DICARI!
Wanita menyusui yang bersedia memberikan ASI eksklusif untuk putri saya, Arumi Nasha. Syarat utama adalah wanita yang benar-benar sehat jiwa raga, dan memang dalam masa menyusui dari seorang anak PEREMPUAN.Bagi yang berminat serius, bisa hubungi ke nomor 0852xx185291. Untuk bayaran bisa dibicarakan nanti.***Sebuah pengumuman dari akun seseorang yang bernama Hanan Prasetya tiba-tiba lewat di beranda f******k Dimas sore ini. Dalam sekejap pengumuman tersebut langsung mendapat react love, jempol, dan ngakak. Berbagai komentar pun bermunculan. Dimas mulai tertarik untuk membuka kolom komentar.[Situ sehat?]
[Perlu surat ijin suaminya, enggak? Mau daftar nih] Komen seseakun dengan emotion ngakak.
[Modus]
[Nyus*in anaknya, apa bapaknya?] Komen seseakun lagi dengan emotion tertawa lebar dan langsung mendapat beberapa like dari para netizen lainnya.
[Aku mau daftar, tapi masih dalam masa pertumbuhan juga]
[Aku mau daftar, tapi laki-laki. Gak punya ASI. Gimana dong]
Dan banyak lagi komentar miring lain yang masuk. Tak satupun dari komen yang masuk menunjukkan rasa simpati. Memang sekilas statusnya tergolong nyeleneh.
Dimas mencoba membuka profil Si Pencari ASI sambil menyesap rokok. Tak ada apa-apa. Terakhir mengubah foto profilnya 2 tahun yang lalu. Ah! Nampaknya akun fake yang hanya mencari sensasi di dunia maya.
Tapi ....
[Tes]
Dimas coba mengirim pesan lewat mesenger. Dalam hitungan detik tanda centang langsung berubah menjadi foto profil Hanan Prasetya. Itu artinya .... akun tersebut aktif dan messenger Dimas dibaca.
Yes!
Dimas bersorak dalam hati. Lekas ia menyalin nomor yang bisa dihubungi, dan mengirim pesan collect, karena pulsanya habis.[Saya bersedia memberikan ASI eksklusif untuk putri Anda, asal bayarannya sesuai. Tapi Saya kehabisan pulsa. Kalau Anda serius, telpon saja ke nomor saya ini.]
Harap-harap cemas Dimas menanti apakah lelaki tersebut bersedia membayar pesannya, dan ternyata berhasil. Sms collect diterima. Tak perlu waktu lama, nomor yang sudah diberi nama Hanan tadi memanggil di layar ponsel Dimas. Segera ia menekan puntung rokoknya di dalam asbak.
"Malilaaah! Malilah!"
"Malilaaaah! Sini cepat!"
"Apa, Mas? Kok teriak-teriak!" Malilah menghampiri dari dalam dengan langkah tertatih-tatih.
"Lelet sekali kamu, Lila! Seperti keong saja," hardik Dimas kesal karena baru saja Malilah mendekat, panggilannya sudah berakhir.
"I-ya Mas. Ini masih sakit. Gak bisa bergerak cepat," jawab Malilah sambil meringis memegang pay*daranya yang nampak membesar. Tepatnya membengkak.
"Mau berenti sakitnya?" Tanya Dimas dengan nada kasar. Malilah mengangguk sedikit ketakutan.
"Nih! Tadi yang nelpon ada job yang sangat cocok buat kamu yang baru habis lahiran, dan Asi melimpah! "
"Tapi Mas, aku belum pulih. Baru dua hari!" Suara Malilah memelas.
"Harus mau! Kamu harus kerja, buat ganti uang ibu yang dipakai buat persalinan kamu kemaren. Sia-sia juga ibu ngeluarin uang. Kamu juga gak becus lahirin anak!" ucap Dimas membuat air mata Malilah runtuh kembali.
Siapa ibu di dunia ini yang tidak ingin melahirkan anak dalam keadaan sehat? Dan hati ibu mana yang tidak hancur ketika anak yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa ternyata lebih disayang oleh penciptaNya, hingga tak diijinkan untuk bersama walau hanya dalam hitungan jam?
"Mas! Ini sudah takdir. Bukan salahku! Aku sudah berjuang!"
