"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"
Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam.
"Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.
Ckk!
Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama.
"Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil.
"Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga.
"E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."
Malilah menggeleng.
"Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelamaan. Lagi pula jalanan aspal gak berdebu-debu amat, masih pagi ini."
Malilah tak perduli pada larangan Hanan karena Arumi nampak benar-benar haus. Ia langsung membuka kancing dasternya bagian depan.
"E ... e .... e .... eh! No! No! No!"
Hanan menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri di depan wajah.
"Pak Bos! Aku gak papa dilarang, dimarahin, dihina atau mau diatur menjadi seperti apapun oleh Pak Bos, tapi kalau soal kapan waktu Arumi ingin menyus* aku enggak mau kompromi. Maaf Pak Bos!"
Sahut Malilah tegas, dengan tangan kanan langsung merogoh sesuatu dibalik baju bagian depan, mengeluarkan sumber makanan utamanya Arumi.
"Eh, Ya ampun Malilah. Aku bukan ngelarang kamu nyusuin Arumi lagi. Tapi maksudku jangan di sini juga Malilah! Di kamar sana!"
Hanan mengusap wajah sambil berpaling melihat adegan ala ibu dan anak di depannya.
"Eh, Astagfirullah! Iya, Maaf. Aku khilaf Pak Bos," ucap Malilah buru-buru memasukkan kembali modal utamanya dalam bekerja tersebut. Cepat-cepat ia membawa Arumi masuk kamar. Bukan mengada-ngada, ia memang seperti lupa bahwa Hanan seorang lelaki karena ingin cepat menenangkan Arumi.
"Khilaf! Khilaf! Emang dasar gak tau tempat! Tobat aku gusti ...." gerutu Hanan karena hampir saja Malilah sukses membuatnya sakit kepala. Untung saja Malilah langsung minggat ke kamar.
***
Dua Minggu.Ya, Malilah yakin dia harus bersabar hanya untuk dua minggu. Setelah itu ia akan terbebas dari mata Hanan yang selalu mengawasi setiap gerak- geriknya dan juga mulut Hanan yang kerap mengomentari setiap pekerjaannya. Sungguh membuat risih.Namun demikin, ada untungnya juga selama Hanan di rumah. Malilah benar-benar fokus mengurus Arumi. Semua makanan tersedia dengan menu yang enak-enak. Bu Ratih, walaupun sikapnya tidak ramah pada Malilah tapi tetap memasak makanan yang istimewa. Tentu saja karena ia ingin nutrisi cucunya terjaga melalui Malilah. Hanan juga tidak memperbolehkannya meninggalkan Arumi terlalu lama. Alasannya lumayan masuk akal sih. Wanita yang belum empat puluh hari, dilarang terlalu banyak bekerja, jadi di dekat Arumi saja.
Malilah tersenyum mengingat bagaimana dulu dia datang ke rumah itu dengan terpaksa dan berontak. Tapi seiring waktu, Malilah bahkan berusaha mati-matian untuk tetap berada di rumah itu. Ia berusaha menjaga Arumi dengan sangat baik. Apa salahnya mempertahankan sesuatu yang membuat diri merasa lebih nyaman bukan? Bukankah Dimas sendiri yang mengajari bahwa tak baik menolak rejeki?
Dirumah itulah rejeki terbesar yang dirasakan Malilah. Rejeki bukan melulu soal uang. Rumah yang nyaman dan bersih, makanan lezat yang melimpah, kesehatan yang selalu terjaga juga merupakan rejeki. Dan anugerah terbesar yang ia rasakan adalah kebersamaannya dengan Arumi Nasha, bayi mungil yang memberi Malilah kehidupan baru.
Tapi, bukan hidup bila tanpa masalah. Hidup susah jadi masalah, terlanjur nyaman pun jadi masalah. Ada perubahan drastis yang meresahkan Malilah selama hampir dua minggu di rumah Hanan. Perubahan di tubuh. Ya! Tubuhnya mulai melebar. Malilah mulai takut bergerak terlalu lincah. Padahal Hanan kalau memerintah harus gerak cepat. Kalau bajunya sobek, bagaimana?
