Ia membuka lemari pakaiannya dan menjerit sejadi-jadinya melihat pakaian Malilah dan Arumi berada di situ.
"Jadi ... kamu benar-benar berselingkuh dengan jalang itu, Mas! Jadi, kamu tidur sekamar dengan dia? Tunggu saja pembalasanku!" gumam Fania dengan tangan mengepal.
Ia mengeluarkan semua pakaian Malilah dan meletakkannya di kasur. Setelah itu ia meraih gunting yang tergantung di dinding. Dengan mata berkilat dan napas tersengal, ia menggunting baju Malilah satu persatu dan menyisakan tiga lembar saja. Setelah itu, ia melipat dan mengembalikan ke tempat asal, dan meletakkan tiga yang bagus di posisi paling atas.
"Apalagi?" pikirnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Ia berbalik menuju ke kamar Arumi. Ti
Sukses menyingkirkan Bik Timah dari rumah tersebut, Fania langsung menyimpan kembali pisau ke dapur. Setelah itu ia merapikan koper dan tas pakaian di kamar Arumi. Sementara untuk kamar Bu Ratih tetap dibiarkan berantakan, hanya di tutup rapat saja. Fania menatap ke sekeliling rumah. Sepertinya semua sudah aman. Tak ada yang mencurigakan. Kemudian ia menutup pintu serapi mungkin, dan langsung meninggalkan kediaman mertuanya dengan dendam yang membuncah di dada.Apapun yang terjadi, begitu Hanan bisa dihubungi, Fania bertekad membuatnya kembali ke rumah bersamanya hari itu juga.***Sementara di rumah lama Malilah, mereka sedang asik bergotong royong membersihkan rumah. Malilah membawa Arumi bermain di luar rumah saja sementara belum beres di dalam.Tidak terlalu kotor karena sempat dihuni oleh pembeli yang ditipu oleh Dimas walau hanya hitungan hari. Sekitar dua jam semuanya sudah beres."Arumi, ayo masuk ... udah bersih!" panggil B
"Lemarinya sudah kosong, Bu!" lapor Malilah dari belakang."Ya Allah, gustiiii. Tega sekali Bik Timah," Bu Ratih mengelus dada. Sementara Malilah diam, tak percaya."Hanaaan! Mana Hanan? Cari tahu dimana dia mengambil Bik Timah dulu," perintah Bu Ratih lemas."Bu ... Dia ... kembali ke rumah Fania," jawab Malilah takut-takut."Apaaa? Kenapa enggak kamu tahan dengan alasan apa aja?" ucap Bu Ratih kaget. Keadaan lagi genting begini malah Hanan pergi begitu saja."Maaf, Bu. Tapi ... Fania berkata mau datang ke sini kalau dia enggak pulang hari ini juga," ucap Malilah pelan. Bu Ratih mengusap dadanya berkali-kali."Kamu sempat simpan nomor Bik Timah?" tanya Bu Ratih kemudian. Malilah menggeleng. Bu Ratih pun makin bingung."Tolong ... ambilkan ponselku di tas. Aku mau telpon Hanan," perintah Bu Ratih lemas. Malilah merogoh tas selempang Bu Ratih yang tergeletak begitu saja di pintu kamarnya. Ia menyerahkan po
Tengah malam, tiba-tiba Hanan ingin buang air kecil. Cuaca musim panas memang menimbulkan hawa dingin yang luar biasa saat malam hari. Hanan menyingkap selimut, dan melihat tempat tidur di sebelahnya kosong.Hanan kembali menggulung diri dalam selimutnya. Sepertinya Fania lebih dulu ke toilet. Biasanya Fania agak lama jika berurusan dengan kloset. Hanan menyipitkan mata melirik angka jam dinding. Kurang sedikit jam dua belas malam. Hanan sudah tak tahan. Ia melangkah keluar menuju ke toilet yang ada di belakang saja."Iya! Iya sabar! Besok pasti kutransfer uangnya. Berapa kali sih kubilang, jangan hubungi aku kalau bukan aku yang hubungi kamu. Kalau suamiku tahu gimana? Goblok kamu! Gak bisa sabar dikit kalau urusan duit!"Hanan menurunkan tangannya dari gagang pintu. Ia memasang telinganya baik-baik. Itukan suara .... Fania? Ngapain dia malam-malam nelpon di toilet belakang? Siapa yang ditelponnya.Tak mau jejaknya ketahuan, Hanan cepat
"Akhirnya kamu nongol juga, Hanaaaaa!" sambut Bu Ratih dengan gigi gemeretak karena gemas."Maaf, Ma. Kemaren aku buru-buru. Mama kan tahu sendiri akibatnya kalau Fania sampai datang," jawab Hanan."Terus, ini kok kamu bisa lolos bagaimana?" tanya Bu Ratih sambil mencibir.Hanan diam saja. Ia tak ingin menceritakan yang terjadi di sana, sampai benar-benar menemukan kebenarannya. Hanan langsung menerobos ke kamar."Halo, anak Papa sudah makan?" sapanya Hanan melihat Arumi asik bermain. Ia melirik Malilah sekilas. Wajahnya terlihat sedih."Kamu udah makan?" tanya Hanan langsung duduk di samping Malilah."Udah!" jawabnya singkat."Kenapa? Kayaknya sedih betul mama mudanya Arumi ini," goda Hanan sambil mengangkat Arumi ke pangkuannya. Arumi menggeliat-geliat minta turun."Iiih, anak gak mau dipegang, masih aja dipaksa," ucap Malilah sambil meraih Arumi."Abis Mamanya enggak mau dipegang-pega
