Pukul 05.45, aku terbangun. Kedua mata mengerjap, lalu tertuju pada bungkusan berwarna biru putih yang terletak di atas nakas samping tempat tidur. Rasa takut dan cemas menjalari tubuh. Ada keraguan untuk melakukan test urine menggunakan alat tersebut. Takut kalau hasilnya dua garis. Aku menggelengkan kepala. Tidak! Pasti hanya satu garis.Aku menghela napas, kemudian menuju toilet. Meski diliputi kecemasan, tespeck itu tetap aku bawa.Setelah melakukan tes, tanpa melihat hasilnya, aku masukan kembali tespeck ke dalam bungkusnya. Lalu membasuh sekujur badan dengan air. Mandi.*** Keluar kamar, Mbak Ratih dan Mbok Rukmi sedang berkutat di dapur. “Saras belum bangun, Mbak?” tanyaku begitu berdiri di sampingnya. Mbak Ratih rupanya tidak menyadari kehadiranku, dia memegang dada karena kaget aku menyapanya.“Aduh Wulan, Mbak ampe kaget. Kirain siapa. Jantung Mbak serasa mau copot, Lan," katanya terkekeh, menepuk-nepuk dadanya.“Jam tiga subuh dia bangun, sekarang udah tidur lagi. Kamu u
Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran tak menentu. Membayangkan nasib di kemudian hari. Kehamilan yang seharusnya membuat para wanita bahagia justru menjadi petaka untuk kehidupan yang sedang aku jalani. Kehamilan yang akan menghambat karirku, Kehamilan yang akan menjadi aib, kehamilan yang akan mencoreng nama baik keluarga yang baru saja terangkat martabatnya. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus mengenal laki-laki yang bernama Sutiyoso? Kenapa takdir seolah tak mengizinkan hidupku menjadi lebih baik?Bagaimana jika semua orang tahu, kalau aku hamil di luar nikah? Bagaimana jika kelak anak ini menanyakan siapa ayahnya? Anak ini harus tidak ada. Dia tidak boleh lahir. Lebih baik dia mati dari pada harus tahu siapa ayah yang sesungguhnya.Ambu ... Abah ... maafin Neng, karena tidak bisa menjaga diri dengan baik ....Teringat kembali pesan Ambu agar menjauhi Sutiyoso tempo hari. Andai saja waktu itu aku menuruti pesan wanita yang melahirkanku itu agar segera menjauhi
Setelah tiga hari di rumah sakit, akhirnya diizinkan pulang oleh dokter. Tak lupa aku meminta resep obat anti mual. Tujuannya supaya orang lain tidak mengetahui perihal kehamilanku.Selama tiga hari pula, ponsel aku nonaktifkan. Alhasil, begitu diaktifkan berderet pesan yang masuk. Tertera pesan dari Bang Suryadi, Pak Dewa dan dari Jaka, adik pertama. Kubuka pesan Jaka terlebih dahulu.[Teh, aktifin atuh nomorna. Ambu cemas.][Kalau besok teteh gak ada kabar, Ambu sama Jaka mau nyusulin teteh!Ya ampun, berarti hari ini. Mereka tidak boleh ke sini. Tidak mau ada keluarga yang mengetahui keadaanku saat ini. Segera kutekan nomor Ambu. “Neng, kamu teh kamana wae? Gimana kabar Neng? Sehat? Baik-baik saja? Ambu cemas pisan, Neng ....” cecar Ambu saat telepon tersambung.“Ada, Ambu ... Maaf, Neng sibuk pisan. Ambu, Abah dan Adek-Adek sehat?” tanyaku berusaha bersikap biasa-biasa saja.“Sehat. Eh, sebentar. Ini Abah mau bicara.”Terjadi keheningan beberapa saat."Hallo, Neng?"“Hallo, Abah?