"Malilah! Hey! Kok nasinya enggak di makan?" Tegur Hanan melihat Malilah hanya menyendok sayur saat makan malam. Susu pun tak di sentuhnya.
"Pak Bos, aku ... mulai sekarang aku malam sayur aja ya? Yang lengkap pagi sama siang aja ya?" Jawab Malilah membuat dahi Hanan berkerut.
"Kenapa?"
"Pak Bos gak liat, baju-bajuku mengecil semua. Aku mau diet," terang Malilah.
Hanan langsung tergelak mendengar jawaban Malilah.
"Eh, mau bajumu mengecil kek, menyempit kek, yang aku tahu kamu enggak boleh diet-diet segala. Mana ada ibu menyusui yang boleh diet. Enggak boleh!"
"Tapi Pak Bos, kalau baju-bajuku sobek gimana?"
"Kan masih ada baju nenekku!"
"Ih!"
Malilah meninggalkan meja makan ke kamar. Melihat Malilah sudah kembali, Bu Ratih langsung meninggalkan kamar, tapi ia terheran-heran melihat Hanan masuk membawa piring yang berisi nasi, lauk dan sayur.
"Loh, belum makan Lila?" Bu Ratih mengurungkan langkah keluar.
"Udah, Mama makan aja sana. Malilah lagi pengen makan di kamar," sahut Hanan menambah heran Bu Ratih. Tapi ia tetap keluar karena perutnya juga sudah keroncongan.
"Makan!"
Malilah menggeleng.
"Makan. Jangan sampai kamu sakit. Besok jadwal posyandu Arumi. Kita ke Dokter."
Malilah terpaksa menerima piring yang di sodor Hanan. "
Aku akan makan, tapi aku mau tanya sesuatu, dan wajib dijawab."
"Apa?" Hanan tak sabar.
"Pak Bos, kok di rumah terus? Kapan masuk kerjanya? Pak Bos kerja di kantor, kan?" Tanya Malilah sedikit sok tahu.
Hanan kembali tergelak.
"Kenapa memang kalau aku di rumah terus? Kamu gak suka ya?"
"Hiiis, bukan gitu Pak Bos," Malilah jadi tak enak hati. Ia mengaduk-aduk makanan dalam piring.
"Ku kasih tahu kamu kantorku. Kantorku ya di rumah. Bosnya aku sendiri, karyawannya aku sendiri, managernya aku sendiri. Jadi ya .... gak ada cutinya. Aku 24 jam di rumah!"
"Sudahkan. Sekarang kamu makan, habiskan, nanti aku balik sudah harus habis!" Perintah Hanan sambil melangkah keluar membuat Malilah lemas.
"24 jam dirumah banyak duit. Bu Ratih juga enggak kerja. Usaha rumahan gak ada! Fix! Kalau bukan pelihara tuyul, pasti pesugihan dan ilmu hitam! Iiiieeeeew!"
Bulu kuduk Malilah meremang.
"Aku harus selidiki baik-baik mulai malam ini. Kalau benar Hanan mendapat uang dengan cara haram, aku akan langsung berhenti kerja di sini!" gumam Malilah sambil menyuap nasi dengan terpaksa menghabiskan. Daripada kena semprot Hanan lagi.
"Sudah?"
Seperti menghitung durasinya makan saja. Hanan langsung datang ketika makanannya habis.
"Bagus! Sepertinya mulai besok aku harus mengawasimu setiap waktunya makan. Aku khawatir kamu buang makanannya kalau ditinggal," ucap Hanan sambil tersenyum puas.
Mampus! Jadi lebih ketat dari sebelumnya. Mau naik berapa kilo kalau setiap makan dimandorin?
"Pak Bos, jangan gitu jugalah! Nanti kalau baju-bajuku gak ada yang muat lagi gimana?"
"Bukan urusanku. Yang aku tahu, nutrisi dan vitamin untuk kesehatan anakku terjaga!"
"Iya Pak Bos. Aku akan makan semua makanan, tapi jangan pakai di jaga juga lah," Malilah mencoba merayu dengan suara lembut.
"Terserah aku!"
"Pak Bos, laki-laki gak suka kan, perempuan yang ngembangnya kelewatan?"
"Iyalah! Mana enak di pandang," sahut Hanan sambil meraih piring bersiap membawa keluar.
"Nah, kalau aku terlalu ngembang, entar suamiku gak suka lagi, Pak Bos!" Malilah memberi alasan.
"Ya biarin lah! Yang pentingkan aku bukan suamimu!" jawab Hanan acuh langsung pergi.
"Sialaaaaan! Dia benar-benar sengaja bikin aku ngembang. Liat aja, kalau suamiku ninggalin aku dan gak ada yang mau lagi, akan kubuat kamu jadi suamiku bagaimanapun caranya, Pak Boooos!" Tekad Malilah dalam hati.
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Mbak, maaf! Pernah liat orang ini enggak, disini?" tanya Hanan pada seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumahnya. Wanita tersebut mengamati sejenak foto yang ditunjukkan Hanan, kemudian menggeleng. "Coba Mas tanya sama Bapak-Bapak yang di sana. Siapa tau teman ngumpulnya," tunjuk Wanita tersebut pada seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Hanan beralih menghampiri Bapak tersebut. "Pak, Maaf. Pernah liat orang ini enggak di sekitar sini?" Bapak tersebut mengamati foto dengan seksama, kemudian menatap Hanan lekat-lekat. "Ada perlu apa?" tanyanya menyelidik. "Oh, itu. Sudah hampir sebulan enggak pulang. Ibunya di rumah sendiri dan sedang sakit. Saya tetangganya," jawab Hanan berbohong dan memilih Bu Ana jadi objeknya. "Aku sih, sering liat. Kalau malam lewat ke arah sana. Entah kumpulan di pos atau ke komplek, aku enggak tahu," jawab Bap
Rumah itu sangat berarti untuk Malilah. Hasil jerih payah orang tuanya saat merantau dulu. Ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya kerja keras tak kenal lelah saat masih kecil dulu, demi membeli sebuah rumah sederhana tersebut."Ayo. Ambil sekarang! Aku pinjam! Aku janji, kamu akan tetap kerja disini, asal kamu mau ambil suratnya sekarang!" Hanan memaksa sambil menarik Malilah mengikutinya keluar.Setelah menitip Arumi pada Bu Ratih dengan alasan mau belanja baju-baju Arumi yang sudah mulai sempit, mereka langsung menuju ke rumah Malilah."Gimana cara masuknya? Gara-gara Pak Bos dulu bawa aku buru-buru, kan aku sampe lupa bawa kunci serap rumah!" Omel Malilah beberapa saat setelah mereka tengak-tengok ke sekeliling rumah."Didobrak, kan bisa!""Eh, Malilah! Malilah! Akhirnya kamu muncul juga! Kalian ini ya, suami istri sama aja. Sama-sama tukang ngutang, sama-sama tukang ngilang!"Baru saja Hanan bersiap mau mendobrak p
Hanan dan Malilah pun melangkah keluar bersamaan."Hey, Malilah! Kata Bu Tuti utangmu di warungnya sudah mau dibayar sama ... Bosmu yang katanya horang kaya ini. Jangan Warung Bu Tuti aja dong. Kami juga perlu modal!" Bu Indri bicara dengan lantang dan penuh emosi."Iya! Emang Bu Tuti aja yang perlu uang. Kita juga!" Timpal Ibu yang lain.Hanan menarik napas. Utang lagi, utang lagi. Enggak ada masalah lain apa? Sementara Malilah yang masih memegang map tak bisa menjawab apa-apa."Tenang ibu-ibu. Berapa utangnya bilang aja. Nanti saya bayar!""Waah! Benar kata Bu Tuti ya, dia horang kaya," wajah Bu Indri mendadak cerah."Udah, totalin aja utangnya, nanti kami kembali untuk membayar, uang cash saya enggak cukup," janji Hanan lagi. Ia yakin totalnya lumayan banyak."Eh, gak percaya aku. Jangan dilepas. Bisa-bisa dia gak balik lagi," Bu Widi nyolot."Ya sudah kalau gak percaya! Ibu-ibu tunggu di sini!
"Wah, masih punya nyali dia datang lagi!" Hanan langsung menarik kerah baju Dimas membawanya menjauh dari pintu.Buk! Buk! Dugh!Tiba-tiba Dimas meninju wajah Hanan dan menendang perutnya dengan kuat.Buk! Buk! Buk!Dugh! Dugh!Hanan langsung balas meninju wajah Dimas dan menendangnya di bagian yang sama. Hanan kembali mengangkat tangan."Pak Bos!"Jika saja Malilah tidak menangkap tangan Hanan, tentu Dimas masih mendapat pukulan bertubi-tubi lagi seperti sebelumnya."Pak Bos, sudah Pak Bos. Sudah. Dia lagi mabuk. Percuma!" Malilah memegang erat tangan Hanan. Walaupun hatinya sakit, tapi masih ada iba dalam hati Malilah untuk suaminya.Buk!Tanpa diduga, Dimas mengambil kesempatan membalas pukulan Hanan lagi. Keduanya kembali terlibat baku hantam yang membuat Malilah menjerit histeris memanggil Bu Ratih."Ibuuu! Ibuu! Tolong buka pintunya ibu!"Gantian Malilah yang mengged
"Ma! Mama masuk saja dulu, aku takut terjadi sesuatu pada Malilah di dalam, keadaan dan pikiran Malilah sedang tidak baik, aku takut terjadi sesuatu pada Arumi," bisik Hanan berusaha supaya ibunya masuk.Kebetulan sekali terdengar suara Arumi menangis cukup lama dari dalam. Bu Ratih langsung khawatir pun menurut dan meninggalkan mereka di luar, walau hatinya was-was mereka bertiga balik mengeroyok anaknya. Tapi, ia juga kepikiran takut terjadi apa-apa pada cucunya karena kondisi Malilah sedang kusut."Dengar, Bu. Aku janji akan melunasi pegadaian ibu, asal ibu jangan berbicara apa-apa soal kalung dan gelang ibu saat ini, karena kalau Mama tahu, ia pasti melarang. Aku pasti melunasinya. Tapi bukan sekarang. Bukankah ini belum satu bulan?""Dengar! Saat ini lagi banyak acara di sekitar rumah. Aku malu kalau mereka melihat leher dan tanganku kosong. Aku mau kalung dan gelangku kembali cepat. Kalau kamu benar-benar mau menebusnya, aku mau sekarang. Kalau
"Malilah! Jangan pergi dulu. Kita bicarakan baik-baik semuanya!" Hanan bergegas menuju pintu tapi Bu Ratih yang sudah menduga ia akan mengejar Malilah langsung menangkap tangan Hanan dan mencengkramnya kuat-kuat."Hanan! Biarkan dia pergi, atau ibu yang pergi dari rumah ini!" Ancam Bu Ratih dengan nada sangat marah."Ma! Aku hanya ingin mencarinya sekali ini saja. Sekali ini saja, Ma. Kasian Lila Ma, dia enggak punya uang sepeser pun, kasih kesempatan dia sekali lagi, Ma ...." pinta Hanan memelas berulang kali."Kamu sudah berlebihan memberi dia uang. Enggak perlu dikasihani lagi, Hanan! Biarkan dia menjauh dari hidupmu!" Kecam Bu Ratih makin marah."Maaa! Tolong Ma .... sekali ini aja. Tolong ijinkan aku mencari Malilah dan membawanya kembali pulang, Ma!"Hanan merendah dan berlutut di depan ibunya. Kedua tangannya ia tangkupkan di dada."Demi apa kamu sampai memohon seperti ini, Hanan? Sejak kapan kamu mau merendah