Tubuh Malilah merosot. Sakit kehilangan anak pertama mereka masih sangat basah, ditambah dengan perkataan Dimas membuat Malilah merasa hidupnya seperti tak berguna.
Drrrtt ... drtttt ... drtttt ....
Ponsel Dimas dimeja tampak menyala."Nah. Ini. Untung dia telpon lagi. Aku angkat, dan kamu bicara. Bilang bahwa kamu bersedia menyusui anaknya kalau imbalannya sesuai!"
"Ka-mu? Mau aku bekerja sebagai pen-jual ASI untuk orang yang tak dikenal!" Mata Malilah membulat sempurna. Tak percaya.
"Lila! Ibu perlu uangnya kembali cepat! Aku juga enggak ada uang. Cepat angkat dan ikuti aja perkataanku! Daripada mubadzir! Gak capek juga kan, kamu mompa-mompa terus," Dimas menarik kasar lengan Malilah untuk berdiri. Lalu ia menempelkan ponsel yang sudah ia aktifkan loudspeakernya ke telinga Malilah sambil menatapnya tajam. Mengancam.
"Ha-halo!" suara Malilah terdengar gugup.
"Halo. Benar ini orang yang bersedia memberikan ASI untuk anak saya? Eh, maksudnya membagi ASI?"
Malilah terdiam, kemudian buru-buru menjawab," i-ya. Benar!"
Malilah meringis manakala cengkraman tangan suaminya makin keras. Tak ada jawaban dari seberang sana. Terdengar tangisan seorang anak anak yang sepertinya masih kecil.
"Kalau benar-benar serius, saya boleh minta alamatnya? Saya akan datang ke sana supaya bisa berbicara langsung? Saya benar-benar butuh! Nanti saya kirimin pulsa kalau memang serius?" suara lelaki tersebut memelas di sela suara tangisan anaknya.
Malilah memandang suaminya yang langsung mengisyaratkan untuk menerima tawaran tersebut.
"Iya! Nanti saya kirim alamat saya," jawab Malilah pasrah.
Dimas tersenyum senang, dan bertambah senang begitu melihat ada kiriman pulsa masuk ke ponselnya senilai lima puluh ribu rupiah. Lebih dari cukup untuk mengirim pesan yang hanya berisi alamat.
***
Di kursi tamu Malilah menunduk, antara malu dan pasrah setelah lelaki yang bernama Hanan memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Arumi Nasha. Sedikit risih karena Hanan memperhatikan dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala."Anaknya perempuan juga, kan?" ucap Hanan kemudian.
"Laki-laki! Tapi sudah enggak ada. Langsung meninggal. Karena itu, ASInya banyak dan melimpah. Bikin kesakitan kadang," Sahut Dimas enteng tanpa beban.
"Oh, maaf! Turut berduka. Tapi ... benar Mbak Lila mau? Dan Mas enggak keberatan? Saya benar-benar butuh. Anak saya tidak bisa menerima susu formula. Bermacam merek sudah saya coba. Selalu muntah." Hanan berbicara sambil menatap Dimas seperti meminta persetujuan.
"Tapi, ibunya kemana?" Malilah bertanya.
Hanan terdiam. Seperti kurang suka mendengar pertanyaan Malilah. Dimas langsung menatap malilah tajam.
"Jawab saja dulu, benar bersedia atau tidak!" jawabnya kemudian.
"Asal bayarannya sesuai!" Sahut Dimas santai.
"Lima juta sebulan? Cukup? Hanya menyusui?" tawar Hanan.
"Kurang!"
"Bilang aja, minta berapa?" tanya Hanan memberikan kesempatan.
"Sepuluh juta! Belum ongkos antar jemput," Jawab Dimas membuat Malilah mendelik.
Hanan berpikir sejenak.
"Boleh, tapi harus siap kapan saja dibutuhkan. Termasuk tengah malam!"
"Lima belas juta! Bawa saja dia tinggal disana! Daripada aku harus bolak-balik antar. Lila enggak bisa naik motor. Angkot juga jarang lewat," tawar Dimas meninggikan harga lagi.
"Mas? Kamu menjualku atau ASI-ku?" tanya Malilah spontan membuat Hanan langsung menatapnya dengan tatapan aneh.