Setibanya di apartemen, aku langsung menuju kamar mandi. Memuntahkan rasa mual yang mendera. Luar biasa baunya, berasa masih tercium bau badan si Bambang. Hadeuh ....Badanku harus segera dibersihkan. Bau badan Bambang serasa menempel pada tubuh. Usai membersihkan badan, mengecek kembali ponsel. Tadi ada beberapa pesan yang belum sempat aku baca. Pesan dari Bang Suryadi.[Lan, kamu lagi di mana? Berkali-kali Abang ke apartemen, kamunya gak ada.][Mbak Ratih cemasin kamu, Wulan. Nomornya aktifin dong! Ratih nangisin kamu terus tuh!]Benarkah? Lagi-lagi telah membuat mereka cemas. Lebih baik sekarang aku telepon. Masih jam tujuh malam.“Hallo, Bang!” Terdengar suara dentuman musik keras. Pasti Bang Sur sedang di tempat karaoke.“Hallo, Lan? Wulan?? Bicaranya yang keras, Abang gak kedengaran!!” Suara Bang Sur seperti orang yang sedang berteriak. Tanpa bicara panjang lebar, aku matikan ponsel. Lebih baik aku kirim pesan saja.[Wulan ada, Bang. Maaf Wulan gak sempat kasih kabar.][Telepo
Suara itu seperti milik Bambang. Aku membalikkan badan. Memastikan siapa laki-laki yang sedang memegang pundakku.“Wulan ngapain berdiri di sini?” Melihat Bambang di depan mata, segera kutarik tangannya menuju mobil.“Cepetan buka pintu mobilnya!!”Begitu aku dan ia duduk dengan nyaman, kusuruh dirinya menancapkan gas.Aku mengembuskan napas lega. Sutiyoso benar-benar gila. Tidak waras! Rupanya dia sama sekali tidak merasa bersalah! “Kok kamu bisa tahu sih kalau aku lewat sini? Atau emang sengaja nungguin aku?” Aku menoleh melihat gelagat percaya diri yang Bambang tonjolkan. Pria ini benar-benar lucu! Selalu membuatku tersenyum.Aku duduk miring menghadapnya. Kugamit lengan kekar Bambang sambil merebahkan kepala.“Iya, Mas ... dari tadi tuh Wulan nungguin Mas Ambaaaangg ....” kataku manja.Aku mendongak melihat ekspresi wajah duren alias duda keren. Julukan khusus buat Mamas Bambang.Walau kemarin badannya mengeluarkan bau yang menyengat tapi setidaknya sekarang bau itu telah mengh
Tatapan yang semula sendu berubah menjadi kilatan amarah. Kulihat telapak tangan Mbak Ratih mengepal kuat. Rahangnya menggeram, menahan rasa kesal.“Kalau sampai kamu melakukannya, aku gak akan segan-segan membunuhmu!!”Wow! Tak kusangka Mbak Ratih yang terlihat lembut bisa berubah garang dan menyeramkan.Aku tetap bersikap acuh tak acuh. Toples berisi keripik singkong sisa setengahnya. Kuraih cangkir berisi teh manis yang mulai dingin, menyesapnya perlahan.Mbak Ratih berdiri sambil menyilangkan tangannya ke depan dada.“Mulai besok, kamu gak boleh kerja di tempat karaoke lagi!” Ucap wanita berusia tiga puluhan itu dengan tegas. Sikap nge-bossynya mulai nampak.“Mbak tenang aja, Wulan memang mau resign kok.”“Bagus kalau gitu. Lebih baik sekarang kamu pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi!!” Suara Mbak Ratih makin meninggi.Seram juga kalau dia marah. Aku berdiri, menepuk rok ketat yang kotor karena remehan keripik singkong.“Nyantai aja, Mbak. Gak usah teriak-teriak
Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam pikiran. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Lalu merekam pembicaraan dua lelaki tua tersebut.“Kapan kau taubat, Yos? Kita ini sudah tua. Tak elok bicara soal gituan.” Perkataan yang dilontarkan Pak Dewa ditanggapi gelak tawa.Sutiyoso terbahak. Gelak tawanya seperti orang yang kesurupan Jin Iprit. Dasar iblis tua! “Dari dulu kau ini terlalu polos, Dewa. Untuk kesekian kalinya aku sarankan,” Perkataan bandot tua terjeda. Lalu, "Sekali-kali kau cicipi rasanya perawan,” Sangat pelan suara Sutiyoso, hingga aku menempelkan telinga di pintu toilet. “Rasanya itu ... gurih-gurih enyooooyyy ..... Hahahaha.” Sutiyoso kamprett!! Aku menggeram di bilik toilet, ingin kucabik-cabik wajah tuanya. Mengebiri kelelakiannya hingga tidak ada lagi yang dia banggakan!Mungkin suatu saat nanti keinginan itu akan terjadi.Cih!! Perkasa sebab obat kuat saja bangga. Dasar tidak tahu malu! Tidak tahu diri!“Kau ini sudah menjadi budak nafsu, Yos! Kalau sudah ketemu
Selepas pulang kantor, aku memutar kembali rekaman percakapan dua orang yang telah bersahabat sejak sekolah menengah itu.Sungguh tak menduga sebelumnya, kalau Sutiyoso adalah seorang pembunuh yang sangat licik! Si tua bangka itu benar-benar pandai merancang pembunuhan tersebut hingga tim forensik pun terkecoh oleh hasil perbuatan kejinya.Rasa iba mengusik hati, saat membayangkan wanita atau istri si korban pembunuhan yang dilakukan oleh bandot tua.Menurut Pak Dewa, wanita itu sedang hamil ketika suaminya meninggal ditangan Sutiyoso. Apalagi sebulan sebelum kepergian sang suami, ibu kandung wanita itu pun meninggal dunia.Tak dapat kubayangkan bagaimana menjalani hari tanpa orang-orang yang kita kasihi. Hati nurani Sutiyoso sepertinya sudah mati!Kali ini aku tidak boleh menganggap Sutiyoso orang yang tidak berbahaya. Apalagi dia sempat berkata pada Pak Dewantara, jika tak dapat memiliki aku, tak segan ia membuat keluargaku menderita bahkan tak segan untuk membunuh. Seketika bulu k
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera