Rumah itu sangat berarti untuk Malilah. Hasil jerih payah orang tuanya saat merantau dulu. Ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya kerja keras tak kenal lelah saat masih kecil dulu, demi membeli sebuah rumah sederhana tersebut.
"Ayo. Ambil sekarang! Aku pinjam! Aku janji, kamu akan tetap kerja disini, asal kamu mau ambil suratnya sekarang!" Hanan memaksa sambil menarik Malilah mengikutinya keluar.
Setelah menitip Arumi pada Bu Ratih dengan alasan mau belanja baju-baju Arumi yang sudah mulai sempit, mereka langsung menuju ke rumah Malilah.
"Gimana cara masuknya? Gara-gara Pak Bos dulu bawa aku buru-buru, kan aku sampe lupa bawa kunci serap rumah!" Omel Malilah beberapa saat setelah mereka tengak-tengok ke sekeliling rumah.
"Didobrak, kan bisa!"
"Eh, Malilah! Malilah! Akhirnya kamu muncul juga! Kalian ini ya, suami istri sama aja. Sama-sama tukang ngutang, sama-sama tukang ngilang!"
Baru saja Hanan bersiap mau mendobrak p
Hanan dan Malilah pun melangkah keluar bersamaan."Hey, Malilah! Kata Bu Tuti utangmu di warungnya sudah mau dibayar sama ... Bosmu yang katanya horang kaya ini. Jangan Warung Bu Tuti aja dong. Kami juga perlu modal!" Bu Indri bicara dengan lantang dan penuh emosi."Iya! Emang Bu Tuti aja yang perlu uang. Kita juga!" Timpal Ibu yang lain.Hanan menarik napas. Utang lagi, utang lagi. Enggak ada masalah lain apa? Sementara Malilah yang masih memegang map tak bisa menjawab apa-apa."Tenang ibu-ibu. Berapa utangnya bilang aja. Nanti saya bayar!""Waah! Benar kata Bu Tuti ya, dia horang kaya," wajah Bu Indri mendadak cerah."Udah, totalin aja utangnya, nanti kami kembali untuk membayar, uang cash saya enggak cukup," janji Hanan lagi. Ia yakin totalnya lumayan banyak."Eh, gak percaya aku. Jangan dilepas. Bisa-bisa dia gak balik lagi," Bu Widi nyolot."Ya sudah kalau gak percaya! Ibu-ibu tunggu di sini!
"Wah, masih punya nyali dia datang lagi!" Hanan langsung menarik kerah baju Dimas membawanya menjauh dari pintu.Buk! Buk! Dugh!Tiba-tiba Dimas meninju wajah Hanan dan menendang perutnya dengan kuat.Buk! Buk! Buk!Dugh! Dugh!Hanan langsung balas meninju wajah Dimas dan menendangnya di bagian yang sama. Hanan kembali mengangkat tangan."Pak Bos!"Jika saja Malilah tidak menangkap tangan Hanan, tentu Dimas masih mendapat pukulan bertubi-tubi lagi seperti sebelumnya."Pak Bos, sudah Pak Bos. Sudah. Dia lagi mabuk. Percuma!" Malilah memegang erat tangan Hanan. Walaupun hatinya sakit, tapi masih ada iba dalam hati Malilah untuk suaminya.Buk!Tanpa diduga, Dimas mengambil kesempatan membalas pukulan Hanan lagi. Keduanya kembali terlibat baku hantam yang membuat Malilah menjerit histeris memanggil Bu Ratih."Ibuuu! Ibuu! Tolong buka pintunya ibu!"Gantian Malilah yang mengged
"Ma! Mama masuk saja dulu, aku takut terjadi sesuatu pada Malilah di dalam, keadaan dan pikiran Malilah sedang tidak baik, aku takut terjadi sesuatu pada Arumi," bisik Hanan berusaha supaya ibunya masuk.Kebetulan sekali terdengar suara Arumi menangis cukup lama dari dalam. Bu Ratih langsung khawatir pun menurut dan meninggalkan mereka di luar, walau hatinya was-was mereka bertiga balik mengeroyok anaknya. Tapi, ia juga kepikiran takut terjadi apa-apa pada cucunya karena kondisi Malilah sedang kusut."Dengar, Bu. Aku janji akan melunasi pegadaian ibu, asal ibu jangan berbicara apa-apa soal kalung dan gelang ibu saat ini, karena kalau Mama tahu, ia pasti melarang. Aku pasti melunasinya. Tapi bukan sekarang. Bukankah ini belum satu bulan?""Dengar! Saat ini lagi banyak acara di sekitar rumah. Aku malu kalau mereka melihat leher dan tanganku kosong. Aku mau kalung dan gelangku kembali cepat. Kalau kamu benar-benar mau menebusnya, aku mau sekarang. Kalau
"Malilah! Jangan pergi dulu. Kita bicarakan baik-baik semuanya!" Hanan bergegas menuju pintu tapi Bu Ratih yang sudah menduga ia akan mengejar Malilah langsung menangkap tangan Hanan dan mencengkramnya kuat-kuat."Hanan! Biarkan dia pergi, atau ibu yang pergi dari rumah ini!" Ancam Bu Ratih dengan nada sangat marah."Ma! Aku hanya ingin mencarinya sekali ini saja. Sekali ini saja, Ma. Kasian Lila Ma, dia enggak punya uang sepeser pun, kasih kesempatan dia sekali lagi, Ma ...." pinta Hanan memelas berulang kali."Kamu sudah berlebihan memberi dia uang. Enggak perlu dikasihani lagi, Hanan! Biarkan dia menjauh dari hidupmu!" Kecam Bu Ratih makin marah."Maaa! Tolong Ma .... sekali ini aja. Tolong ijinkan aku mencari Malilah dan membawanya kembali pulang, Ma!"Hanan merendah dan berlutut di depan ibunya. Kedua tangannya ia tangkupkan di dada."Demi apa kamu sampai memohon seperti ini, Hanan? Sejak kapan kamu mau merendah
"Assalamu'alaikum, Bu," Hanan mengetuk pintu dengan suara lemas sekembalinya dari mencari Malilah."Walaikumsallam."Bu Ratih bergegas membuka pintu dan langsung berbalik tanpa melihat apalagi bertanya. Ia menampakkan ketidakperdulian secara terang-terangan.Oeek! Oeeek! Oeeek!Hanan bergegas mandi mendengar suara Arumi menangis. Perasaannya mendadak berdebar. Hanan mendadak takut Arumi tidak bisa didiamkan."Arumi sayaang," Hanan mengangkat putrinya ke pangkuan. Bu Ratih melangkah keluar. Tak lama kemudian Bu Ratih kembali dengan membawa sebotol susu dalam dot."Ini!" Sodornya Pada Hanan yang kebingungan mendengar Arumi menangis. Hanan meletakkan kembali Arumi di kasur, dan menyodorkan botol susu ke mulutnya. Tapi Arumi seperti menolak. Ia terus saja menangis. Ia bahkan memuntahkan kembali susu yang sudah masuk ke tenggorokannya. Hanan menyapu keringat dingin.Hanan baru menyadari, hampir sebulan ini ia tak pernah mengurus
"Apa yang harus kulakukan?"Hanan tak tahan mendengar Arumi menangis, tapi tak tega meninggalkan Bu Ratih yang terus meringis kesakitan dengan mata terpejam memegang dadanya.Akhirnya Hanan memutuskan untuk menggendong ibunya ke kamar. Dengan susah payah, akhirnya Hanan bisa membawa tubuh ibunya ke pembaringan di kamar Arumi.Hanan menatap Arumi yang menangis lalu menatap ibunya yang masih merintih kesakitan."Kenapa boboknya cuma sebentar, Nak? Rumi lapar?" ucap Hanan sambil mengangkat untuk menggendongnya. Arumi menggeliat-geliatkan badan dalam gendongan Hanan sambil mengucek wajah dengan tangan kecilnya.Bu Ratih berusaha duduk sambil memegang dadanya. Hanan meletakkan Arumi yang agak tenang kembali berbaring, lalu keluar untuk mengambil air hangat."Minum dulu, Ma," ucap Hanan sambil membantu ibunya duduk. Setelah meminum beberapa teguk air, Bu Ratih kembali berbaring."Sudah enakan, Ma?" tanya
"Siapa yang bertamu malam-malam, Fania?"Suara seorang wanita dari dalam menyusul. Wanita yang bernama Fania tadi menggeleng.Tak lama kemudian wanita berusia lebih muda dari Bu Ratih keluar dan menampakkan keterkejutan yang luar biasa melihat kedatangan Hanan."Ada apa? Kenapa datang malam-malam membawa Arumi, Hanan? Fania belum bisa menerima Arumi," wanita tersebut panik."Bu, Mama sakit. Sepertinya tekanan Mama naik lagi. Harus di bawa ke rumah sakit," ucap Hanan."Ada apa?" Seorang lelaki menyusul keluar, dan lagi-lagi menampakkan ekspresi yang sama begitu melihat Hanan menggendong Arumi."Hanan. Kenapa datang membawa Arumi kesini? Bukankah kemaren mamamu yang bersikeras mengantar Fania ke sini dan menjauhkannya dari Arumi?" ucap lelaki tersebut sedikit gusar."Pak, Bu. Saya mohon. Mama sedang sakit. Aku titip Arumi sebentar saja selama kami di rumah sakit. Ini ASI untuk Arumi tolong taruh