"Kamu belum datang bulan lagi, Mah?" tanya Hanan suatu malam. Malilah mengangguk."Kita cek lagi, ya? Kita ke Dokter lagi?"Malilah menggeleng. Udah beberapa kali dalam setahun terakhir ia kecewa karena sempat telat hampir seminggu, namun saat di cek hasilnya negatif dan menurut dokter hanya pengaruh hormon makanya sering telat. Benar saja, beberapa hari setelah periksa, tamu bulanannya datang kembali."Ya sudah kalau enggak mau. Enggak usah sedih gitu," ucap Hanan menghibur. Malilah masih saja murung."His, kenapa sih? Kok cemberut gitu. Kalo memang waktunya di kasih, ya pasti di kasih," Hanan tak tega melihat Malilah bersedih."Kalo enggak dikasih-kasih gimana, kamu bakal kawin lagi enggak?" tanya Malilah sambil mendongak."Kawin lagi lah, kalau boleh. Awwww" jawab Hanan meringis karena cubitan Malilah sudah melayang di lengannya. Hanan kemudian tertawa melihat Malilah malah menangis."Kamu kok jadi cen
Waktu berlalu dengan cepat. Arumi kini berusia kurang sedikit lagi tiga tahun."Amaaa ... tupah!" ucap bocah manis yang sedang meminum susu di dalam gelas."Nah ... nah ... nah .... apa nenek bilang, tumpah lagi kan? Makanya kalau makan atau minum itu sambil duduk. Jangan sambil jalan," sahut Bu Ratih sambil berdiri meraih kain lap dan membersihkan susu Arumi yang tertumpah."Lagi susunya?" tawar Malilah sembari bertanya. Arumi menggeleng."Maaa ... mau dalan-dalan," Arumi mengalungkan tangan di leher Malilah."Mau jalan kemana sihh?" tanya Malilah. Bukannya menjawab, Arumi malah merengek sambil mengeratkan tangan di leher Malilah." Ayo kita bilang dulu sama Papa. Kalau Papa mau, kita berangkat ya," ucap Malilah menggendong Arumi mencari Hanan."Nah, itu Papa ...."Malilah menurunkan Arumi dari gendongan."Kenapaa?" tanya Hanan melihat Arumi menyembunyikan wajah.
Hanan kemudian berlari keluar menuju kamar Arumi. Ia mencari baju Fania yang masih baru, dibeli saat tubuhnya agak melar setelah melahirkan Arumi. Ia kembali ke kamar dan menyodorkan baju Fania."Inih, boleh dipake tapi batasnya sampe Arumi tidur aja," goda Hanan lagi.Malilah mendelik mendengar ucapan Hanan, namun akhirnya lega, karena akhirnya bisa keluar dari kamar. Setelah salat magrib, ia langsung menyediakan makan malam untuk keluarga besar mereka.***Jam sembilan malam. Arumi malah asik bermain di lantai. Matanya masih saja segar bugar padahal Hanan sudah gelisah. Malilah pura-pura tak melihat kegelisahan Hanan, asik menemani Arumi main."Tadi Arumi tidurnya lama, ya?" tanya Hanan. Malilah mengangguk."Tadi kamu datang sore, dia baru bangun tidur, tuh," jawab Fania."Pantesan," jawab Hanan dengan raut kecewa. Malilah jadi tak tega melihatnya. Ia langsung naik ke ranjang dan mendekat.
