tangannya melingkar di leher si wanita. Jasmine menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan mendamba, "Lakukan sesukamu, Sayang ...." Hal berikutnya yang terjadi adalah mereka berdua bergumul di tempat tidur. Jasmine menikmati perlakuan kasar si lelaki seperti yang biasa dia lakukan. Wanita itu tida
"Di mana bajingan itu?" "Dia menghilang, Bos. Baru saja ada di depan kami." Nathan menekan pelipis, "Lihat di belakang kalian." Sedetik kemudian terdengar suara-suara teriakan dari ujung percakapan seluler tersebut. Dari suara benturan yang terdengar sepertinya alat komunikasi milik anak buah Nathan jatuh di lantai mobil. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Hening selama beberapa saat ... "Kutunggu di gym-mu, Nathaniel." Terdengar suara dingin Jonathan. "Siapkan surat wasiat, Brengsek." Nathan menggertakkan gigi. Jonathan tertawa, kemudian hening dan hubungan terputus. Hati-hati sekali Nathan meletakkan handphone di atas meja. Tatapannya melayang ke arah Angeline yang tidur nyenyak. Jangan sampai wanitanya terbangun karena dia tidak mampu mengekang emosi. Motor sport Nathan melaju dengan kecepatan tinggi menembus hawa malam yang teramat dingin. Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, penuh konsentrasi terhadap keadaan sekitar. Dengan
Sekeluarga besar yang terdiri dari lima orang—Nathan, Angeline, Rafael, Gabriel, dan Mike—beserta Gloria dan pengawal pribadi masing-masing yang berjumlah empat orang berangkat bersama ke Labuan Bajo. Meskipun Jonathan dan Jasmine sudah tidak akan mengganggu, tapi Nathan tidak sampai hati berpisah dengan anak istri. Mereka berangkat pagi-pagi sekali dengan pesawat pribadi agar punya waktu bersantai sebelum pertemuan dimulai. Tidak sampai dua setengah jam pesawat mendarat di Bandara Komodo. Pihak penyelenggara sudah menyediakan beberapa minivan mewah untuk menjemput peserta. Perjalanan masih ditempuh cukup jauh dan membuat beberapa orang mabuk kendaraan. Nathan bangga melihat Rafael bertahan di tengah perjalanan yang sedikit tidak bersahabat itu. "Wow, baru kali ini aku mabuk darat," keluh Mike begitu mobil tiba di hotel tujuan. "Tandanya tubuhmu kurang fit. Kau kurang olahraga?" cetus Nathan. "Kakak Ipar, kamu tidak bermaksud mengajakku olahraga, 'kan?" Mike merin
Rafael menguap lebar untuk kesekian kalinya. Angeline pun merasa bosan, tapi dia bertahan demi Nathan. Menurut jadwal acara akan berakhir empat puluh lima menit lagi. Masa mereka tidak bisa bertahan dalam waktu sesingkat itu? "Rafa bosan?" Nathan memiringkan tubuh ke arah putranya. "Bosan," kata anak kecil itu dengan suara nyaring. Semua orang menoleh. Mike menunduk menahan tawa. Keponakannya memang tahu cara menjadi pusat perhatian. "Tidak apa-apa. Kami bisa bertahan," bisik Angeline. Seolah menanggapi perkataan ibunya, Rafael mulai merengek. "Kita ke cafe dulu supaya dia tidak ngambek." Nathan beranjak dengan Rafael dalam gendongan. Angeline menghindari tatapan semua orang dan bergegas mengikuti Nathan sampai cafe yang dimaksud. Wajah Rafael berubah cerah begitu melihat segelas besar minuman coklat. Sekejap mata dia melupakan ayah ibunya. "Bahagia sekali jadi anak kecil." Nathan mengusap rambut putranya. "Kita dulu juga bahagia sebaga