"Pa, Pa! Kenapa dia bawa cucu kita ke kamarnya, Pa?" Bu Heni baru tersadar dari kebingungannya setelah Arumi sudah dibawa Malilah keluar.Pak Irman tak menjawab namun langsung keluar mengejar Malilah."Hey, Lila. Kenapa kamu membawa Arumi? Siapa kamu?"Pak Irman dan Bu Heni menghalangi langkah Malilah di depan pintu kamarnya."Pak, Bu. Tolong ijinkan saya menidurkannya sebentar. Nanti ... saya akan jelaskan!"Tanpa sadar Arumi menerobos masuk kamar di sela tubuh Pak Heni dan Pak Imran yang sama-sama masih berdiri di pintu. Walau tak habis pikir, tapi kedua majikan barunya itu pun langsung menyingkir.Malilah seperti bermimpi. Baru saja ia menangis, dan kini orang yang membuatnya menangis sudah berada di sisinya. Sementara di luar kamarnya, Pak Irman dan Bu Heni yang masih bertanya-tanya tak bisa tidur. Antara was-was dan bingung mereka mondar-mandir menunggu Malilah keluar."Pa, kok enggak keluar-keluar ya? Siapa dia ya? K
"Kamu belum datang bulan lagi, Mah?" tanya Hanan suatu malam. Malilah mengangguk."Kita cek lagi, ya? Kita ke Dokter lagi?"Malilah menggeleng. Udah beberapa kali dalam setahun terakhir ia kecewa karena sempat telat hampir seminggu, namun saat di cek hasilnya negatif dan menurut dokter hanya pengaruh hormon makanya sering telat. Benar saja, beberapa hari setelah periksa, tamu bulanannya datang kembali."Ya sudah kalau enggak mau. Enggak usah sedih gitu," ucap Hanan menghibur. Malilah masih saja murung."His, kenapa sih? Kok cemberut gitu. Kalo memang waktunya di kasih, ya pasti di kasih," Hanan tak tega melihat Malilah bersedih."Kalo enggak dikasih-kasih gimana, kamu bakal kawin lagi enggak?" tanya Malilah sambil mendongak."Kawin lagi lah, kalau boleh. Awwww" jawab Hanan meringis karena cubitan Malilah sudah melayang di lengannya. Hanan kemudian tertawa melihat Malilah malah menangis."Kamu kok jadi cen
Waktu berlalu dengan cepat. Arumi kini berusia kurang sedikit lagi tiga tahun."Amaaa ... tupah!" ucap bocah manis yang sedang meminum susu di dalam gelas."Nah ... nah ... nah .... apa nenek bilang, tumpah lagi kan? Makanya kalau makan atau minum itu sambil duduk. Jangan sambil jalan," sahut Bu Ratih sambil berdiri meraih kain lap dan membersihkan susu Arumi yang tertumpah."Lagi susunya?" tawar Malilah sembari bertanya. Arumi menggeleng."Maaa ... mau dalan-dalan," Arumi mengalungkan tangan di leher Malilah."Mau jalan kemana sihh?" tanya Malilah. Bukannya menjawab, Arumi malah merengek sambil mengeratkan tangan di leher Malilah." Ayo kita bilang dulu sama Papa. Kalau Papa mau, kita berangkat ya," ucap Malilah menggendong Arumi mencari Hanan."Nah, itu Papa ...."Malilah menurunkan Arumi dari gendongan."Kenapaa?" tanya Hanan melihat Arumi menyembunyikan wajah.
Hanan kemudian berlari keluar menuju kamar Arumi. Ia mencari baju Fania yang masih baru, dibeli saat tubuhnya agak melar setelah melahirkan Arumi. Ia kembali ke kamar dan menyodorkan baju Fania."Inih, boleh dipake tapi batasnya sampe Arumi tidur aja," goda Hanan lagi.Malilah mendelik mendengar ucapan Hanan, namun akhirnya lega, karena akhirnya bisa keluar dari kamar. Setelah salat magrib, ia langsung menyediakan makan malam untuk keluarga besar mereka.***Jam sembilan malam. Arumi malah asik bermain di lantai. Matanya masih saja segar bugar padahal Hanan sudah gelisah. Malilah pura-pura tak melihat kegelisahan Hanan, asik menemani Arumi main."Tadi Arumi tidurnya lama, ya?" tanya Hanan. Malilah mengangguk."Tadi kamu datang sore, dia baru bangun tidur, tuh," jawab Fania."Pantesan," jawab Hanan dengan raut kecewa. Malilah jadi tak tega melihatnya. Ia langsung naik ke ranjang dan mendekat.