"Mana buktinya anak saya melakukan kejahatan? Mana?" tanya Pak Irman begitu selesai membaca surat perintah penangkapan, saat Fania dijemput oleh pihak yang berwajib beberapa hari setelah Hanan melaporkannya."Nanti, akan dibuktikan di kantor, Pak. Makanya anak bapak dibawa ke kantor untuk proses selanjutnya," jawab Pak Polisi."Kalau anak saya terbukti tidak bersalah, saya akan tuntut kalian semua!" kecam Pak Irman berang. Bu Heni tak bisa melawan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya ketika pihak kepolisian membawa Fania untuk diintrogasi.Memasuki kantor polisi, Hanan yang sejak tadi sudah menunggu langsung berdiri melihat Fania masuk dengan caci maki dan sumpah serapah dari mulutnya. Pak Irman pun menatapnya tak kalah tajam. Mereka tahu Hanan adalah orang yang melapor.Fania menampik semua pertanyaan yang diajukan padanya. Ia bersikeras tidak pernah terlibat dengan kasus kehilangan seseorang apalagi pembunuhan.Namun begitu rekaman
Aku surprise sekali melihat perlakuan Hanan pada Malilah. Kenapa dia bersikap manis pada Malilah sementara padaku dia sering ketus? Aku tidak bisa terima ini. Wanita itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya.Malilah yang lugu, mengiraku benar-benar bersikap baik padanya. Demi apa? Aku hanya mencari informasi tentang suamimya. Saat aku tahu, aku mengajak pria bernama Dimas itu bertemu."Apa keperluanmu?" tanya Dimas."Bawa istrimu itu keluar dari rumahku. Kamu tahu? Di sana dia selalu berduaan dengan Hanan! Kadang Hanan pun tidur di ranjangnya!" jawabku memanas-manasi.Kulihat ia terpancing dan mulai geram. Tapi, sesaat kemudian kemarahannya kembali mengendor."Aku enggak berani ketemu mertuamu yang ganas itu," sahut Dimas.Setelah kutanya, ternyata dia pernah bermasalah soal uang. Jumlahnya tidak seberapa sih, bagi aku. Aku bahkan memberinya tiga kali lipat dari jumlah utangnya, dengan syarat dia harus membaw
"Ya ampun Bibik. Ngapain ngomong gitu. Bibik kan kesusahan gara-gara kami juga. Bibik boleh kok, kerja di sini sampaibkapan saja yang bibik mau. Selamanya juga boleh, itung-itung jadi teman berantemnya Mama. Soal perhiasan mah, enggak usah dipikirin. Enggak ada apa-apanya dibanding nyawa Bibik. Iyakan, Ma?" tanya Hanan tersenyum melirik Bu Ratih. Walau sempat mendelik karena ucapan Hanan soal teman berantem, Bu Ratih kemudian tersenyum dan mengangguk. Malilah pun tersenyum senang."Enggak ingat, Mas! Dia pakai masker sama kacamata hitam. Seingatku orangnya tinggi. Terus di tangannya, pas ngambil perhiasan, aku sempat liat ada tato naga gitulah, di sini. Kanan," ucap Bik Timah sambil mengusap punggung tangan kanannya."Tato elang?"Mata Malilah menyipit mendengar ucapan Bik Timah. Ia kemudian menatap Hanan. Keduanya mungkin memiliki kecurigaan pada orang yang sama. Tapi, bagaimana bisa?"Eh, iya Mas! Aduh, pas kejadian itu sengaja saya tinggali
"Malilaaah, Arumi ...." ucap Hanan mendekat langsung mengangkat Arumi dan menciumnya. Bu Ratih berinisiatif untuk membawa Arumi keluar, dan membiarkan Hanan berbicara dari hati ke hati menenangkan Malilah."Sini sama Nenek," ucap Bu Ratih kemudian menenangkan Arumi di kamarnya."Malilah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka enggak akan menganggapmu pelakor," ucap Hanan membawa Malilah berdiri dan bicara di ranjang Arumi."Bohong!" ucap Malilah menepis tangan Hanan."Malilah, jangan begini. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hanan bingung. Malilah menggeleng. Hanan meraih tisu dan mengusap air mata Malilah."Aku minta maaf! Aku minta maaf karena membawamu ke situasi sulit seperti saat ini," Hanan menyandarkan kepala Malilah di dadanya. Malilah masih menangis sesenggukan."Semuanya pasti akan membaik seiring waktu," ucap Hanan meyakinkan. Malilah perlahan mulai tenang."Bagaimana kalau ternyata aku
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]