"Pokoknya jangan berkelahi. Sebisa mungkin hindari masalah, terutama Jonathan," ujar Angeline. "I know, Baby Girl." Nathan berdiri di depan cermin merapikan jas berwarna krem yang menjadi pilihan hari ini. Angeline memeluk suaminya erat-erat, "Aku dan Rafa di kamar saja. Kalau bosan paling kami ajak Gloria ke cafe." "Darman dan Heri kusuruh berjaga di sini, oke?" Nathan membalas pelukan itu. "Oke, Honey Bunny." Angeline tersenyum manis. Nathan tertegun, "Baby, aku jadi manis sekali?" Angeline tertawa, "Iya ya? My Honey Bunny. Habis kadang-kadang kamu lucu sih." "Oh ya? Tunggu sampai acara selesai. Akan kutunjukkan sesuatu yang lucu." Lelaki itu menyeringai penuh arti. "Siapa takut?" Angeline menarik kerah jas Nathan dan menciumnya. "I love you too, Baby Girl." "Come back soon, Honey Bunny," goda Angeline. "Oke, kupikir sebaiknya panggilan semanis itu jangan terdengar oleh orang lain selain kita berdua." "Kenapa?" Angeline pura-pura t
Suara nyaring terdengar ketika tendangan beradu dengan target. Peluh membasahi tubuh Angeline yang telah berlatih fisik selama satu jam. Nathan tidak memberi kesempatan lengah, terus mengejar dengan merubah posisi target, memaksa Angeline berpikir keras untuk mengeluarkan variasi jurus yang berbeda. "Lihat mamamu? Dia wanita yang kuat. Maka kamu harus jadi lebih kuat supaya bisa melindunginya," kata Gloria pada Rafael. Anak lelaki yang kini sudah berusia lima tahun itu menatap nyaris tak berkedip. Tangan kecilnya mengepal setiap kali pukulan atau tendangan Angeline mengenai target. "Aku mau jadi kuat," ucap Rafael. "Anak pintar." Gloria menepuk-nepuk punggung anak itu. Melihat Angeline sudah hampir mencapai batas ketahanan Nathan mengakhiri latihan. Dia menghampiri wanita yang terengah kelelahan itu dan merangkulnya. "Refleksmu sudah lebih baik." Angeline mendongak, "Pelatihku killer." Nathan tertawa, "Baby Girl, aku hanya melakukan permintaanmu."
Gabriel memeluk Angeline seerat mungkin setelah mendengar kabar gembira akan kehamilan putrinya. Angeline menepuk-nepuk punggung sang ayah karena tidak yakin harus memberikan respon seperti apa. Tidak sia-sia mereka menggedor pintu rumah Gabriel di pagi hari. "Congratulations, Angel. And Nathan." Gabriel memegang kedua bahu Angeline. Raut wajah lelaki paruh baya itu menunjukkan bahagia campur haru. "Thank you, Papa. Keluarga akan bertambah ramai." Angeline tersenyum lebar. Nathan mengamati interaksi yang berlangsung di depan mata, siap untuk memisahkan seandainya dia merasa basa-basi berlangsung terlalu lama. "Apa pun yang kamu perlukan, beri tahu Papa. Oke? Kita semua sekeluarga. Jangan sungkan." Gabriel menatap Nathan. "Tenang saja, Pa. Nathan sudah berpengalaman menghadapi wanita hamil." "Tepat sekali," sahut Nathan. "Mana Mike? Aku mau memberitahu dia." Angeline melongok ke belakang. "Mungkin masih tidur. Semalam anak itu tidak pulang. Entah apa
Diam-diam Angeline melirik ke arah Gabriel dan Jonathan yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dia sendiri bersama Rafael dan Nathan masih duduk di meja makan. Mike sudah kembali ke rumah sebelah dan Gloria sibuk merapikan dapur. "Menurutmu apa tujuannya?" tanya Angeline dengan suara pelan. "Mungkin ingin menghabiskan sisa hidup dengan bersenang-senang tanpa tanggung jawab," sahut Nathan yang sedang memasukkan irisan daging ke panci. "Hmm ... Memang dia orang seperti itu?" Nathan menoleh, "Baby Girl, kita tidak mengenalnya secara pribadi. Aku tidak dapat menebak sedalam itu." "Iya, betul. Lebih baik tidak usah dipikirkan." Angeline bergidik. "Sekarang makan yang banyak. Ingat, kamu makan untuk dua orang." Nathan memindahkan daging yang sudah matang ke mangkok Angeline. "Thank you, Honey Bunny," bisiknya. "You're welcome." "Mama, mau," pinta Rafael. "Oh, iya, iya. Mama potong dulu." Angeline memotong irisan daging menjadi potongan kecil-kec