"Mana buktinya anak saya melakukan kejahatan? Mana?" tanya Pak Irman begitu selesai membaca surat perintah penangkapan, saat Fania dijemput oleh pihak yang berwajib beberapa hari setelah Hanan melaporkannya."Nanti, akan dibuktikan di kantor, Pak. Makanya anak bapak dibawa ke kantor untuk proses selanjutnya," jawab Pak Polisi."Kalau anak saya terbukti tidak bersalah, saya akan tuntut kalian semua!" kecam Pak Irman berang. Bu Heni tak bisa melawan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya ketika pihak kepolisian membawa Fania untuk diintrogasi.Memasuki kantor polisi, Hanan yang sejak tadi sudah menunggu langsung berdiri melihat Fania masuk dengan caci maki dan sumpah serapah dari mulutnya. Pak Irman pun menatapnya tak kalah tajam. Mereka tahu Hanan adalah orang yang melapor.Fania menampik semua pertanyaan yang diajukan padanya. Ia bersikeras tidak pernah terlibat dengan kasus kehilangan seseorang apalagi pembunuhan.Namun begitu rekaman
Aku surprise sekali melihat perlakuan Hanan pada Malilah. Kenapa dia bersikap manis pada Malilah sementara padaku dia sering ketus? Aku tidak bisa terima ini. Wanita itu harus disingkirkan bagaimanapun caranya.Malilah yang lugu, mengiraku benar-benar bersikap baik padanya. Demi apa? Aku hanya mencari informasi tentang suamimya. Saat aku tahu, aku mengajak pria bernama Dimas itu bertemu."Apa keperluanmu?" tanya Dimas."Bawa istrimu itu keluar dari rumahku. Kamu tahu? Di sana dia selalu berduaan dengan Hanan! Kadang Hanan pun tidur di ranjangnya!" jawabku memanas-manasi.Kulihat ia terpancing dan mulai geram. Tapi, sesaat kemudian kemarahannya kembali mengendor."Aku enggak berani ketemu mertuamu yang ganas itu," sahut Dimas.Setelah kutanya, ternyata dia pernah bermasalah soal uang. Jumlahnya tidak seberapa sih, bagi aku. Aku bahkan memberinya tiga kali lipat dari jumlah utangnya, dengan syarat dia harus membaw
"Ya ampun Bibik. Ngapain ngomong gitu. Bibik kan kesusahan gara-gara kami juga. Bibik boleh kok, kerja di sini sampaibkapan saja yang bibik mau. Selamanya juga boleh, itung-itung jadi teman berantemnya Mama. Soal perhiasan mah, enggak usah dipikirin. Enggak ada apa-apanya dibanding nyawa Bibik. Iyakan, Ma?" tanya Hanan tersenyum melirik Bu Ratih. Walau sempat mendelik karena ucapan Hanan soal teman berantem, Bu Ratih kemudian tersenyum dan mengangguk. Malilah pun tersenyum senang."Enggak ingat, Mas! Dia pakai masker sama kacamata hitam. Seingatku orangnya tinggi. Terus di tangannya, pas ngambil perhiasan, aku sempat liat ada tato naga gitulah, di sini. Kanan," ucap Bik Timah sambil mengusap punggung tangan kanannya."Tato elang?"Mata Malilah menyipit mendengar ucapan Bik Timah. Ia kemudian menatap Hanan. Keduanya mungkin memiliki kecurigaan pada orang yang sama. Tapi, bagaimana bisa?"Eh, iya Mas! Aduh, pas kejadian itu sengaja saya tinggali
"Malilaaah, Arumi ...." ucap Hanan mendekat langsung mengangkat Arumi dan menciumnya. Bu Ratih berinisiatif untuk membawa Arumi keluar, dan membiarkan Hanan berbicara dari hati ke hati menenangkan Malilah."Sini sama Nenek," ucap Bu Ratih kemudian menenangkan Arumi di kamarnya."Malilah, jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka enggak akan menganggapmu pelakor," ucap Hanan membawa Malilah berdiri dan bicara di ranjang Arumi."Bohong!" ucap Malilah menepis tangan Hanan."Malilah, jangan begini. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hanan bingung. Malilah menggeleng. Hanan meraih tisu dan mengusap air mata Malilah."Aku minta maaf! Aku minta maaf karena membawamu ke situasi sulit seperti saat ini," Hanan menyandarkan kepala Malilah di dadanya. Malilah masih menangis sesenggukan."Semuanya pasti akan membaik seiring waktu," ucap Hanan meyakinkan. Malilah perlahan mulai tenang."Bagaimana kalau ternyata aku
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]