Hanan sengaja meninggalkan mobilnya di rumah, kembali ke tempat mertuanya memakai sepeda motor supaya bisa gesit menyalip saat melewati jalan macet. Ia harus tiba di sana secepat mungkin.Tiba di rumah mertuanya, Hanan langsung Share location pada Pak Ojol yang pasti sudah menunggu. Sekitar tiga puluh menit menunggu, akhirnya pesanan Hanan datang juga. Hanan keluar sekaligus menyerahkan uang yang ia janjikan. Pak Ojol senang sekali. Ia mengucapkan terima kasih bertubi-tubi pada Hanan.Setelah Pak Ojol pergi, Hanan berbalik masuk rumah."Loh, pesan makanan, Han? Fanianya belum pulang? Emang Bik Sumi enggak masak?" tanya Bu Heni melihat Hanan menenteng dua bungkusan berbeda."Lagi pengen makan ini, bu," sahut Hanan langsung menuju dapur dan meminta Bik Sumi menyiapkan di piring dan di antar ke kamar seperti biasa, setelah Fania datang nanti.Hampir setengah jam Hanan mondar-mandir menunggu Fania. Akhirnya terdengar juga suara
"Kamu benar-benar ya, Hanan! Bisanya kamu membentak istrimu demi membela pembantu!" ucap Bu Heni dengan gigi gemeretak."Dia bukan pembantu biasa, Ma! Dia membantu dalam semua hal! Bukan hanya menyusui Arumi, tapi juga menyusui Dia!" tuding Fania sambil menunjuk wajah Hanan.Hanan menangkap tangan Fania dan menurunkannya pelan. Matanya menatap Fania tanpa berkedip."Baik! Karena itu sepertinya memang kemauanmu dari dulu! Fania Aprilia mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak!" ucap Hanan tegas sambil membuang tangan Fania kasar ke samping. Lalu ia melangkah ke kamar, meraih kontak sepeda motor."Hanaaan! Kamu enggak bisa menceraikan Fania. Dia sedang hamil!" ucap Bu Heni menahan langkah Fania."Sangat bisa, Ibu! Apalagi aku tak yakin dia benar-benar hamil. Kalaupun benar hamil, aku akan melakukan tes DNA nanti setelah dia melahirkan. Jika memang anakku, aku akan bertanggung jawab membi
Dalam sekejap angka di simbol mata sudah tampak di layar ponsel Fania. Ia tersenyum puas. Dari dalam Bu Ratih rupanya lebih dahulu keluar."Mau apa lagi kamu datang-datang ke sini? Bukankah kamu sudah diceraikan Hanan?" sambut Bu Ratih langsung gas."Oooh, iya. Kami cuma mau ketemu sama pelakor yang bikin Hanan ngebet ninggalin anakku. Itu dia!" ucap Bu Heni begitu Malilah keluar bersama Hanan yang sedang menggendong Arumi dari dalam."Hello, Miss Valak! Selamat ya! Kamu berhasil ngerebut suami dan anakku!" ucap Fania sambil mengarahkan kameranya ke wajah Malilah. Hanan menyerahkan Arumi pada ibunya. Di layar ponsel Fania sudah beberapa komentar hujatan yang ditujukan pada Malilah masuk.[Cantikkan juga istri sah][Hempas pelakor, Mbak][Hajar Mbak, aku dukung][Loh, ini kan pengasuh anaknya, bisanya ya?] Komentar dari salah satu orang yang kenal dengan keluarga mereka.[Kalau dilihat muka pelakornya lugu, ternyata ular!]
Hanan mengambil kesempatan tersebut untuk menekan Fania lagi. Bu Heni dan Pak Irman tak bisa berbuat apa-apa untuk melepas Fania dari cengkraman Hanan."Katakan! Apa kepergian Bik Timah ada hubungannya dengan orang yang kamu temui kemaren?" tanya Hanan kasar."Aww, eng-gak. Sakit, Hanan!" sahut Fania meringis."Lalu siapa orang itu? Apa dia selingkuhan yang menghamilimu?" tuding Hanan lebih pedas lagi."Bu-kan, Hanan! Bukan! Aku enggak hamil! Aku enggak hamil! Iya! Aku enggak hamil!" ucap Fania tak tahan lagi dalam tekanan Hanan.Bu Ratih merasa menang karena dugaannya benar langsung menarik bibir, tersenyum mengejek pada Bu Heni dan Pak Irman yang mulai bungkam dan sedikit menunduk. Hanan lega untuh satu hal, tapi masih ada hal lain yang mengganjal."Liat, Heni! Cara apa yang kamu pakai untuk melakor puluhan tahun silam, juga dilakukan oleh anakmu! Bukankah dulu kamu dengan lantang berkata hamil di depan orang