"Mas? Kamu menjualku atau ASIku?" ulang Malilah Malilah sekali lagi membuat Hanan langsung menatapnya dengan tatapan aneh."Kamu! Kamu sudah enggak waras ya! Atau jangan-jangan kamu memang sengaja berniat membeliku?" Malilah menunjuk wajah Hanan. Seketika ia lupa cara menghormati tamu."Aku? Membelimu? Untuk apa? Dipakai enggak bisa, dijual enggak bisa?" Hanan mengernyitkan dahi heran. Bukankah tadi Malilah sendiri yang mengiyakan? Kenapa jadi menuduh yang bukan-bukan."Kalian sudah sekongkol makanya dengan mudah dia mengeluarkan uangnya? Lima belas juta, setuju?" Tuding Malilah masih tak terima merasa diperjual belikan oleh dua manusia yang sama-sama egois di depannya. Ia menunjuk wajah Dimas lalu berpaling menatap Hanan masih dengan sorot curiga."Sekongkol bagaimana? Jelas-jelas tadi yang bicara sama dia kamu sendiri!" jawab Dimas santai."Licik kamu, Mas!" Dada M
"Mama! Ma!" Hanan begitu panik, menyadari Bu Ratih pingsan karena ulahnya."Malilah! Bantu angkat ke kamar! Kamu di kakinya!" perintah Hanan."Ta-pi. Pak Bos. Saya kan baru habis lahiran. Enggak boleh angkat yang berat-berat.""Ya ampun. Ya udah! Minggir. Aku angkat sendiri! Kamu ambilin air, sana!""Dimana ambilnya?""Astaga! Ya di dapur masa di WC!" Ucap Hanan langsung membopong tubuh ibunya ke kamar."Oh, air minum," gumam Malilah sambil berbalik menuju dapur. Ia heran. Kenapa rumah sebesar itu tidak ada pembantu satu pun. Cukup lama ia tengak-tengok mencari tempat gelas."Malilaaaah! Cepat airnya!" Terdengar teriakan Hanan."I-iya!"Oweeek! Oweeek! Oweek!Mendengar suara Hanan yang berada di sebelah kamar, Arumi rupanya terbangun.Malilah buru-buru
Hanan yang semula hanya mengamati dari dalam mobil langsung turun dan mendekat pada Malilah."Kenapa? Ada apa?" tanyanya sambil mengamati Malilah yang menarik rambutnya seperti orang depresi berat."Hey, kamu siapa? Kenapa kamu bisa sama Malilah? Kamu temannya Dimas ya? Dimasnya mana?"Bu Ana langsung memberondong Hanan dengan pertanyaan yang membingungkan baginya."Loh? Dimasnya enggak ada di sini?""Ditanya malah balik nanya. Gimana sih? Kamu temannya Dimas?" ulang Bu Ana."Saya Bosnya Lila!" Hanan memperkenalkan diri dengan nada yang agak sombong."Bos? Kamu kerja Malilah? Wah, Baguslah! Berarti dugaanku benar. Kamu datang untuk mengantar uang yang kuminta, kan?" Wajah Bu Ana langsung ceria."Bu! Bukannya Mas Dimas sudah membayar semuanya? Tadi dia ada kesini kan, Bu?" tanya Malilah dengan wajah kusut."Bayar apa? Enggak ada! Aku malah telpon-telpon dari tadi enggak ny
"Kenapa kamu ikut kembali? Aku sudah bilang, kembalikan saja uang anakku!" Ucap Bu Ratih dingin."Maaf Bu ... ta-pi ... uangnya, sayaa .... kami belum bertemu suami saya. Saya ... tidak tau dimana dia sekarang," sahut Malilah sambil tertunduk."Lalu, untuk apa kamu ikut Hanan kembali ke sini? Jangan bilang kamu mau meneruskan bekerja di sini?" Tebak Bu Ratih langsung.Malilah terdiam, mempertimbangkan saran Hanan sebelumnya."Tolong Ibu ... ijinkan saya untuk tetap bekerja di sini! Saya butuh pekerjaan ini!"Tanpa sadar Malilah mengucapkan kalimat tersebut sudah berbarengan dengan isak tangisnya, sembari menjatuhkan diri di hadapan Bu Ratih. Padahal Hanan tidak menyuruh Malilah untuk melakukan ketiga sarannya secara bersamaan. Tapi Malilah memilih langsung memohon.Lama Malilah terisak, tak ada jawaban. Bu Ratih tak berucap sepatah kata pun. Malilah sendiri bertekad tidak akan berdiri dan menganggkat
Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun.Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring."Kenapa?"Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya."Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar."Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur.""Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan."Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?"Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.
"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam."Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.Ckk!Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama."Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil."Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga."E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."Malilah menggeleng."Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelama
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Kamu belum datang bulan lagi, Mah?" tanya Hanan suatu malam. Malilah mengangguk."Kita cek lagi, ya? Kita ke Dokter lagi?"Malilah menggeleng. Udah beberapa kali dalam setahun terakhir ia kecewa karena sempat telat hampir seminggu, namun saat di cek hasilnya negatif dan menurut dokter hanya pengaruh hormon makanya sering telat. Benar saja, beberapa hari setelah periksa, tamu bulanannya datang kembali."Ya sudah kalau enggak mau. Enggak usah sedih gitu," ucap Hanan menghibur. Malilah masih saja murung."His, kenapa sih? Kok cemberut gitu. Kalo memang waktunya di kasih, ya pasti di kasih," Hanan tak tega melihat Malilah bersedih."Kalo enggak dikasih-kasih gimana, kamu bakal kawin lagi enggak?" tanya Malilah sambil mendongak."Kawin lagi lah, kalau boleh. Awwww" jawab Hanan meringis karena cubitan Malilah sudah melayang di lengannya. Hanan kemudian tertawa melihat Malilah malah menangis."Kamu kok jadi cen
Waktu berlalu dengan cepat. Arumi kini berusia kurang sedikit lagi tiga tahun."Amaaa ... tupah!" ucap bocah manis yang sedang meminum susu di dalam gelas."Nah ... nah ... nah .... apa nenek bilang, tumpah lagi kan? Makanya kalau makan atau minum itu sambil duduk. Jangan sambil jalan," sahut Bu Ratih sambil berdiri meraih kain lap dan membersihkan susu Arumi yang tertumpah."Lagi susunya?" tawar Malilah sembari bertanya. Arumi menggeleng."Maaa ... mau dalan-dalan," Arumi mengalungkan tangan di leher Malilah."Mau jalan kemana sihh?" tanya Malilah. Bukannya menjawab, Arumi malah merengek sambil mengeratkan tangan di leher Malilah." Ayo kita bilang dulu sama Papa. Kalau Papa mau, kita berangkat ya," ucap Malilah menggendong Arumi mencari Hanan."Nah, itu Papa ...."Malilah menurunkan Arumi dari gendongan."Kenapaa?" tanya Hanan melihat Arumi menyembunyikan wajah.
Hanan kemudian berlari keluar menuju kamar Arumi. Ia mencari baju Fania yang masih baru, dibeli saat tubuhnya agak melar setelah melahirkan Arumi. Ia kembali ke kamar dan menyodorkan baju Fania."Inih, boleh dipake tapi batasnya sampe Arumi tidur aja," goda Hanan lagi.Malilah mendelik mendengar ucapan Hanan, namun akhirnya lega, karena akhirnya bisa keluar dari kamar. Setelah salat magrib, ia langsung menyediakan makan malam untuk keluarga besar mereka.***Jam sembilan malam. Arumi malah asik bermain di lantai. Matanya masih saja segar bugar padahal Hanan sudah gelisah. Malilah pura-pura tak melihat kegelisahan Hanan, asik menemani Arumi main."Tadi Arumi tidurnya lama, ya?" tanya Hanan. Malilah mengangguk."Tadi kamu datang sore, dia baru bangun tidur, tuh," jawab Fania."Pantesan," jawab Hanan dengan raut kecewa. Malilah jadi tak tega melihatnya. Ia langsung naik ke ranjang dan mendekat.
"Mana buktinya anak saya melakukan kejahatan? Mana?" tanya Pak Irman begitu selesai membaca surat perintah penangkapan, saat Fania dijemput oleh pihak yang berwajib beberapa hari setelah Hanan melaporkannya."Nanti, akan dibuktikan di kantor, Pak. Makanya anak bapak dibawa ke kantor untuk proses selanjutnya," jawab Pak Polisi."Kalau anak saya terbukti tidak bersalah, saya akan tuntut kalian semua!" kecam Pak Irman berang. Bu Heni tak bisa melawan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya ketika pihak kepolisian membawa Fania untuk diintrogasi.Memasuki kantor polisi, Hanan yang sejak tadi sudah menunggu langsung berdiri melihat Fania masuk dengan caci maki dan sumpah serapah dari mulutnya. Pak Irman pun menatapnya tak kalah tajam. Mereka tahu Hanan adalah orang yang melapor.Fania menampik semua pertanyaan yang diajukan padanya. Ia bersikeras tidak pernah terlibat dengan kasus kehilangan seseorang apalagi pembunuhan.Namun begitu rekaman
Aku surprise sekali melihat perlakuan Hanan pada Malilah. Kenapa dia bersikap manis pada Malilah sementara padaku dia sering ketus? Aku tidak bisa terima ini. Wanita itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya.Malilah yang lugu, mengiraku benar-benar bersikap baik padanya. Demi apa? Aku hanya mencari informasi tentang suamimya. Saat aku tahu, aku mengajak pria bernama Dimas itu bertemu."Apa keperluanmu?" tanya Dimas."Bawa istrimu itu keluar dari rumahku. Kamu tahu? Di sana dia selalu berduaan dengan Hanan! Kadang Hanan pun tidur di ranjangnya!" jawabku memanas-manasi.Kulihat ia terpancing dan mulai geram. Tapi, sesaat kemudian kemarahannya kembali mengendor."Aku enggak berani ketemu mertuamu yang ganas itu," sahut Dimas.Setelah kutanya, ternyata dia pernah bermasalah soal uang. Jumlahnya tidak seberapa sih, bagi aku. Aku bahkan memberinya tiga kali lipat dari jumlah utangnya, dengan syarat dia harus membaw
"Ya ampun Bibik. Ngapain ngomong gitu. Bibik kan kesusahan gara-gara kami juga. Bibik boleh kok, kerja di sini sampaibkapan saja yang bibik mau. Selamanya juga boleh, itung-itung jadi teman berantemnya Mama. Soal perhiasan mah, enggak usah dipikirin. Enggak ada apa-apanya dibanding nyawa Bibik. Iyakan, Ma?" tanya Hanan tersenyum melirik Bu Ratih. Walau sempat mendelik karena ucapan Hanan soal teman berantem, Bu Ratih kemudian tersenyum dan mengangguk. Malilah pun tersenyum senang."Enggak ingat, Mas! Dia pakai masker sama kacamata hitam. Seingatku orangnya tinggi. Terus di tangannya, pas ngambil perhiasan, aku sempat liat ada tato naga gitulah, di sini. Kanan," ucap Bik Timah sambil mengusap punggung tangan kanannya."Tato elang?"Mata Malilah menyipit mendengar ucapan Bik Timah. Ia kemudian menatap Hanan. Keduanya mungkin memiliki kecurigaan pada orang yang sama. Tapi, bagaimana bisa?"Eh, iya Mas! Aduh, pas kejadian itu sengaja saya tinggali
"Malilaaah, Arumi ...." ucap Hanan mendekat langsung mengangkat Arumi dan menciumnya. Bu Ratih berinisiatif untuk membawa Arumi keluar, dan membiarkan Hanan berbicara dari hati ke hati menenangkan Malilah."Sini sama Nenek," ucap Bu Ratih kemudian menenangkan Arumi di kamarnya."Malilah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka enggak akan menganggapmu pelakor," ucap Hanan membawa Malilah berdiri dan bicara di ranjang Arumi."Bohong!" ucap Malilah menepis tangan Hanan."Malilah, jangan begini. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hanan bingung. Malilah menggeleng. Hanan meraih tisu dan mengusap air mata Malilah."Aku minta maaf! Aku minta maaf karena membawamu ke situasi sulit seperti saat ini," Hanan menyandarkan kepala Malilah di dadanya. Malilah masih menangis sesenggukan."Semuanya pasti akan membaik seiring waktu," ucap Hanan meyakinkan. Malilah perlahan mulai tenang."Bagaimana kalau ternyata aku
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]